TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Rumah Batik Wistara, Ruang Berkarya untuk Semua

Difabel dengan berbagai latar belakang saling berkolaborasi

Difabel daksa,Teguh Iman Hidayat (30) saat menjahit di Rumah Batik Wistara. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Surabaya, IDN Times – Suara mesin jahit terdengar bersahutan, saat langkah kaki baru saja melalui gerbang rumah dengan ukiran khas Jawa, Sabtu sore (11/9/2021). Tiga orang tampak sibuk di ruang tengah rumah yang terletak di Medokan Ayu, Surabaya, Jawa Timur ini. Ada yang memotong dan mengukur kain. Ada pula yang terlihat fokus menjahit kain batik.

Adalah Teguh Iman Hidayat (30), seorang difabel daksa itu fokus menjahit sehelai kain di meja jahitnya. Sementara, Amilus Sholikha (28) yang merupakan difabel rungu, tampak mengukur kain batik sembari duduk di lantai. Kain-kain yang telah diukur langsung dipotong seorang difabel wicara, Frita Alvin (24).

Kolobarasi ini terjadi setiap hari di Rumah Batik Wistara. Berbeda dengan rumah batik lainnya, industri batik yang beralamat di Medokan Ayu, Surabaya ini memberdayakan para difabel untuk berkarya lebih dari satu dekade lamanya. Ialah Aryono Setiawan yang menggagas ide ini sejak 2010 lalu.Tak hanya menjahit, para difabel di sini juga terlibat membuat motif hingga membatik.

Pria yang akrab disapa Aryo ini percaya, sama seperti yang lain, difabel juga bisa bekerja dan berkarya asalkan mereka diberi kesempatan. Ada 10 orang yang bekerja di Rumah Batik Wistara. Semuanya difabel. Mulai dari difabel daksa, rungu hingga wicara.

"Hari ini terlihat hanya ada tiga orang, karena akhir pekan. Soalnya ada yang izin pulang. Ada juga yang izin mau nikah," ujar Aryo kepada IDN Times.

Baca Juga: Sulitnya Jadi Difabel di Negeri Ini

Menampung yang tak beruntung

Aktifitas membatik di Rumah Batik Wistara. Dok. Batik Wistara.

Sejak awal, Rumah Batik Wistara memang diniatkan untuk membantu kelompok marjinal, khususnya difabel. Aryo tidak ingin difabel dipandang sebelah mata. "Kita bukan mencari untung saja. Untung buat kita tidak menjadi hal yang utama. Karena intinya, semua yang dilakukan di sini agar adik-adik bisa terus bekerja," dia menjelaskan.

Saat akan mendirikan Rumah Batik Wistara, Aryo menghubungi sejumlah rekannya termasuk yang ada di balai-balai pelatihan milik dinas sosial provinsi. Salah satunya temannya yang bekerja di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Rehabilitasi Sosial Tuna Rungu Wicara, Bangil, Pasuruan. Aryo meminta temannya menfasilitasi para difabel untuk ikut pelatihan dan magang di sana.

Selesai magang mereka akan ditawari untuk bekerja di Wistara. Aryo tidak memberi beban kerja yang banyak. Target-target kerja juga disesuaikan dengan kondisi masing-masing orang.  "Jadi satu orang itu bisa menjahit 10 baju dalam sebulan, memang waktu itu skala kita masih kecil," katanya. Tapi perlahan, tiap orang mulai bisa menghasilkan jahitan sebanyak 50 baju dalam sebulan.

Dibekali beragam keterampilan

Rumah Batik Wistara bukan sekadar tempat bekerja, namun juga ruang untuk berkarya dan mengasah keterampilan. Untuk itu, para difabel yang bekerja di rumah ini terus diasah kemampuan dan keterampilannya. Jika sudah mahir dalam menjahit, mereka akan diberi keterampilan baru. Misalnya, membuat motif batik secara mandiri.

Meski demikian, Aryo tak akan memaksa. Karena, ada sebagian dari mereka yang hanya ingin fokus menjahit. Terutama difabel daksa. "Ya intinya memberi mereka kesempatan belajar, tetap mandiri dan berkarya," katanya menambahkan.

