Gula Gak Laku, Kena Tarif Trump

- Ratusan ribu ton gula menumpuk di gudang Jawa Timur karena tidak terserap ke pasar.
- Pedagang takut membeli gula karena harga tidak stabil, sementara petani mengalami kesulitan merawat tanaman tebu.
- Penumpukan gula disebabkan oleh ketidaklakuannya di pasaran dan dampak dari tarif Trump terhadap harga jual gula tetes.
Surabaya, IDN Times - Ratusan ribu ton gula di Jawa Timur (Jatim) menumpuk di gudang. Hal ini terjadi setelah tidak terserapnya gula ke pasar. Petani pun turut merasakan dampaknya.
Berdasarkan data yang dihimpun per 8 Agustus 2025, jumlah stok gula di gudang Pabrik Gula (PG) saat ini mencapai 62.542 ton milik petani, 144.341 ton milik pedagang, dan 45.916 ton milik pabrik. Jumlah total 268.340 ton.
"Lelang terakhir dilakukan kemarin tanggal 5 Agustus 2025, dengan harga lelang 14.500/kg. Kita lelang tapi tidak ada yang menawar. Padahal angka tersebut lebih rendah daripada harga gula di luar Jawa yaitu sekitar 14.600-14.700/kg," ujar Ketua DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jatim HM Arum Sabil.
Salah satu laporan yang didapatkan Arum, pedagang tidak berani membeli karena tidak ada kepastian stabilitas harga. Pedagang takut ketika membeli dengan harga tersebut, nantinya merugi karena harga terus turun dan pasar tidak bisa menyerap.
"Kalau ini dibiarkan maka petani tebu tentu mengalami kesulitan untuk merawat tanaman tebunya setelah ditebang. Kalau tidak terawat, tanaman tebu akan mengalami 'stunting' atau pertumbuhan yang tidak optimal. Dampak lainnya produksi tebu dan gula tahun berikutnya akan terancam mengalami penurunan," bebernya.
Menurut Arum, pemerintah harus segera membeli gula petani dengan kisaran harga Rp14. 500- Rp 15.000. Dengan begitu, nasib petani tebu terselamatkan dan ekosistem gula petani tetap berjalan sehat.
Selain itu, lanjut Arum, emerintah segera membentuk Badan Koordinasi yang melibatkan institusi terkait untuk membuat arah kebijakan pergulaan nasional agar lahir kebijakan yang adil dan bisa melindungi petani serta konsumen, termasuk semua pelaku usaha pergulaan nasional.
"Harus ada penertiban gula yang beredar tidak sesuai dengan peruntukannya. Petani fokus memproduksi dengan kualitas terbaik dan pemerintah menjamin ekosistem bisnisnya. Jaminan harga minimal untuk petani harus diatur dan dibeli oleh pemerintah," katanya.
Senada, Sekretaris Dewan Perwakilan Cabang Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (DPC APTRI) wilayah kerja PG Redjo Agung Baru Madiun, Muhammad Aji Kurniawan mengakui bahwa saat ini gula mengalami penumpukan. Ia menyebut, gula hanya laku pada tiga minggu awal. Saat ini sudah tak laku.
Aji menambahkan, tidak lakunya gula ini berdampak pada penghasilan petani. Saat ini sudah tujuh minggu belum ada pencairan. Ia berasumsi, dalam satu minggu biasanya pabrik gula dapat menghasilkan 800 ton gula. Jika sudah tujuh pekan, maka ditaksir gula yang menumpuk di pabrik gula mencapai 5.600 ton.
"Gula pasir yang menumpuk masih bisa disimpan dan dibukakan gudang oleh pihak pabrik. Tapi persoalan lain ada di gula tetes," ungkap Aji.
Aji mengatakan, gula tetes lebih krusial. Penumpukan yang terjadi bisa mengurangi produksi pabrik gula. Karena tempat penyimpanannya terbatas. Ia membeberkan, ikut terdampaknya gula tetes ini karena ada kesepakatan Indonesia dengan negara tertentu, sepeti Amerika dan Pakistan.
"Sejak adanya tarif Trump, Indonesia buat kesepakatan kalau produk Amerika masuk itu kena nol. Hal ini berdampak pada harga jual gula tetes," ungkap Aji.
Aji menyebut kalau gula tetes dalam negeri dijual di kisaran harga Rp1.400 per liter. Harga ini sudah turun jauh, karena sebelumnya Rp2.200 per liter. Namun adanya kelonggaran Amerika, mereka bisa menjual di harga Rp900 per liter.
"Harapan kami, mungkin bisa duduk bareng dengan pemprov. Produksi gula nasional tertinggi penyumbangnya Jatim dan ingin wujudkan swasembada gula, tapi bagaimana swasembada gula tercapai kalau jual gulanya aja susah," tegas Aji.