TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

KDRT di Surabaya Naik Selama Pandemik, RUU PKS Diharap Jadi Solusi

Namun pengesahan RUU PKS masih belum jelas

Ilustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Surabaya, IDN Times - Ragu-ragu MN menceritakan kisahnya kepada saya. Sebenarnya, ia tak ingin mengingat-ingat masa lalunya. Sesekali ucapannnya terbata-bata seakan berusaha mencegah trauma datang kembali menghampiri. Ia pelan-pelan menggambarkan bagaimana dulu ia sering mendapatkan kekerasan dari suaminya.

"Dulu sering dijambak, dipukul pakai hanger jemuran. Pernah juga ditendang pakai ember. Bukan masalah besar tapi kalau marah sedikit langsung main tangan," ujar MN berbagi kisahnya menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Beruntung, MN sekarang telah lepas dari jeratan KDRT. Namun, trauma-trauma masa lalu masih melekat di benaknya. Kekerasan memang sudah berhenti ia terima, tapi ketakutan-ketakutan serupa masih bertahan di hatinya. Sejauh ini, MN enggan melaporkan suaminya atas kekerasan yang ia lakukan. Ia menganggap bahwa semua itu adalah masalah rumah tangga yang harus ia simpan rapat-rapat dan selesaikan seorang diri. Ia juga malu mencari pertolongan profesional untuk mengobati luka hatinya.

"Gak usah (konseling), buat apa. Nanti juga sembuh sendiri. Ini bukan apa-apa kok," ungkapnya.

1. Jumlah KDRT di Kota Surabaya terus meningkat

IDN Times/Fitria Madia

Kondisi MN sebenarnya merupakan respon yang dialami oleh para penyintas KDRT kebanyakan. Seorang psikolog sekaligus ketua Savy Amira, Siti Yunia Mazdafiah menjelaskan bahwa para korban KDRT cenderung enggan untuk memperpanjang kasus yang ia alami. Berbagai alasan mendasari sikap tersebut mulai posisi suami yang merupakan kepala rumah tangga, kondisi rumah tangga yang dianggap sebagai aib dan tak sebaiknya diceritakan ke orang lain, atau karena suami adalah seorang pencari nafkah hingga takut untuk melapor.

“Bahkan meski bukan pencari nafkah, masih mikir kalau bercerai bagaimana anak-anak, apa kata orang kalau bercerai. Jadi banyak korban KDRT yang memilih untuk tidak melapor ke polisi atau lembaga lainnya,” tutur Siti.

Meski masih banyak korban yang belum melapor, namun ternyata angka KDRT di Kota Surabaya terus meningkat. Berdasarkan data Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polrestabes Surabaya, jumlah kasus KDRT yang mereka tangani selama 2020 berjumlah 43 kasus. Angka ini meningkat dibanding tahun 2019 yaitu sebanyak 38 kasus dan 2018 sebanyak 30 kasus.

“Betul, makin tahun kasus KDRT terus meningkat di Kota Surabaya. Bahkan di 4 bulan awal tahun 2021 saja sudah ada 24 kasus KDRT yang masuk ke kami. Bulan April baru pekan pertama sudah  ada satu laporan,” jelas Kanit PPA Polrestabes Surabaya, Iptu Fauzy Pratama.

Kenaikan kasus KDRT juga diterima oleh Savy Amira sebagai lembaga non-profit pendampingan korban kekerasan berbasis gender. Pada tahun 2020, terdapat total 134 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mereka tangani. 67 di antaranya adalah kekerasan terhadap istri (KTI), KDRT terhadap anak, KDRT orangtua dan anak, dan KDRT kakak kandung. Sementara di tahun 2019, dari 62 kasus yang di tangani, 26 di antaranya tergolong KDRT. Sedangkan, di tahun 2018 terdapat 55 kasus tergolong KDRT dari total 79 kasus yang mereka tangani.

