TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pamer Capaian Penghijauan, Risma: Surabaya Kayak Hutan

Risma gunakan pohon jadi barometer kualitas udara, caranya?

(IDN Times/Kevin Handoko)

Surabaya, IDN Times – Kepedulian Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini di bidang lingkungan tak perlu diragukan lagi. Kecintaannya pada kebersihan dan penghijauan begitu tampak selama ia memimpin Kota Pahlawan.

Terbukti, Risma 'rajin' mendapat banyak penghargaan di bidang lingkungan. Salah satunya yaitu Sustainable City and Human Settlements Award (SCAHSA) kategori Global Green City oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Teranyar, ia juga menyabet tiga penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yaitu Penghargaan Adipura Kencana, Penghargaan Kinerja Pengurangan Sampah, dan Penghargaan Nirwasita Tantra tahun 2019.

Risma pun berkesempatan berbagi landasan pemikirannya terkait pembangunan Kota Surabaya yang ramah lingkungan di atas panggung Visionary Leaders dalam acara Indonesia Millennials Summit 2020 by IDN Media yang digelar di The Tribrata, Dharmawangsa, Jakarta Selatan pada 17-18 Januari 2020. Ia bercerita mengenai upayanya mulai dari mengolah sampah, memanfaatkan sumber daya alam terbarukan, merawat ruang terbuka hijau dan kualitas udara, hingga dampaknya pada penanggulangan banjir.

“Jadi tidak betul kalau ada yang ngomong bahwa kalau ada yang concern di lingkungan itu ekonomi kita turun, itu salah. Indeks property di Surabaya itu tertinggi di Indonesia. Karena apa? Itu karena lingkungan kita bagus. Jadi itulah yang kemudian orang senang datang,” tutur Risma.

Baca Juga: IMS 2020: Ternyata Ini Rahasia Risma Cepat Tangani Banjir di Surabaya

1. Di Surabaya, botol bekas bisa ditukar jadi ongkos untuk naik bus

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini saat menjadi pembicara di IMS 2020. IDN Times/Kevin Handoko

Satu masalah Kota Surabaya yang diungkapkan Risma adalah sampah. Dengan jumlah penduduk hampir mencapai 3 juta orang, penumpukan sampah pun tak bisa dihindari. Untuk mengatasi itu, Risma memulai dengan hal dasar yaitu kebiasaan memilah sampah organik dan non organik. Dengan demikian, tahap pengolahan sampah berikutnya akan menjadi lebih efektif dan efisien.

“Masyarakat kita ajarkan mengelola sampah dari sumbernya. Nah kemudian masyarakat kami ajarkan memilah sampah yang organik menjadi kompos dan sampah anorganiknya mereka jual,” kata dia.

Untuk sampah organik, selain meminta masyarakat mengolah di komposter dan taka kura di masing-masing kampung, Risma juga mengolahnya menjadi pupuk kompos. Pengolahan ini dilakukan di taman-taman agar hasil olahan bisa segera dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.

Sedangkan sampah non organik, Risma meminta agar warga-warganya bisa membuat kerajinan tangan atau ditimbun dalam bank sampah. Pemkot  Surabaya juga mempunyai bus plat merah yang digunakan sebagai kampanye pemanfaatan sampah yaitu Suroboyo Bus.

“Kalau di tempat lain botol tidak laku. Tapi di Surabaya botol bisa digunakan untuk naik bus. Jadi kami gunakan naik bus pakai botol,” jelasnya.

2. Olah sampah menjadi listrik

IDN Times/Kevin Handoko

Selain itu, Surabaya juga sudah memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Benowo yang akan segera diresmikan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Dengan teknologi gasifikasi, sampah Kota Surabaya disulap menjadi energi listrik hingga 11 Megawatt. Tak hanya skala besar, pengolahan sampah menjadi listrik juga dilakukan dalam versi kecil. Risma menghitung ada 9 pengolah sampah menjadi listrik skala kecil yang kini ia punya.

“Listrik itu juga digunakan untuk menyinari wilayah kami. Jadi ada di taman, di dekat taman itu kalau ngolahnya benar,  gak bau sampahnya. Jadi kita olah kita jadikan listrik. Ada yang 4 ribu watt ada 6 ribu watt,” jelasnya. Di masing-masing pengolah sampah skala kecil itu, Risma menggunakan insenerator untuk mengkonversi sampah menjadi listrik.

Sekali dayung dua pulau terlampaui. Tak hanya mengatasi volume sampah, Risma juga memanfaatkan sumber daya alam terbarukan untuk menghasilkan listrik. Ia juga sudah menerapkan solar cell sebagai sumber listrik utama di kantor pemerintahan dan ratusan lampu lalu lintasnya.

“Dan ini penghematannya luar biasa. Di Pemkot karena kami menggunakan solar cell jadi kami bisa menghemat hingga 3 persen anggaran untuk membayar listrik,” ungkapnya.

3. Risma tak masalah Surabaya disebut seperti hutan karena banyak pohon, demi menekan polusi udara

Taman di depan Museum Bank Indonesia, Surabaya. IDN Times/Vanny El Rahman

Membahas lingkungan Kota Surabaya tak lengkap rasanya jika tidak memamerkan pencapaian penghijauannya. Risma mengatakan, Surabaya kerap disebut seperti hutan oleh orang-orang yang baru pertama kali datang. Tak masalah, kata Risma. Itu semua ia lakukan agar lingkungan Kota Surabaya tetap terjaga dan kualitas udara tetap layak.

“Makanya Surabaya kayak hutan, di tengah kota kayak hutan. Karena itu selalu saya tambah terus karena mobilnya tambah terus. Saya gak bisa orang lagi senang-senangnya naik mobil tiba-tiba oh gak boleh naik mobil,” ungkapnya.

Risma memaparkan, saat ini jumlah Ruang Terbuka Hijau di Kota Surabaya adalah 28 persen dari total luas wilayah secara keseluruhan. Jumlah ini masih berada di bawah batas minimal RTH di wilayah perkotaan yaitu 30 persen berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Penataan Ruang nomor 26 tahun 2007. Risma sesumbar akan mewujudkan 35 persen RTH di Kota Surabaya.

“Itu mimpi kita. Setiap tahun bertambah jadi kami membuat taman, hutan kota, jadi taman tersebar di seluruh Kota Surabaya dan taman itu seluruhnya free wifi. Jadi di Kota Surabaya ada 1.900 titik free wifi,” tuturnya.

Berdasarkan data yang dihimpun IDN Times, pada 2019 setidaknya ada 613 taman di Kota Surabaya. Taman-taman itu pun dibuat tematik. Mulai taman ekspresi, taman lansia, hingga taman paliatif. Risma berharap, taman menjadi sarana hiburan masyarakat sekaligus produsen oksigen bagi Kota Surabaya  yang panas itu.

Selain taman, Risma juga berusaha mengurangi polusi dan menurunkan suhu udara melalui penanaman pohon tepi jalan. Tak hanya untuk menghasilkan oksigen, Risma juga menggunakan pohon sebagai barometer kualitas udara di Kota Surabaya.

“Kalau pohon tumbuh batangnya sudah hitam itu sudah kena polusi dia, gak mau mbunga (tumbuh bunga) dia. Jadi mudah sekali sebetulnya walau di Surabaya alat pemantaunya sangat sedikit jumlahnya tapi saya selalu melihat itu. Begitu sudah daunnya keriting gak mekar itu sudah kena polusi dan harus saya tambah,” ujar dia.

Baca Juga: Pulang dari IMS 2020, Risma Langsung Pimpin Pembenahan Saluran Air

Berita Terkini Lainnya