Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Madiun, IDN Times – Tanaman porang atau iles-iles kian ‘mencuri’ perhatian warga Kabupaten Madiun. Jumlah pembudidayanya semakin bertambah dari waktu ke waktu. Di Desa Klangon, Kecamatan Saradan, misalnya, lebih dari 900 petani sudah mengembangkan tanaman bernama latin Amorphopallus muelleri Blume ini.
Hartoyo, salah seorang petani porang di Desa Klangon mengatakan bahwa kondisi ini bertolak belakang dengan masa dikenalkannya tanaman ini pada tahun 1986. Kala itu, banyak warga yang memandang sebelah mata. Jumlah petani yang menanam di lahan milik Perum Perhutani hanya sekitar 20 orang.
1. Warga tergoda karena hasil menjanjikan
IDN Times/Nofika Dian Nugroho Selang tiga tahun, porang panen untuk kali pertama. Petani merajang dan menjemurnya. Setelah kering, dijual kepada seorang pengsusaha dari Surabaya. Umbi porang itu kemudian diolah di pabrik untuk dijadikan tepung. Proses ini sekaligus menghilangkan zat penyebab gatal yang menyertainya.
“Setelah itu warga semakin banyak yang ikut menanam. Karena hasil penjualannya cukup menjanjikan,” ujar Hartoyo ditemui di kediamannya, Rabu (22/5).
2. Bagi hasil dengan Perum Perhutani selaku pemilik lahan
IDN Times/Nofika Dian Nugroho Pria berusia 56 tahun itu menyatakan lupa nominal nilai jual per kilogram umbi porang kering kala itu. Hanya saja ia masih mengingat warga yang usai menjual porang mendapatkan keuntungan besar. Sebagian di antaranya membeli beberapa ekor sapi dan sepeda motor baru. Karena itu, warga lain mulai ikut-ikutan membudidayakan porang.
Mereka melakukan penanaman di hutan yang terbentang luas di Desa Klangon. Teknisnya, dengan membayar dana bagi hasil kepada Perum Perhutani senilai Rp 10 persen dari pemanfaatan lahan di antara tegakan pohon jati.
3. Porang dari Ponorogo juga masuk ke Saradan
IDN Times/Nofika Dian Nugroho Kini, luasan lahan hutan yang ditanami porang di Desa Klangon sekitar 750 hektare. Omzet dari pembudidayaan porang yang dikembangkan warga desa di lereng Gunung Pandan lebih dari Rp 10 miliar per tahun. Uang sebanyak itu termasuk penjualan hasil panen dari wilayah lain, seperti Kecamatan Gemarang, Dagangan, dan Pulung (Ponorogo).
“Dijual ke pengepul di sini dalam kondisi masih basah,” ujar Hartoyo. Untuk harga porang basah yang berlaku saat ini Rp 9.000 per kilogram dan kering Rp 54 ribu. Nilai jual itu seringkali mengalami fluktuasi lantaran dipengaruhi permintaan pasar luar negeri dan nilai tukar mata uang rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat.
Baca Juga: Bisa Tembus Rp300 ribu, Petani Nganjuk Jual Porang Hanya Rp6.000
4. Juga masuk pasar Cina
IDN Times/Nofika Dian Nugroho Naik-turunnya harga yang dipengaruhi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, Hartoyo, menjelaskan karena olahan porang untuk memenuhi pasar Jepang. Tepung umbi yang mengandung zat Glucomanan ini dinyatakan sebagai bahan pembuat lem, mi, pembungkus kapsul, penguat kertas, dan sebagainya.
“Informasi dari pihak pabrik, tepung porang juga sudah masuk (pasar) Cina,” kata Hartoyo yang merupakan pensiunan karyawan Perum Perhutani ini.
5. Warga di sejumlah kecamatan ikut menanam porang
IDN Times/Nofika Dian Nugroho Karena permintaan tinggi, maka pembudidayaan tanaman porang kian meluas. Selain di wilayah Kecamatan Saradan, penanaman juga dilakukan di lahan hutan wilayah Kecamatan Gemarang, Kare, Dagangan.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Madiun luas lahan dari tanaman ini mencapai 1.544 hektare. Adapun produksinya sebanyak 8.704,09 ton dalam sekali panen per tahun. Musim panen porang ini mulai Maret hingga Juli. “Memang pengembangan porang semakin luas,” kata Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Madiun, Muhammad Yasin.
Baca Juga: Blusukan ke Hutan, Khofifah Larang Biji Porang Diekspor ke Luar Negeri