TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Karir Moncer, Jibril Awalnya Hanya Ingin Jadi Dokter di Kampung

Jubir Satgas COVID-19 Jatim ini kuliah S2 hingga tiga kali

Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Jawa Timur, dr. Makhyan Jibril Al Farabi. Instagram.com/dr.makhyanjibril

Surabaya, IDN Times - Kali pertama melihat sosok lelaki 30 tahun ini, ia tampak seperti pemuda biasa seperti pada umumnya, Namun siapa sangka, di balik penampilannya yang sederhana dengan kacamata khasnya itu, dr. Makhyan Jibril Al Farabi, MSc M.Biomed merupakan sosok millennial dengan segudang prestasi.

Saat ini, Jibril lebih dikenal sebagai Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Jawa Timur. Namanya berkali-kali muncul di berbagai media massa. Selain itu, Jibril adalah dokter yang tengah menempuh pendidikan spesialis Kardiologi dan Pembuluh Darah di Universitas Airlangga. Ia adalah Deputy External Junior Doctor Networks Indonesia yang merupakan Organisasi Dokter Muda Dibawah Ikatan Dokter Indonesia.

Sejak menempuh gelar sarjananya di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Jibril sudah mulai mengasah kepekaan sosial dan menorehkan prestasinya. Ia pernah menyabet medali emas pada Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) pada dua tahun berturut-turut. Salah satu program sosialnya yaitu Klinik Asuransi Sampah juga meraih penghargaan Prince of Wales Young Sustainability Entrepreneur Prize yang diserahkan langsung oleh Pangeran Charles. Di balik segala prestasi itu, Jibril mengedepankan dua nilai dalam hidupnya yaitu kerja keras dan ketulusan.

1. Ingin jadi dokter untuk membantu warga di desanya

Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Jawa Timur, dr. Makhyan Jibril Al Farabi. Instagram.com/dr.makhyanjibril

Kerja keras dan niat tulus menjadi pegangan Jibril dalam hidup. Perjalanannya yang dimulai dari Desa Gunungrejo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang sebenarnya cukup sederhana. Saat itu, fasilitas layanan kesehatan cukup jauh dari perkampungannya. Belum ada satu orang pun dari desanya yang menjadi seorang dokter.

"Akhirnya saya kepikiran untuk menjadi dokter, agar paling tidak di desa saya itu tidak kesusahan untuk mendapatkan dokter. Orangtua saya juga support. Akhirnya saya kuliah di Universitas Brawijaya Malang," ujar Jibril kepada IDN Times, .

Jibril sebenarnya bukan berasal dari keluarga bergelimang harta. Bapaknya adalah seorang wiraswasta. Sementara ibunya merupakan seorang guru SMK 2 Singosari. Namun, berbekal niat tulus mereka, Jibril akhirnya menjadi mahasiswa Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya pada tahun 2008.

Sejak memasuki kampus UB, Jibril mulai meraba-raba tujuan hidupnya. Awalnya, ia hanya ingin menjadi seorang dokter saja. Namun ternyata, banyak pilihan hidup yang tersedia di depan matanya seperti menjadi seorang organisatoris, seorang mahasiswa dengan beasiswa, atau soerang mahasiswa berprestasi. Akhirnya, Jibril memilih untuk mengambil seluruh kesempatan itu.

2. Kuliah kedokteran sekaligus berorganisasi

Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Jawa Timur, dr. Makhyan Jibril Al Farabi. Instagram.com/dr.makhyanjibril

Awalnya, Jibril tak menyangka ia akan tertarik di dunia organisasi. Selama duduk di bangku sekolah, ia tak sekali pun bergabung di orgasinasi seperti OSIS. Namun saat berkuliah, ia melihat bahwa organisasi merupakan tempat yang tepat untuk belajar dan mengabdi. Ia pun memutuskan untuk terjun di dunia organisasi.

"Dulu awal saya organisasi itu jadi tukang potret, tukang angkat-angkat, setting-setting ruangan. Tapi ternyata saya bisa menjadi Presiden BEM FK UB. Ketika saya sudah merasakan semuanya, saat jadi Presiden BEM saya bisa memperlakukan mereka dengan baik," ungkap Jibril.

Di tengah kesibukannya berkuliah, Jibril membagi waktunya dengan organisasi. Tak hanya itu, ia juga aktif menulis karya-karya ilmiah. Berbekal segala macam kegiatan itu, Jibril pun mendapatkan beasiswa dari kampus sejak semester 2. Alhasil, sejak masuk kuliah hingga lulus, orangtua Jibril hanya perlu membiayai anaknya satu kali saja yaitu ketika semester 1.

"Saya ingat dulu masuk pertama kali bayarnya Rp20 juta. Tapi alhamdulillah kemudian gak perlu bayar karena dapat beasiswa, Malah banyak kembaliannya soalnya kalau saya menang lomba-lomba selalu diberi bonus lebih dari kampus," tutur Jibril.

