Carok, Harga Diri Atau Pembenaran Kekerasan?

Dalam enam bulan, ada tiga kali carok di Surabaya

Surabaya, IDN Times - Rabu (10/3/2021) siang, Demiri (35) yang sedang bersantai di sebuah warung kopi Jalan Simo Dawar, Surabaya, kedatangan tamu tak diundang. Tanpa basi-basi, sang tamu yang datang bersama dua orang itu langsung menyabet tubuh Demiri dengan celurit. Seketika, pria Sampang itu roboh bersimbah darah. Pembacok yang belakangan diketahui bernama Abdul Hosyid (39) kemudian kabur meninggalkan luka bacokan di tangan, tubuh, dan punggung korban.

Kejadian yang terjadi saat siang bolong itu pun membuat warga setempat heboh. Beberapa saksi mengatakan sempat mendengar keributan, namun tak menduga bahwa kejadian itu merupakan peristiwa pembunuhan. "Sempat ada yang melihat korban diserang oleh sejumlah orang tak dikenal dalam jumlah yang belum diketahui. Diduga ini dibacok. Tapi kejadian berlangsung begitu cepat," kata Kapolsek Sukomanunggal, Ade Christian Manapa.

Kurang dari 24 jam, polisi menangkap Abdul Hosyid di rumah orangtuanya di Sampang. Kepada polisi, Abdul mengaku terbakar cemburu lantaran sang istri Rosi'ah beberapa kali berselingkuh dengan korban. Perselingkuhan pertama terjadi saat ia masih bekerja di Malaysia tahun 2013. Kala itu, ia memilih memaafkan.

Agar kejadian serupa tak terulang, ia pun mengajak Rosi'ah ke Malaysia. Mengaku tak kerasan, sang istri meminta pulang pada tahun 2019. Belakangan ia mengetahui bahwa Rosi'ah kembali merajut hubungan dengan Demiri. Bahkan, keduanya menikah sirih meski proses cerai dengan Abdul belum kelar. 

Sakit hati Abdul makin memuncak lantaran Rosi'ah sudah melahirkan seorang anak meski baru 6 bulan menikah. Akhirnya, ia pun naik pitam dan memutuskan untuk membalaskan dendam asmaranya kepada Demiri. "Kalau dibilang menyesal sih ya menyesal," kata Abdul. Atas perbuatannya, Abdul Hosyid dijerat pidana pembunuhan berencana karena melanggar Pasal 338 KUHP subsider Pasal 340 KUHP dengan ancaman hukuman seumur hidup.

Abdul tak sendirian. IDN Times mencatat, dalam kurun waktu enam bulan, ada tiga kali aksi pembunuhan dengan pembacokan. Ketiganya memiliki beberapa persamaan. Pertama, sama-sama dilakukan oleh warga Madura dengan korban yang juga merupakan orang Madura. Kedua, permasalahan dari ketiga pembacokan juga sama, yaitu asmara, istri pelaku diduga berselingkuh dengan korbannya. Ketiga, pembacokan itu semua dilakukan dari arah belakang secara tiba-tiba menggunakan senjata tajam jenis celurit.

Jika dilihat dari tiga faktor kesamaan itu, ketiganya merupakan aksi carok, salah satu budaya balas dendam yang melekat pada suku Madura. Carok kerap dilakukan oleh orang Madura jika memiliki dendam tertentu, terutama masalah perempuan dan harta. Namun tentu saja, tindak kekerasan sebagai bentuk balas dendam ini tak bisa dibenarkan atas nama budaya.

Baca Juga: Pembacok Pemuda di Semampir Surabaya Ternyata Seorang Jagal Sapi

1. Carok bisa terjadi karena adanya ketidaksaran kolektif

Carok, Harga Diri Atau Pembenaran Kekerasan?Ilustrasi Garis Polisi (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam bukunya yang berjudul Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, A. Latief Wiyata mendefinisikan carok sebagai tindak kekerasan menggunakan senjata tajam dengan tujuan kematian antarlaki-laki Madura di tanah Madura, yang terjadi karena adanya masalah harga diri, terutama terkait perempuan dan harta. Tujuan dari carok ini bukan hanya memberi hukuman kepada lawan namun juga kepuasan dari pelakunya karena berhasil merebut harga diri yang telah diusik.

