Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Dilema Sopir Truk ODOL, Tarif Murah Hingga Kerap Ditindak Petugas

IMG-20250619-WA0096.jpg
Demo ODOL di depan Kantor Gubernur Jatim, Kamis (19/6/2025). (IDN Times/Khusnul Hasana)
Intinya sih...
  • Sopir truk ODOL sering ditindak oleh polisi dan Dishub karena melebihi dimensi, sementara preman jalanan memalak uang dan bajing loncat mencuri barang bawaan.
  • Pengeluaran untuk pungutan liar bisa mencapai Rp500 ribu per jalan, namun tarif yang diberikan pemilik barang tidak sebanding dengan pengeluaran tersebut.
  • Angga dan rekan-rekannya berharap pemerintah ikut menentukan tarif logistik pengantaran barang agar kedua belah pihak diuntungkan, serta menetapkan kebijakan tegas terkait dimensi truk ODOL.

Surabaya, IDN Times - Angga sudah tidak tahu berapa kali ia ditindak oleh petugas kepolisian dan Dinas Perhubungan (Dishub) karena truknya melebihi dimensi dan muatan atau yang dikenal over dimension over load (ODOL). Belum lagi preman-preman di jalananan yang memungutinya uang.

Dia sudah hampir 15 tahun menjadi sopir truk angkutan material. Belakangan ia kerap bolak balik Jawa Timur ke Ibu Kota Negara (IKN) yang berada di Kalimantan Timur untuk mengantar material bangunan.

Perjalanan dari Jawa ke Kalimantan Timur yang membutuhkan waktu berhari-hari membuatnya bertemu dengan berbagai macam masalah. Masalah utama yang kerap ia jumpai adalah penindakan oleh polisi dan Dishub karena truknya melebihi dimensi. "Sering, mbak, kalau perihal ditindak polisi itu sering. Kendaraan saya juga ODOL. Saya beli dulu itu sudah posisi seperti itu," ujar Angga yang juga Ketua Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJ) ini, Sabtu (28/6/2025).

Selain karena truk yang dimilikinya sudah melebihi dimensi sejak awal dia membeli, alasan truknya melebihi dimensi juga agar bisa memuat lebih banyak barang. Sebab, truk dengan muatan lebih sering kali menyesuaikan dengan tarif yang diberikan pemilik barang.

Masalah berikutnya adalah premanisme di jalanan yang kerap memalakainya sejumlah uang. Belum lagi bajing loncat yang juga sering mencuri barang bawaannya. "Harusnya mereka (sopir truk rekan Angga) pulang membawa uang misalnya Rp100 ribu atau Rp150 ribu. Dengan adanya pungli ya, akhirnya teman-teman ini pulang bisa juga dengan tidak membawa hasil, hanya membawa pakaian kotor," ungkapnya.

Semua pengeluarannya selama di perjalanan itu ia tanggung sendiri. Tak jarang, biaya yang ia keluarkan untuk hal-hal tersebut bahkan mencapai hingga Rp500 ribu sekali jalan. "(Pungli) kalau luar Jawa, lintas luar Jawa itu di angka Rp100 sampai Rp300 ribu, bahkan ada yang Rp500 ribu. Tapi kalau wilayah Jawa istilahnya Surabaya, Jakarta itu rata-rata Rp 50 sampai Rp100 ribu," jelasnya.

Pengeluaran tersebut, kata Angga tak sebanding dengan tarif yang diberikan pemilik barang kepadanya. Terlebih, dia membutuhkan waktu berhari-hari di jalan untuk membawa angkutan tersebut ke tempat tujuan. "Kalau pulang bawa pulang bersih kurang lebih bawa uang Rp4 juta, Rp3 juta. Tapi itu dalam jangka itu tadi kirim cuma satu bulan dan kadang kalau sepi ya kita terpaksa pulang ngosong," ujarnya.

Angga menyebut, tarif logistik ini sudah diatur dalam peraturan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009. Sayangnya, selama ini kata Angga, tarif tersebut hanya disepakati oleh pemilik barang dan pemilik armada. "Nah, di situlah timbulnya kerancuan-kerancuan perihal ongkos tarif angkutan logistik," katanya.

Angga dan temannya sesama sopir truk hanya berharap agar pemerintah ikut berperan dalam menentukan tarif logistik pengantaran barang. Pemerintah harusnya mengatur tarif dasar dan atas agar kedua belah pihak, yakni pemilik aramada dan pemilik barang bisa sama-sama diuntungkan.

"Nah, harapan kawan-kawan mulai kami aksi di 2022 waktu demo awal-awal itu. Pemerintah ikut berperan dalam hal-hal mengatur atau memberikan kepastian hukum di dalam tarif angkutan logistik supaya tidak terjadi carut marut," katanya.

Jika tarif tersebut bisa disepakati, tentu saja, Angga dan teman-teman lainnya tidak akan menambah dimensi kendaraan. Sebab, tarif yang didapat dari pemilik barang, dirasa sudah sebanding dan sesuai.

Sembari menunggu kebijakan pemerintah terkait tarif angkutan barang, pihaknya telah melakukan audiensi dengan Kementerian Perhubungan agar tidak menindak truk ODOL. "Di Kementerian Perhubungan di Jakarta di situlah akhirnya semua tuntutan-tuntutan kawan-kawan skala nasional nggih. Maka dari itu untuk pemerintah saat ini mereka akan menata ulang dari dulu ke hilir, karena kemarin-kemarin itu langsung diterapkan tapi beliau-beliaunya tidak mengetahui realita yang ada di lapangan," tuturnyanya.

Pada dasarnya, sopir truk setuju dengan kebijakan larangan ODOL, kerana kebijakan tersebut untuk keselamatan pengguna jalan. Tetapi, yang menjadi sorotan sopir adalah pemerintah harus tegas dalam membuat kebijakan menentukan tarif atas dan bawah untuk angkutan logistik. Sehingga, sopir truk tetep sejahtera.

"Harapan kami, kita muat bisa sesuai dengan tonase atau batas-batas yang ditentukan oleh pemerintah tapi dengan ongkos yang standar.Kita enggak minta muluk-muluk kok, yang standar. Selama itu untuk memenuhi kebutuhan teman-teman di jalan,"pungkas dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Faiz Nashrillah
EditorFaiz Nashrillah
Follow Us