2. Pandemik jadi salah satu faktor

IDN Times/Fitria Madia

Fauzy menduga, kenaikan kasus KDRT selama 2020 ini salah satunya diakibatkan oleh pandemik COVID-19. Dari kasus-kasus yang ia tangani, para tersangka berdalih stres mengenai kondisi ekonomi. Namun tentu saja, memukuli istri bukan merupakan jalan keluar untuk melepaskan stres akibat pandemik.

“Detailnya tentu ada banyak. Tapi asumsi saya, kebanyakan karena dampak pandemic dan WFH yang diberlakukan pada tahun 2020,” ungkap Fauzy.

Pendapat serupa juga diserukan oleh Siti. Menurutnya, WFH dan kebijakan physical distancing membuat para korban sering bersama pelaku KDRT di dalam satu atap. Akibatnya, potensi terjadinya KDRT akan semakin besar.

Selain itu, tekanan-tekanan mental yang terjadi selama pandemik juga membuat seseorang lebih rentan untuk melakukan kekerasan kepada orang terdekatnya. Apalagi, jika orang tersebut memang memiliki anger issue lantaran tak terbiasa mengontrol emosinya dengan baik.

“Otomatis waktu bersama pelaku semakin panjang. Efek WFH juga membuat anggota keluarga mengalami kesesakan dan ketegangan, sehingga anggota keluarga mudah ter-trigger untuk melakukan tindakan agresi atau kekerasan pada anggota keluarga yang lain,” terangnya.

Belum lagi, lanjut Siti, selama pandemik banyak permasalahan ekonomi di masyarakat mulai dari sepinya pembeli, pemotongan gaji, bahkan pemecatan. Kondisi ini juga menambah tekanan bagi seseorang hingga ia mudah menjadi pelaku KDRT dan membahayakan anggota keluarganya.

Baca Juga: Penyintas KDRT, Poppy Dihardjo Perjuangkan Keadilan Korban Kekerasan

3. Korban KDRT butuh payung hukum lebih

ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Sebenarnya, berbagai upaya pencegahan KDRT sudah dilakukan oleh berbagai pihak. Salah satunya dari Pemerintah Kota Surabaya yang membentuk Kader Pusat Krisis Berbasis Masyarakat (PKBM). Kader PKBM terletak di masing-masing kecamatan di Kota Surabaya. Mereka bertugas untuk memberikan edukasi kepada masyarakat untuk mencegah terjadinya kasus KDRT di Kota Surabaya. Namun nyatanya, kekerasan demi kekerasan masih terus terjadi dalam lingkungan keluarga.

Menurut Siti, salah satu langkah untuk mencegah KDRT adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Dengan demikian, para pelaku KDRT bisa memiliki peluang lebih besar untuk dihukum sesuai dengan kekerasan yang telah ia lakukan kepada keluarganya. Sehingga, pelaku diharapkan bisa mendapat efek jera dan menjadi contoh agar kasus serupa tak terulang lagi.

“Sekarang ini payung hukum untuk kekerasan tidak mencukupi untuk memberikan keadilan bagi korban. Para pendamping dan penyidik di lapangan pasti memahami terkait keterbatasan ini. Sulitnya mencari bukti atau saksi kekerasan seksual, hukum yang tidak memungkinkan terobosan, sementara dampaknya bagi korban sangat buruk,” jelasnya.

Hingga saat ini, para pelaku KDRT bisa dijerat Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sesuai yang tercantum pada ketentuan pidana dalam Bab VIII. Hanya saja, hukuman maksimal yang akan didapatkan oleh sang pelaku adalah penjara 5 tahun jika menyebabkan luka atau cacat hingga tak bisa bekerja dan maksimal 15 tahun jika menyebabkan hilangnya nyawa. Tapi tentu saja, korban juga membutuhkan berbagai macam jaminan pendampingan dan perlindungan yang diatur lebih lengkap dalam RUU PKS.

Baca Juga: Diludahi hingga Dipukul, 10 Artis Ini Pernah Alami KDRT  

Berita Terkini Lainnya