Senada dengan Latief, seorang dosen Bahasa Madura yang juga pegiat budaya Madura dari Universitas Airlangga, Sri Ratnawati juga menjabarkan carok dengan definisi serupa. Namun, perempuan asal Situbondo ini memperluas batasan carok. Ia menyebut bahwa carok tidak hanya di tanah Madura tapi bisa juga di kota lain seperti Surabaya. Dengan pengartian yang diajukan oleh Ratna, tiga kejadian yang terjadi di Surabaya dapat digolongkan sebagai carok.

"Bergeser ke sini carok masih ada mungkin karena adanya faktor psikologis semacam ketidaksadaran kolektif dari masyarakat Madura. Apalagi masalah perempuan, perempuan itu bagi laki-laki adalah harga dirinya," ujar Ratna saat dihubungi IDN Times.

Menggunakan terminologi psikologi, Ratna menggambarkan carok sebagai sebuah ketidaksadaran kolektif. Ketidaksadaran kolektif ini muncul karena adanya cerita-cerita tentang carok yang sudah ada sejak nenek moyang suku Madura secara turun temurun. Akhirnya, carok memiliki nilai tersendiri bagi masyarakat Madura sebagai salah satu bentuk mempertahankan harga diri.

"Saya melihatnya justru dari sisi ketidaksadaran kolektif yang di kalangan orang Madura secara turun menurun. Ia tertekan oleh ketidaksadaran kolektif selain ketidaksadaran individu. Kalau secara individu mungkin bisa diselesaikan tanpa carok, tapi karena ini kolektif, saudara-saudaranya belum tentu mau. Ketidaksadaran kolektif ini tampaknya menekan seseorang sehingga menjadi pengalaman emosional yang turun menurun sehingga ia melakukan itu."

2. Perempuan jadi faktor terbanyak penyebab carok

Carok, Harga Diri Atau Pembenaran Kekerasan?Ilustrasi celurit atau arit. IDN Times/ istimewa

Carok biasanya dicetuskan dari beberapa masalah yang menyangkut harga diri. Latief sempat membuat persentase tentang masalah yang menyulut adanya carok di Kabupaten Bangkalan pada tahun 1990-1994. Masalah pertama yang paling banyak menyebabkan carok adalah perempuan, tepatnya saat istri pelaku berselingkuh atau diganggu oleh orang lain yaitu sebesar 60,4 persen. 16,9 persen kasus lainnya disebabkan oleh kesalahpahaman. Sementara 9,2 persen lainnya karena utang piutang dan 6,7 persen sisanya akibat warisan.

Sementara Ratna menjelaskan, perempuan menempati kedudukan pertama sebagai penyebab terjadinya carok karena masyarakat Madura memiliki arti sendiri terhadap perempuan. Perempuan, utamanya istri dianggap sebagai harta dan simbol seks yang harus dipertahankan. Jika sang istri berselingkuh, maka hal tersebut menjadi pelecehan harga diri bagi suaminya.

"Kalau sampai perempuan berselingkuh dan sebagainya, sama saja menunjukkan ketidakmampuan suaminya untuk melayani sang istri. Perempuan menjadi simbol keperkasaan dari laki-laki Kalau perempuannya selingkuh berarti laki-lakinya tidak perkasa," tutur Ratna.

Meski istrinya yang berselingkuh, namun masyarakat Madura tidak melukai istrinya tetapi pria lain tersebut. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki kedudukan yang tinggi dalam masyarakat Madura. Dalam budaya patriarkis, perempuan Madura memang tidak memiliki kedudukan sejajar dengan laki-laki. Namun, mereka cukup dihargai untuk menjadi harta berharga yang tidak boleh direbut atau disakiti oleh orang lain.

"Jadi ada melekat simbol seksual. Keperkasaan laki-laki itu diuji pada perempuan, bagaimana ia melindungi, bagaimana ia bisa memuaskan istrinya supaya istrinya tidak selingkuh."

