Jangan Dihapus! Mural Kritik Itu Simbol Perlawanan

Ada-ada saja nih emang pemerintah

Surabaya, IDN Times - Belakangan ini pemerintah sibuk menghapus mural bermuatan kritik mengenai penanganan pandemik COVID-19. Tindakan penggapusan mural itu pun dikritik Ketua Pusat Studi Industri Kreatif Pasca Sarjana Universitas Airlangga (Unair), Igak Satrya Wibawa.

Menurut Igak, mural telah dikenal sejak dahulu sebagai salah satu media berekspresi. Melalui perkembangannya, mural di era kontemporer menjadi hal yang tak terpisahkan saat menyebutkan kata kritik di ruang publik. Mural sudah dikenal menjadi media komunikasi bagi masyarakat.

"Mural adalah salah satu bentuk streetart, menjadi media komunikasi yang cukup sering digunakan masyarakat dalam menyampaikan pesan, harapan dan kritik kepada pihak yang punya privilege atau kekuasaan tertentu," ujarnya tertulis, Kamis (19/8/2021).

1. Perbedaan mural dengan grafiti

Jangan Dihapus! Mural Kritik Itu Simbol PerlawananGambar mural di Pasuruan , Jawa Timur yang lagi viral karena dihapus Satpol PP. Dok. twitter.com @fullmoonfolks

Igak menerangkan, mural berbeda dengan graffiti meski sama-sama termasuk seni jalanan. Grafiti menonjolkan ekspresi pelukis secara tersurat, dan kadang sifatnya sangat personal. Sebab, hanya berupa tulisan atau simbol yang mewakili entitas tertentu.

"Sedangkan mural yang memiliki makna dan pesan lebih dalam, kebanyakan ditempatkan di ruang publik dengan tujuan dilihat banyak orang," katanya.

2. Mural kritik harus dilihat dari dimensi perlawanan

Jangan Dihapus! Mural Kritik Itu Simbol PerlawananKetua Pusat Studi Industri Kreatif Pasca Sarjana Universitas Airlangga (Unair), Igak Satrya Wibawa. Dok. Humas Unair.

Pengajar mata kuliah Visual Culture & Creative Arts di departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip Unair itu menyampaikan, mengenai etika dan perizinan mengenai penempatan di ruang publik. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa dimensi.

"Jika dikaitkan dengan dimensi etis, tentunya public property idealnya tidak dapat dipakai  tanpa adanya izin. Namun ini menjadi paradoks bila dilihat dari dimensi perlawanan, yaitu kasusnya harus menabrak etika, karena namanya juga perlawanan," jelasnya.

Dalam dimensi seni, sambunt Igak, mural dianggap wajar jika dijadikan sebagai simbol perlawanan, kritik atau pun harapan, dan sah saja bila penempatannya dalam ruang publik agar didengar dan dilihat publik. Untuk itu agak susah bila menghadapkan seni dan aturan, karena dalam seni kadang harus membenturkan keduanya.

Baca Juga: Mural Jokowi 404 Dijadikan Desain Kaos, Pria Tuban Minta Maaf

3. Mural kritik sama halnya baliho politis

Jangan Dihapus! Mural Kritik Itu Simbol PerlawananGambar mural di Pasuruan , Jawa Timur yang lagi viral karena dihapus Satpol PP. Dok. twitter.com @fullmoonfolks

Terkait mural berisi kritik sosial sama halnya dengan baliho yang berisi pesan-pesan politis. Yakni sama-sama memanfaatkan ruang publik sebagai saluran penyampaian pesan. Hanya bedanya, mereka yang ofisial punya kuasa, wewenang dan memiliki privilege tertentu menggunakan baliho.

"Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki privilege dan melihat ruang-ruang penyampaian pendapat banyak tersumbat di sana-sini, akhirnya memilih mural sebagai media yang frontal dan efektif dalam menyampaikan pesan," pungkas Igak.

Baca Juga: Satpol PP Pasuruan Bantah Panik dengan Mural 'Dipaksa Sehat'

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya