TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Sebelah Mata Penuntasan Kasus Jambret di Kota Pahlawan

Jumlah meningkat, penyelesaian kasus jambret malah menurun

IDN Times/Sukma Shakti

Surabaya, IDN Times - Malam tahun baru biasanya identik dengan kembang api, berdoa, dan kebahagiaan bersama keluarga. Namun tidak untuk Indah Susiloreni. Ia melewati malam pergantian tahun 2019 dengan kelabu. Tatapan matanya kosong memandang ke arah luar jendela saat bercerita rencana pergantian tahunnya yang kandas.

"Sebenarnya tahun baruan pinginnya sama Rere sama Nabil juga. Kan mereka sudah lamaran. Tapi gak jadi he he," tutur Reni, sapaan akrabnya lirih.

Rere, nama panggilan dari Refina Nirmala, merupakan putri sulung Reni. Rere tak bisa lagi menemani Reni pada malam pergantian tahun karena ia telah meninggal dunia pada Kamis (20/12), tepat 3 hari sebelum hari yang ditentukan untuk lamaran dengan sang kekasih. Rere mengembuskan nafas terakhirnya setelah mengalami koma selama 13 hari di dalam kamar perawatan RSUD Dr Soetomo.

Reni sebenarnya ingin merelakan kepergian Rere yang menyusul ayahnya. Jasad Rere pun disemayamkan dalam liang lahat yang sama dengan sang ayah. Namun kepergian Rere masih meninggalkan tanda tanya besar dan perasaan mengganjal bagi semua orang yang mengenal sosok wanita berusia 25 tahun tersebut.

Rere meninggal dalam status sebagai korban kecelakaan lalu lintas. Status yang ditetapkan oleh pihak kepolisian lantaran bukti yang tak cukup untuk merujuk bahwa Rere sebenarnya adalah korban upaya penjambretan. Kerabat Rere pun kini masih menunggu keajaiban agar kebenaran atas kematian Rere terungkap.

 

Baca Juga: Meski Makin Marak, Penyelesaian Kasus Jambret di Surabaya Minim

1. Rere merupakan korban penjambretan tanpa kehilangan barang

Wilfa, saksi korban dalam kasus penjambretan. (IDN Times/Fitria Madia)

 

Sahabat Rere yang sekaligus menjadi saksi kecelakaan, Wilfa Nawiroh, meyakini bahwa kecelakaan yang ia alami bersama Rere bukanlah kecelakaan lalu lintas biasa. Wilfa yakin sepeda motornya jatuh lantaran ada yang berusaha menarik tas Rere yang saat itu sedang dibonceng oleh Wilfa.

"Saat itu kecepatan motor saya normal, sekitar 40 km per jam. Saya pun hanya terjatuh dan mendapat luka lecet. Tapi bagaimana bisa Rere mendapat luka separah itu?" tanya Wilfa saat berkunjung ke kantor IDN Times, Rabu (2/1).

Ketika itu Wilfa dan Rere pun berencana pulang dari Galaxy Mall sekitar pukul 22.00 WIB, Jumat (7/12). Mereka mengendarai motor Wilfa yang diletakkan di parkiran motor seberang Galaxy Mall. Untuk menuju rumah Rere, mereka  putar balik di Jalan Dr H Ir Soekarno.

"Pacar saya sebenarnya buntutin dari belakang sebelah kiri saya. Tidak ada perasaan diikuti oleh orang lain. Saya juga hanya memperhatikan kaca spion sebelah kiri karena usai putar balik saya mau ambil lajur kiri," jelas Wilfa.

Namun siapa sangka, tiba-tiba motor yang dikendarai Wilfa dan Rere ditubruk oleh motor lain dari arah kanan belakang. Tak terlalu keras, seingat Wilfa. Tapi ia merasakan suatu tarikan ke belakang yang menyebabkan motornya oleng dan terjatuh ke arah kanan.

Semua terjadi begitu singkat. Rere pun telah terjatuh tertelungkup bersimbah darah dengan helm dan kerudung yang terlepas. Wilfa kemudian meminta pertolongan untuk diantar ke RS Haji.

Usai mengantar Rere, Wilfa melapor ke Polsek Mulyorejo. Masih kalut, Wilfa menceritakan kronologi kejadian dengan runtut. Polisi pun menyimpulkan bahwa kejadian yang dialami oleh mereka berdua adalah kecelakaan lalu lintas.

"Lalu saya diarahkan ke Unit Laka Lantas Polrestabes Surabaya. Waktu di sana saya disuruh ke Polsek. Kata Polsek saya ke Laka Lantas. Bingung sih, tapi karena saya gak tahu saya nurut saja. Pokoknya saya lapor biar cepat selesai urusannya," kenang Wilfa.