Baca Juga: Sempat Kabur, Pembunuh Akibat Cemburu Buta di Semampir Ditangkap

3. Ketidaksadaran kolektif akan terus melanggengkan budaya carok

Carok, Harga Diri Atau Pembenaran Kekerasan?Ilustrasi TKP (IDN Times/Mardya Shakti)

Budaya carok ini tampaknya tak akan bisa lepas jika tak ada upaya keras untuk menghentikannya. Ratna mengatakan bahwa ketidaksadaran kolektif yang tercipta di lingkungan masyarakat Madura masih mengikat kuat, sekuat tali persaudaraan mereka.

"Cerita seperti itu yang terus diceritakan, disosialisasikan kepada anak cucu sehingga anak cucu akan membalas seperti itu. Kadang-kadang ketidaksadaran kolektif ini yang akan bertindak daripada keputusan pribadi. Pernah ada sebenarnya dia tidak mau melakukan carok, tapi orangtuanya yang mendorong. Kalau kamu tidak mau, biarkan aku yang melakukan. Itu suatu bentuk ketidaksadaran kolektif yang didukung secara turun menurun," ungkap Ratna.

Nilai ini pun tak akan luntur meski mereka sudah tidak lagi berada di tanah kelahiran. Masyarakat Madura yang banyak merantau hingga berbagai kota terus membawa nilai ini dalam genggaman mereka. Oleh karena itu, di mana pun terjadinya, carok tetaplah carok asalkan memenuhi unsur-unsurnya.

"Pengaruh cerita-cerita dulu kakekmu dibunuh oleh ini atau membunuh itu. Otomatis itu terbentuk pada anak-anak ketika dia masa perkembangan. Meski dia sudah pindah ke Surabaya misal, tapi lingkungannya tidak berubah. Karena ada ketidaksadaran kolektif dan arketipe-arketipe ingatan-ingatan masa lalu cerita masa lalu menjadi ingatan yang selamanya."

Ketidaksadaran kolektif ini akhirnya membenarkan perilaku carok. Bahkan, setelah pelaku carok menghabisi lawannya, tak sedikit yang menyerahkan diri ke polisi. Mereka juga dengan bangga menceritakan telah mencarok korbannya untuk mempertahankan harga diri.

Bahkan, salah satu pelaku carok di Surabaya dengan tegasnya mengatakan puas telah membunuh laki-laki yang diduga menggoda sang istri. "Saya puas, saya tidak menyesal membunuhnya. Dia mengganggu istri saya. Sejak 2019 lalu, saya sudah dendam. Kemudian saya beli celurit itu," ungkap Mat Naim pelaku dihadapan para wartawan saat konferensi pers di Mapolres Pelabuhan Tanjung Perak, 17 Oktober 2020.

Baca Juga: Pembacok Korban di Simo Jawar Tertangkap, Ternyata Bermotif Cemburu

4. Salah kaprah peribahasa juga membuat carok akan susah hilang

Carok, Harga Diri Atau Pembenaran Kekerasan?Konferensi pers pembunuhan dengan pembacokan di Mapolrestabes Surabaya, Jumat (12/3/2021). IDN Times/Fitria Madia

Ratna melanjutkan, ketidaksadaran kolektif ini juga terjadi karena adanya salah kaprah pada salah satu peribahasa yang sangat dipegang oleh masyarakat Madura yaitu aotang dhara nyerra dhara (utang darah dibayar darah). Peribahasa tersebut malah dijadikan pembenaran perbuatan carok, yaitu tak apa membunuh seseorang jika ia telah mengusik harga diri.

Padahal, Ratna menjabarkan bahwa peribahasa tersebut sebenarnya berfungsi sebagai sebuah peringatan agar kita tidak menyakiti orang lain. Peringatan ini bukan berarti pembenaran sebuah aksi balas dendam jika telah tersakiti.

"Peribahasa tersebut malah diartikan dengan lugas, yaitu jika kamu menyakitiku maka aku akan menyakitimu. Jika ada orang menyakiti maka kita harus membalasnya," imbuhnya.

