Nasib Apes Perawat Jatim, Potongan Insentif hingga Macetnya Santunan
Hingga saat ini sudah ada 106 perawat Jatim yang gugur
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Surabaya, IDN Times - Peringatan ulang tahun ke-47 Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) kelabu. Semarak menyambut usia yang lebih dewasa itu tidak ada. Berganti rasa was-was terhadap COVID-19 yang terus menghantui selama satu tahun belakangan.
Terbukti, sebanyak 3.260 perawat di Jawa Timur (Jatim) terkonfirmasi positif COVID-19 per 15 Maret 2021. Dari jumlah tersebut, 106 perawat dilaporkan meninggal dunia akibat ganasnya virus SARS CoV-2.
Banyaknya perawat yang gugur di medan pandemik tentunya menjadi catatan merah bagi PPNI. Induk organisasi profesi ini seakan tak bisa berbuat banyak untuk bisa melindungi anggotanya dari infeksi COVID-19. Sebab, virus ini datangnya tak terduga.
"Dari data saya, (perawat) puskesmas banyak (yang positif). Rumah sakit juga sudah kita bagi khusus COVID-19 dan rawat jalan, rawat jalan juga kena (COVID-19)," ujar Ketua PPNI Jatim, Prof Nursalam saat ditelepon, Kamis (18/3/2021).
Jika seperti ini, kata Nursalam, kejujuran dari pasien menjadi kunci utama. Selama ini, penggunaan APD di puskesmas maupun rumah sakit bagian rawat jalan tidak seketat di areal khusus COVID-19. Maka, kalau merasa bergejala atau kontak erat dengan yang terkonfirmasi seharusnya melaporkan diri ke rumah sakit khusus COVID-19.
"(Perawat) yang tidak pakai hazmat lengkap bisa terpapar dan meninggal," kata Nursalam.
1. Insentif masih macet, dipotong pula
Besarnya ancaman terhadap perawat, ternyata tidak sebesar upah yang didapatkannya. Apalagi baru-baru ini ada kabar kalau insentif bagi perawat yang menangani pasien COVID-19 dipangkas. Ternyata, kabar ini dibenarkan oleh Nursalam.
Sejak Oktober 2020 hingga sekarang, Nursalam menyebut, beberapa perawat melaporkan insentifnya tak kunjung dicairkan. Ada juga yang sudah cair tapi mendapat potongan-potongan karena berbagai mekanisme yang tidak jelas.
"Beberapa insentif tidak sesuai, harusnya Rp7,5 juta per bulan tapi ada penghitungan dari Kemenkes kalau full itu Rp7,5 juta, kalau tidak full mungkin sakit atau rolling tidak dapat semua itu. Jadi pembayaran belum lengkap mulai Oktober masih banyak," katanya.
"Ada juga kalau rumah sakit vertikal itu (dapatnya) langsung. Karena ada yang rumah sakit daerah itu, masuk ke kas daerah. Ini agak ribet. Kadang ada pemotongan. Misal saya di ruang COVID-19, yang lain juga membantu sehingga diambilkan dari uang itu. Menurut KPK tidak boleh. Harusnya tertulis," dia menambahkan.
Baca Juga: Cerita Perawat di Lamongan, Kena COVID-19 dan Sempat Dikucilkan
Baca Juga: Bertambah Lagi, Ini Daftar Perawat di Jatim yang Gugur karena COVID-19