2. Tak ada bukti dan saksi yang mendukung kejadian tersebut adalah penjambretan

 

Setelah beberapa saat ia menceritakan kronologi kejadian, Wilfa semakin yakin bahwa kejadian yang ia alami bukan kecelakaan biasa. Meski tidak ada barang Rere yang hilang namun Wilfa yakin bahwa kejadian yang dialami adalah percobaan penjambretan.

"Apalagi saya dulu juga pernah mau dijambret saat dibonceng pacar saya. Saya juga gak bisa bersuara karena saking kagetnya. Pacar saya pun gak sadar kalau saya hampir dijambret," terangnya.

Kemalangan bertambah aat Wilfa berusaha mengungkap fakta kejadian tersebut. Ia tak menemukan titik terang. Tidak ada saksi di sekitar tempat kejadian yang bersedia memberikan keterangan kepada pihak kepolisian. Empat kamera CCTV yang berada di dekat lokasi pun tak bisa menunjukkan apa dan siapa sebenarnya menyebabkan Rere gegar otak parah hingga meregang nyawa.

Dua CCTV terdekat dari lokasi kejadian adalah miliki Galaxy Mall. Namun sayang CCTV pertama hanya menyorot bagian parkiran dan CCTV kedua terlalu jauh hingga tidak menjangkau titik TKP. CCTV ketiga milik Dinas Perhubungan Kota Surabaya rupanya hanya menyorot persimpangan. Sementara CCTV milik Dinas Komunikasi dan Informasi Surabaya sedang dalam tahap perbaikan.

Tak ada barang hilang, tak ada saksi tambahan, tak ada bukti rekaman CCTV, kasus Rere pun dinyatakan sebagai laka lantas biasa.

3. Kasus penjambretan yang disebut laka lantas pernah terjadi sebelumnya

IDN Times/Sukma Shakti

 

Sebenarnya, kejadian seperti itu tak hanya dialami keluarga Rere saja. Anna Pujiastutik, korban meninggal akibat penjambretan di Jalan Indrapura pun sempat disebut sebagai korban laka lantas biasa lantaran tak ada barang hilang. Hingga kini masih terdapat jejak digital yang menuliskan bahwa Anna bukan korban penjambretan.

Namun beruntung pada kasus Anna masih terdapat saksi mata yang melihat langsung kejadian yaitu anaknya, Talita. Talita yang pada saat itu dibonceng oleh Anna dapat memberikan keterangan usai mendapat perawatan medis.

"Kalau kasus Mbak Refina ini kita memang kesulitan karena saksi posisinya tidak melihat secara langsung. Tidak ada bukti sama sekali. Perihal kejanggalan posisi jatuh, itu hal yang biasa terjadi saat kecelakaan lalu lintas," terang Kanit Laka Lantas AKP Antara saat dihubungi IDN Times, Rabu (2/1).

Meski bukan korban penjambretan, namun Antara mengatakan bahwa pelaku tetap terancam pidana sesuai dengan pasal 311 Undang-undang Lalu Lintas. Antara menyebut pelaku yang membuat Rere tewas terancam pidana 10 tahun karena melakukan tabrak lari.

Antara melanjutkan bahwa hingga saat ini pihak kepolisian masih terus berusaha menemukan pelaku. Namun karena minimnya bukti yang dapat menunjukkan ciri-ciri pelaku, Antara mengaku kesulitan. "Motor Vario Hitam, cuma itu yang diingat," tutup Antara.

4. Angka jambret naik tapi penyelesaian turun

Dok IDN Times/Istimewa

 

Kasus penjambretan atau pencurian dengan kekerasan (curas) memang marak terjadi di Surabaya sebagai kota besar. Berdasarkan data Satreskrim Polrestabes Surabaya, selama 2018 telah ada 194 laporan kasus curas. Namun dari 194 laporan tersebut, baru 165 kasus yang terselesaikan. Jumlah penyelesaiannya menurun daripada tahun sebelumnya.

"Curas atau jambret ini dalam penyelesaiannya kita memang masih menemukan kendala dalam mengenali identitas pelaku. Korban atau saksi sekitar jarang yang memperhatikan nomor polisi dari kendaraan pelaku, hanya kendaraannya saja yang tergambar," ujar Kapolrestabes Surabaya, Kombes Pol Rudi Setiawan.

Titik rawan jambret yang ada di Surabaya pun sebenarnya merata. Penjambret dengan modus berkeliling tidak memikirkan satu titik tertentu di mana ia akan berhenti dan menunggu mangsa di sana. Ketika ia berkeliling dan menemukan calon korban, seketika itu ia beraksi.

"Tapi ada beberpa jalan yang sering terjadi seperti Jalan Indrapura, Jalan Darmo, Merr (Jalan Dr Ir H Soekarno), dan Jalan Arjuna," sebutnya.

Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Sudamiran menambahkan beberapa faktor yang menyebabkan kepolisian sulit menyelesaikan kasus curas di Kota Surabaya.