Peribahasa ini sebenarnya menjelaskan konsep konsekuensi di luar balas dendam. Ratna mencontohkan adanya hukuman kisas dalam Islam. Hukum formal seperti penjara hingga hukuman mati juga merupakan bagian dari peribahasa aotang dhara nyerra dhara.

"Padahal makna sebenarnya adalah kehati-hatian, kalau tidak ingin terbunuh ya jangan membunuh. Itu arti yang bijak sebenarnya. Memberikan peringatan kepada seseorang bahwa kalau kamu membunuh maka kamu akan dibunuh."

Baca Juga: Lagi, Seorang Pria Korban Bacok Ditemukan Tewas Bersimbah Darah

5. Kuncinya adalah pendidikan, generasi muda harus diedukasi bahwa tindakan itu sama sekali tak benar

Carok, Harga Diri Atau Pembenaran Kekerasan?Konferensi pers pembunuhan dengan pembacokan di Mapolrestabes Surabaya, Jumat (12/3/2021). IDN Times/Fitria Madia

Sebenarnya, masyarakat Madura dikenal agamis. Apalagi banyak pesantren ternama dan ulama-ulama yang dihasilkan dari Pulau Garam tersebut. Namun bukankah carok bertentangan dengan nilai agama?

Ratna melihat bahwa sebenarnya nilai carok yang ada di masyarakat sudah mengakar kuat. Meski sudah banyak edukasi-edukasi untuk menekan angka carok, nyatanya masih ada menggunakan sebilah celurit untuk merebut harga dirinya. Salah satu faktor yang membuat carok awet adalah pendidikan.

Menurut dia, pentingnya pendidikan masih belum sepenuhnya dirasakan oleh seluruh masyarakat Madura, utamanya yang termasuk kelas menengah ke bawah. Fasilitas pendidikan juga belum menjangkau pelosok desa dengan baik. Sehingga, mereka tak memahami bahwa carok sebenarnya adalah sebuah perbuatan yang salah dan memberikan dampak buruk di kemudian harinya.

6. Carok tak seharusnya dilanggengkan

Carok, Harga Diri Atau Pembenaran Kekerasan?Ilustrasi/pexels.com/ kat wilcox

Meski disebut sebagai salah satu budaya, Ratna tak setuju carok harus dilestarikan seperti budaya-budaya lainnya. Baginya, sudah cukup pertumpahan darah yang terjadi akibat perebutan perempuan atau harta.

"Budaya, kebudayaan yang harus dilestarikan itu yang berperikemanusiaan. Kalau carok ini kan tidak. Meski nilainya bagus untuk mempertahankan harga diri, tapi tidak harus sampai melukai apalagi mencabut nyawa orang lain," ungkap Ratna.

Hal serupa juga disampaikan oleh Rokhyanto dan Marsuki dari IKIP Budi Utomo Malang dalam riset mereka berjudul Sikap Masyarakat Madura Terhadap Tradisi Carok: Studi Fenomenologi Nilai-Nilai Budaya tahun 2015.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Rokhyanto dan Marsuki, 75 persen responden mereka merasa tak bangga memiliki carok sebagai budaya orang Madura. Kemudian 60 persen menolak melakukan carok untuk sebagai penyelesaian masalah. Selain itu, 82,44 persen responden sepakat bahwa carok merupakan kelakuan keji serta melanggar norma hukum dan agama.

Namun, untuk menghapuskan budaya carok memang tak mudah. Ratna menyarankan perlu adanya pencerahan yang dilakukan secara massal dan komperhensif untuk mengedukasi bahwa carok sudah tidak lagi sesuai dengan zaman kini.

"Orang-orang Madura ini kan termarjinalkan. Mereka butuh diberi pencerahan, didekati. Seperti apa sih sebenarnya menyelesaikan masalah tidak harus dengan carok," saran Ratna.

Baca Juga: Sakit Hati Istri Diselingkuhi, Abdul Rencanakan Pembunuhan Demiri

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya