TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Riwayat Perjuangan KH Masjkur, Tokoh NU yang Jadi Pahlawan Nasional

Turut terlibat dalam mendirikan NU

Presiden Joko Widodo memandangi foto KH Masjkur yang dianugerahi gelar pahlawan nasional, Jumat (8/11). Instagram.com/@khofifah.ip

Surabaya, IDN Times- Bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2019 lalu, Presiden Republik Indonesia Joko “Jokowi” Widodo menganugerahkan gelar pahlawan kepada enam tokoh nasional. Pemberian gelar tersebut tertuang dalam Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 120/TK Tahun 2019 tentang Penganugerahan Pahlawan Nasional tertanggal 7 November 2019.

Salah satu dari enam pahlawan nasional baru Indonesia berasal dari Singosari, Malang, Jawa Timur. Dia adalah KH Masjkur yang meninggal pada 18 Desember 1992 di Jakarta. Ingin mengenal beliau lebih jauh? Dilansir dari data yang telah dihimpun Kementerian Sosial, yuk simak profil lengkapnya di bawah ini.

1. Perjuangan sebelum penjajahan Jepang

KH Masjkur. Dok. nu.or.id

Sebelum Jepang menduduki Indonesia, KH Masjkur sempat mendirikan madrasah Misbahul Wathon pada 1923. Kemudian, dia bergabung dengan kelompok studi Taswirul Afkar di Surabaya yang terbiasa membahas persoalan agama dalam kehidupan sehari-hari. Dia memiliki hubungan baik dengan KH Wahab Hasbullah dan KH Mas Mansur.

Pada 1926, KH Masjkur turut terlibat dalam mendirikan Nahdlatul Ulama (NU) dan dikukuhkan sebagai Ketua Cabang NU Malang yang pertama. Pada 1938, dia menjadi salah satu pengurus PBNU di Surabaya. Dari organisasi ini KH Masjkur banyak belajar manajemen kepemimpinan hingga mampu berkiprah di tingkat nasional.

Baca Juga: Enam Tokoh Resmi Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

2. Perjuangan pada fase penjajahan Jepang

Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan gelar pahlawan nasional kepada perwakilan keluarga KH Masjkur, Jumat (8/11). IDN Times/Dok. Pemprov Jatim

Kala Nippon masuk ke Indonesia, KH Masjkur sudah berusia 43 tahun. Dia dikenal sebagai pemuka agama dan pemimpin masyarakat yang karismatik. Putra dari pasangan KH Maksum dan Ny. Maimunah ini turut merintis lahirnya Hisbullah, wadah bagi para pemuka agama untuk turut serta membela Tanah Air melawan Jepang.

Pada 1944, KH Masjkur diangkat oleh Jepang sebagai anggota Chuo Sangi Kai, semacam DPRD Keresidenan Malang. Pada Maret 1945, ia terpilih sebagai anggota BPUPKI. Dia termasuk salah satu orang yang turut menggagas dasar negara bersama Sukarno, M. Yamin, KH Wahid Hasyum, dan KH Kahar Muzakkir.

3. Perjuangan pada fase kemerdekaan

IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Pada fase kemerdekaan, mendengar isu kembalinya Belanda ke Indonesia, Masjumi sebagai satu-satunya partai politik Islam memberi mandat kepada KH Masjkur untuk mendirikan sekaligus menjadi ketua Laskar Sabilillah. Bermodalkan tanah milik orang tuanya seluas satu hektare, ia mengumpulkan para santri di Desa Belimbing untuk memperseiapkan pertempuran. Pada 10 November, dia juga terlibat pada pertempuran di Wonokromo, Surabaya.

Ketika negara memasuki masa darurat dan kabinet dibubarkan, presiden segera membentuk Dewan Pertahanan Negara. KH Masjkur sebagai perwakilan Partai Masjumi terlibat sebagai anggota dewan tersebut.

Bersama Hisbullah dan Sabilillah, KH Masjkur memimpin pasukannya melawan agresi militer Belanda I dan II. Satu waktu, KH Masjkur hampir saja ditangkap oleh Belanda. Dia berhasil lolos lewat pintu belakang membawa putranya Saiful Islam yang masih belia dan pergi meninggalkan Yogyakarta.

Salah satu jargon yang terus ia suarakan untuk memberi semangat kepada laskar juangnya adalah Isy Kariman aw Mut Syahidan yang artinya adalah hidup mulia atau mati syahid.

4. Menjadi Menteri Agama

IDN Times/Teatrika Handiko Putri

Di bidang pemerintahan, KH Masjkur berkali-kali dipercaya menjabat sebagai Menteri Agama. Pada 1948 di bawah Kabinet Amir Syarifuddin II, beliau sempat membuat kebijakan supaya biaya Pengadilan Agama disetor kepada kas negara.

Kemduain, ketika Muhammad Hatta membentuk kabinet, salah satu kebijakan KH Masjkur sebagai Menteri Agama adalah menjadikan seluruh perkara perdata di kalangan umat Islam diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Agama. Pada fase ini pula ia mendapat misi oleh Hatta untuk membuka hubungan diplomatik dengan Arab Saudi. Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan haji termasuk warisan kebijakannya.

Tercatat ia menjadi Menteri Agama pada 11 November 1947-4 Agustus 1948 (Kabinet Amir Syarifuddin II dan Hatta I), 4 Agustus 1949-20 Desember 1949 (Kabinet Hatta II), 20 Desember 1949-21 Januari 1950 (Kabinet Susanto), dan 30 Juli 1953-12 Agustus 1955 (Kabinet Ali Sastroamidjodjo I)

Baca Juga: KH Masjkur, Putra Malang yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Berita Terkini Lainnya