Baca Juga: Gamal Albinsaid, Social Entrepreneur Muda Pengganti Ratna Sarumpaet

3. Berprestasi sejak di bangku kuliah

Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Jawa Timur, dr. Makhyan Jibril Al Farabi. Instagram.com/dr.makhyanjibril

Jibril pun mulai mengasah kemampuannya untuk memecahkan masalah (problem solving) melalui karya-karya tulis ilmiahnya. Ia pun mengikuti salah satu kompetisi karya tulis bergengsi di tingkat mahasiswa yaitu Pimnas. Pada tahun 2011, karyanya yang berjudul "Stempowering (Stem Cell Empowering): Inovasi Pengembangan Terapi Auto-Regenerasi Pankreas dengan Ekstrak Jamur Tiram" berhasil menantarnya untuk memenangkan medali emas atau juara 1 Pimnas. Di tahun berikutnya, Jibril beserta timnya kembali menang melalui karya “Diabevaksin: Pengembangan Vaksinasi Pencegah Komplikasi Diabetes Berbasis Induksi Natural Antibodi Anti-AGE”.

Tak hanya karya tulis, Jibril juga menjadi Mahasiswa Berprestasi Utama FK UB pada tahun 2011. Berbagai prestasi lain pun menyusul seperti Juara 1 Narration Research Competition in University of Indonesia tahun 2012, Best Speaker of 2nd International Conference of Molecular and Clinical Aspect of Tuberculosis, AIDS, and Malaria, dan berbagai prestasi lainnya.

"Saya itu mindsetnya melayani. Melayani dulu dengan tulus sambil belajar. Kalau kita gak didasari mindset melayani dan ingin gampangnya saja, maka kita tidak bisa belajar," sebutnya.

Tak cukup sampai di situ. Jibril bersama teman-temannya juga pernah membuat sebuah proyek sociopreneur yang sebenarnya diikutkan dalam Program Kreativitas Mahasiswa yaitu Klinik Asuransi Sampah. Sayangnya, proposal Jibril tak lolos. Akhirnya mereka memilih untuk merealisasikannya ke sebuah kampung di Malang. Ternyata, mereka malah memenangkan Prince of Wales Young Sustainability Entrepreneur Prize yang diserahkan langsung oleh Pangeran Charles.

"Dulu kita sudah bikin, sudah menang secara konsep. Tapi kita juga belajar bahwa konsep ini bagus tapi ternyata ketika dicoba di tempat lain itu ternyata tidak bisa diaplikasikan," terangnya.

4. Kuliah S2 sebanyak 3 kali dengan beasiswa hingga ke Inggris

Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan COVID-19 Jawa Timur, dr. Makhyan Jibril Al Farabi. Instagram.com/dr.makhyanjibril

Di bangku kuliah, Jibril memang sudah mengasah kemampuan berpikirnya dengan berbagai karya ilmiah yang ia tulis. Namun, satu hal pasti yang disadari Jibril adalah, menjadi penggagas konsep saja tak cukup tanpa mengetahui bagaimana caranya mengeksekusi di kehidupan nyata.

"Dulu kita punya skillnya tapi gak tahu petanya seperti apa. Itu lah yang kita pelajari di social management. Kalau pintar tapi gak tahu peta industrinya ya bubar. Banyak penelitian yang berhenti pada publikasi saja tapi gak bisa terealisasikan," sebutnya.

Pemikiran tersebut terus ia pegang hingga ke jenjang berikutnya. Setelah lulus dari sarjana kedokteran dan telah merampungkan program koas, Jibril kemudian kembali mendapatkan beasiswa S2 Ilmu Biomedik Universtias Brawijaya. Ia menuntaskan S2 tersebut dengan jalur fast track atau hanya 1 tahun saja pada tahun 2015. Setelah mengabdi selama 1 tahun, Jibril rupanya kembali mendapatkan kesempatan beasiswa di tingkat internasional yaitu Chevening.

Berbekal beasiswa Chevening, Jibril kembali mengambil gelar magister pada bidang Healthcare Enterpreneurship di University College London, salah satu universitas terbaik di dunia pada 2017. Di sana, ia menyadari bahwa ilmu kesehatan harus dibarengi dengan ilmu lainnya agar bisa lebih berguna bagi masyarakat. Akhirnya di kesempatan yang sama selama di Inggris, Jibril juga menggambil gelar Magister Bisnis Administrasi (MBA) dari Quantic School of Business.

"Ketika saya ke luar negeri saya mulai mencoba membuka wawasan untuk ilmu manajemen, bisnis. Ternyata selama ini banyak ilmu kesehatan yang tidak diikuti oleh ilmu-ilmu itu semua malah berakhir di penelitian saja. Mentok paling jadi tumpukan skripsi atau buku. Makanya butuh ilmu tambahan untuk bisa menjadikan ilmu itu tereksekusi dengan baik," ungkap Jibril.

Baca Juga: [WANSUS] Prof. Riyanarto: Tes COVID-19 Lewat Ketiak Lebih Praktis

Berita Terkini Lainnya