"Pelaku curas tidak terorganisir jadi ada di kelompok-kelompok kecil yang modusnya mobiling. Apabila di jalan ada sasaran yang terlihat seperti bawa barang banyak, atau sedang main HP, serta merta langsung ditarik. Dia tidak pernah memikirkan bagaimana kalau korban terjatuh atau bagaimana," terang Kasatreskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Sudamiran.

Selain itu, kurangnya fasilitas CCTV yang memadai pun menjadi hambatan kepolisian untuk mengidentifikasi pelaku kejahatan jalanan tersebut.

"Saat ini memang sudah banyak CCTV di Surabaya. Tapi untuk menge-zoom nomor polisi itu masih kesulitan. Tidak kelihatan secara jelas. Kita sudah memberikan masukan kepada Pemkot supaya dianev (analisa dan evaluasi) terkait CCTV itu. Baguslah banyak CCTV-nya cuma ketika kita perlukan, kita kesulitan," terang Sudamiran.

Baca Juga: Sasar Korban yang Main HP di Pinggir Jalan, Dua Jambret Ditembak

5. Fasilitas CCTV difokuskan untuk lalu lintas, bukan kecelakaan

Ilustrasi CCTV/fortresscomms.com

 

Di Surabaya sebenarnya telah ada 1.209 CCTV milik Dinas Perhubungan Kota Surabaya yang tersebar di seluruh penjuru kota. CCTV tersebut memiliki fungsi masing-masing yaitu CCTV simpang/ruas sebanyak 611, CCTV e-Tilang sebanyak 23 unit, CCTV speed cam 5 unit, dan CCTV traffic cam/traffic counting 520 unit.

Kepala Dishub Kota Surabaya, Irvan Wahyu Drajat menjelaskan bahwa seluruh jalan besar di Kota Surabaya telah terpasang CCTV. Hanya saja memang CCTV tidak dapat menjangkau ke seluruh ruas jalan.

"Semua jalan sudah ada namun jangkauan memang belum sepanjang ruas jalan. Semua itu tidak ada yang rusak. Kalau ada gangguan biasanya langsung kita perbaiki atau diganti. Gangguan juga biasanya pada jaringan," terang Irvan saat dihubungi IDN Times.

Namun fungsi dari CCTV tersebut memang difokuskan untuk kebutuhan pengaturan lalu lintas seperti pemantauan kepadatan dan kemacetan. Sehingga kamera CCTV memang diletakkan di posisi-posisi rawan terjadi kemacetan seperti di persimpangan.

"Utamanya surveilance dan traffic counting. Juga untuk prioritas waktu hijau di persimpangan untuk mobil kebakaran, ambulans, pengawalan tamu VIP, serta Suroboyo Bus," imbuhnya.

6. Polisi memiliki skala prioritas dalam penuntasan kasus

IDN Times/Sukma Shakti

 

Kriminolog dari Universitas 17 Agustus Surabaya, Kristoforus L Kleden mengatakan bahwa tidak ditanganinya suatu kasus penjambretan oleh polisi terjadi karena beberapa faktor. Ia menyebut besar kecilnya jumlah kerugian menjadi kunci pemrosesan kasus.

"Alasan kepolisian menindaklanjuti atau tidak suatu kasus itu ada diskresinya sendiri, kebijakan-kebijakan kriminal namanya. Mungkin saja korban tidak merasa terlalu dirugikan. Atau mungkin kerugiannya tidak terlalu besar seperti dialami korban seperti rasa kaget atau jumlah kerugian seperti dompet," tuturnya kepada IDN Times.

Selain itu, besar kecilnya perhatian masyarakat terhadap kasus tersebut juga memberikan tekanan tersendiri kepada kepolisian untuk mengungkapkan sebuah kasus penjambretan.

"Kasus-kasus yang mencuat di permukaan itu lah yang menjadi prioritas utama kepolisian untuk menyelesaikannya. Kalau pun ada kasus jambret yang ternyata tidak sampai diselesaikan oleh kepolisian juga harus dibaca bahwa dalam kasus yang bagaimana kasus tersebut harus diproses sampai ke tingkat selanjutnya yaitu penuntutan," imbuh Kleden.

Skala prioritas kepolisian dalam pengungkapan kasus penjambretan ini dijelaskan Kleden terjadi lantaran banyaknya jumlah laporan kejahatan yang diajukan ke kepolisian sehingga kasus-kasus tersebut harus dipilah sesuai dengan urgensinya masing-masing.

"Bukan berarti polisi itu pilih kasih. Tapi polisi juga mengurus persoalan lain yang ada banyak pada polisi. Termasuk kasus kejahatan konvensional dan kasus tindak pidana tertentu yang tergolong berat. Jadi memang ada skala prioritas tertentu," jelasnya.

IDN Times/Sukma Shakti

Baca Juga: Berlibur di Surabaya, Perempuan Asal Bandung Ini Malah Kena Jambret

Berita Terkini Lainnya