TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Perlukah UU Dikdok Direvisi? Ini Pandangan Praktisi dan Legislatif

UU dianggap sudah tidak relevan

Ilustrasi mahasiswa kedokteran. (setkab.go.id)

Surabaya, IDN Times - Revisi Undang-undang (RUU) Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sistem Pendidikan Kedokteran (Dikdok) kembali mencuat di permukaan. Baik mahasiswa, asosiasi profesi hingga legislatif ingin segera merealisasikan revisi ini. Sebab UU yang sudah ada dianggap tidak relevan lagi.

1. RUU harus selaras dengan kemajuan revolusi industri 4.0

google.com

Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang (Panja RUU) Dikdok, Willy Aditya menerima masukan perubahan UU ini untuk memperbaiki sistem pendidikan kedokteran. Sekaligus menciptakan kelulusan dokter handal di mata internasional yang mampu menggabungkan spirit kemajuan revolusi industri 4.0. 

"Apalagi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) membuka peluang bagi dokter impor masuk ke dalam negeri. Oleh karena itu kompetensi pendidikan dalam negeri harus dibenahi. Kita berinisiatif memperjuangkan," ujarnya, Rabu (9/6/2021).

Supaya tidak ada anggapan RUU Dikdok merupakan produk partai politik, Willy membuka ruang diskusi dengan para pakar kesehatan, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) dan Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) dan kalangan akademis di DPW Nasdem Jatim.

2. Ada masalah klasik tidak terselesaikan, ditambah tuntutan akselerasi teknologi yang harus dibahas dalam RUU

Ilustrasi Dokter Gigi di Tengah Pandemik COVID-19 (IDN Times/Irfan Fathurohman)

UU Dikdok Nomor 20 Tahun 2013 dinilai memberi legitimasi atas formal dan panjangnya masa pendidikan hingga legalitas profesi seorang dokter. Sejumlah aturan yang dikandungnya menunjukan panjangnya birokrasi yang berbanding lurus dengan tingginya biaya yang harus dikeluarkan.

Ribuan calon dokter tidak dapat menjalankan profesinya akibat terjegal syarat legal formal.  Belum lagi kompetensi dalam Fakultas Kedokteran (FK), FK Gigi, seleksi calon mahasiswa, pembiayaan pendidikan kedokteran, standar kompetensi dokter, dokter magang.

Lebih lanjut, uji kompetensi, adaptasi, pengembangan pendidikan keprofesian berkelanjutan, ijazah, sertifikasi, kompetensi, sertifikasi profesi, organisasi profesi, konsul kedokteran Indonesia, dokter layanan primer dan distribusi dokter. 

Ketua Umum IDI, dr. Daeng M. Faqih mengatakan, hal-hal tersebut merupakan masalah klasik. Termasuk distribusi dokter. Apalagi sekarang ini ada tuntutan akselarasi ke teknologi. "Kita dituntut akselerasi teknologi kedokteran. Strateginya belum jelas. Di UU baru harus dijelaskan bagaimana cara akselerasinya," tegasnya.

Baca Juga: Tim Peneliti Vaksin Nusantara dari Fakultas Kedokteran UGM Mundur

Berita Terkini Lainnya