TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Untung-Buntung Budidaya Porang di Madiun

Ada yang jadi miliarder, adapula yang memanen dini

Facebook.com/Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

Madiun, IDN Times – Budidaya tanaman porang atau iles-iles kian meningkat di Kabupaten Madiun yang merupakan daerah pelopor pengembangan komoditas pertanian ini. Dari sisi luasan lahan, misalnya, mengalami penambahan 5 hingga 10 persen setiap tahunnya.

Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Pertanian setempat, Sumanto mengatakan luas lahan yang kini digunakan petani untuk budidaya porang mencapai 5.300 hektare. Adapun lokasinya di sembilan wilayah kecamatan, seperti Saradan, Gemarang, Kare, Dagangan, dan Wungu. Bahkan, para petani yang tergiur dengan hasil Porang pun rela menggelontor modal hingga ratusan juta.

Tanaman ini belakangan menjadi primadona karena nilai jualnya yang fantastis. Porang yang sudah diolah menjadi tepung akan diekspor ke berbagai negara seperti Jepang hingga Australia. Di sana, tepung porang akan diproses menjadi berbagai bahan makanan seperti beras Shirataki hingga kosmetik.

1. Pengembangannya sudah menyebar di setiap kecamatan

Katak pada tanaman porang. (IDN Times/Wira Sanjiwani)

Bertambahnya luasan lahan untuk komoditas dengan nama latin Amarphopallus muelleri blume ini sebanding dengan meningkatnya minat petani untuk mengembangkannya. Apalagi, manfaat secara ekonomi telah berhasil didapatkan pembudidaya porang. Sebagian di antaranya menjadi jutawan hingga miliarder berkat hasil jual tanaman yang dulunya dipandang ‘sebelah mata’ ini.

“Banyak yang tertarik dan ikut menanam porang. Sekarang hampir di seluruh wilayah kecamatan ada tanaman porang,” ujar Sumanto, Senin (15/2/2021).

2. Tergiur untung, rela keluarkan modal ratusan juta rupiah

Ilustrasi uang (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Menurut dia, pembudidaya porang tidak lagi hanya dari kalangan petani. Akademisi, politisi, maupun pengusaha juga ikut-ikutan mengembangkannya. Mereka rela merogoh uang pribadi hingga ratusan juta dengan maksud ‘memancing’ keuntungan lebih banyak.

“Ada orang di Kecamatan Dagangan yang menanam porang di lahan seluas dua hektare dengan modal mencapai Rp350 juta. Kalau menurut saya, ini spekulasi dan tidak sesuai dengan analisa usaha tani,”  ungkap Sumanto kepada IDN Times.

Baca Juga: Madiun Bakal Kembangkan Porang Sebagai Industri  

3. Belum ada standarisasi harga benih

pexel

Apalagi, ia melanjutkan, saat ini belum ada standarisasi harga bibit porang. Untuk benih atau biasa disebut katak, misalnya, harganya bisa mencapai Rp370 ribu per kilogram. Sedangkan untuk eceran, Rp 6.000 per polybag.

“Kalau dihitung, harga segitu terbilang mahal. Belum lagi, harus menunggu dua hingga tiga tahun untuk bisa panen,” ujar dia.

Sementara, harga jual Porang yang sudah panen sendiri saat ini mencapai Rp14 ribu per kilogram. Umbi porang yang sudah siap panen kemudian diiris melintang dan dijemur sebelum dijual.

4. Ada yang berhenti di tengah jalan

IDN Times/Nofika Dian Nugroho

Oleh karena itu, sejumlah pembudidaya porang terpaksa berhenti di tengah jalan. Meski belum waktunya panen, benih tanaman dijual lantaran terbentur kesulitan ekonomi. Keuntungan yang didapat juga tidak maksimal dan jauh dari angan-angan.

“Banyak warga yang ekonominya pas-pasan dan memaksa menanamnya. Tapi, saat umbi baru seberat setengah kilogram sudah dipanen,” kata dia sembari menyatakan umbi porang yang ideal memiliki berat lebih dari dua kilogram. Untuk mendapatkan hasil itu, maka usia tanaman setidaknya harus dua tahun. “Namun, belum ada setahun sudah dipanen,” ucap Sumanto.

Baca Juga: Shofi Fajriah Ilmi, Berdayakan Perempuan Desa Lewat Bisnis Umbi Porang

Berita Terkini Lainnya