Hasilnya, satu motif Corona tercipta pada 2020 lalu. Tak menunggu waktu lama, Aryo langsung mengajak beberapa difabel rungu dan wicara membatik di bagian belakang rumah dimana terdapat satu mesin canggih untuk membatik. Motif batik yang telah dibuat diprogram ke mesin tersebut. Kemudian mesin itu bekerja dengan cara mengukir. Media ukir yang disiapkan ialah kardus tebal.  Setelah terukir motif, kardus tebal ini bisa digunakan untuk membatik.

"Kita pakai metode paling simpel yaitu canting cap. Kardus yang sudah terukir motif corona itu dicelupkan ke malam (lilin) yang dipanaskan untuk selanjutnya ditempelkan di atas bidang kain berwarna putih," ujar Aryo menjelaskan.

Kain batik bermotif Corona ini mendapat respons positif di pasaran dan langsung mendongkrak angka penjualan rumah batik ini. Kain batik hasil karya para difabel ini dipesan beragam kalangan mulai dari komunitas hingga instansi pemerintah. "Salah satu yang memborong itu PLN."

Berkreasi di tengah pandemik

Proses pembuatan masker batik di Rumah Batik Wistara. Dok. Batik Wistara

Selain memproduksi kain dan pakaian batik, Rumah Batik Wistara juga membuat masker dari kain perca batik. Ini dilakukan agar bisnis bisa terus berjalan. Pasalnya, mereka juga kena imbas pandemik COVID-19. Pelatihan singkat pun langsung dilakukan. Hasilnya, mereka bisa langsung memproduksi masker. Pesanan pun mulai berdatangan.

"Makanya saya inisiatif mengajak adik-adik untuk membuat masker. Karena pesanan baju turun drastis, sekarang orang-orang banyak yang pesan masker batik," ujar Aryo.

Meski pemasukan dari menjual masker lebih kecil dibandingkan baju, Aryo tak mempersoalkan. Bagi dia yang penting para pekerjanya bisa gajian tiap bulan. Beragam cara digunakan guna memasarkan produk Wistara, termasuk memanfaatkan marketplace.

"Ini juga masuk dari pihak Tokopedia memberikan slot dan kemudahan buat kami untuk ikut serta menjual produk-produk Batik Wistara."

Batik Wistara sudah seperti rumah

Lusi (kiri) bersama Teguh (kanan) saat di Rumah Batik Wistara. IDN Times/ Ardiansyah Fajar

Para pekerja mengaku betah dan kerasan. Teguh misalnya. Pria yang bekerja sejak awal dan ikut merintis usaha Rumah Batik Wistara menganggap Wistara seperti rumah sendiri. Pria asal Cilacap ini mengaku tak sengaja bertemu dengan Aryo. Awalnya ia ikut pelatihan menjahit di Solo. Setelah lulus dari pelatihan, ia meminta dicarikan lowongan pekerjaan. Dinsos Solo kemudian memberi nomornya Aryo. Singkat cerita Teguh akhirnya bertemu Aryo dan diterima kerja di Wistara. "Ternyata ada, saya berangkat ke Surabaya," kata Teguh.

Awal kerja di Rumah Batik Wistara, Teguh sempat merasakan kesulitan. Terlebih saat bekerja sama dengan rekan-rekannya yang sudah ada lebih dulu. "Di Wistara saya sempat mengalami kesulitan, saya butuh adaptasi. Apalagi di sini kebanyakan tuna rungu, saya tuna daksa sendiri. Saya belajar memahami Bahasa isyarat, cara ngobrol dan memahami mereka," ungkap dia.

Seiring waktu, Teguh mulai bisa memahami dan bisa berinteraksi dengan rekan kerjanya. Ia menganggap mereka bukan sekadar rekan kerja namun sudah seperti keluarga. "Sudah benar-benar seperti keluarga, makan bareng-bareng. Boleh ngambil sendiri. Terus masakannya bergizi dan enak-enak," ucap Teguh.

Hal ini yang membuat Teguh memilih untuk kembali lagi ke rumah ini. Teguh sempat resign dari Wistara pada 2018 lalu karena membuka usaha sendiri di Sidoarjo. Tapi, awal tahun ini ia kembali lagi bekerja di Wistara. "Mas Aryo ngizinin saya buat balik kerja lagi, saya langsung masuk lagi."

Berita Terkini Lainnya