Manik-manik Kaca Suloso, dari Jombang ke Pasar Dunia

Bahkan, desanya sudah menjadi kampung manik-manik

Surabaya, IDN Times - Desa Plumbon Gambang, Kecamatan Gudo, Kabupaten Jombang sudah hampir setengah abad dikenal sebagai sentra manik-manik. Tak cuma pasar lokal, karya mereka kini bahkan dinikmati konsumen di luar negeri. Ada banyak cerita sukses datang dari para perajin di sana. Salah satunya adalah Suloso (54). Ia menjadi generasi pertama produsen manik-manik yang berhasil menembus pasar ekspor. 

Suloso sendiri memulai usahanya sejak tahun 2000. Oleh sang kakak, ia memang ‘dikader’ menjadi pengusaha manik-manik. “Kakak saya adalah salah satu dari tiga founder kampung manik-manik ini. Mereka dulunya merantau jadi perajin batu akik di Solo. Setelah itu kembali ke kampung pada tahun 1980an untuk bikin manik-manik,” ujarnya kepada IDN Times, Sabtu, (24/6/2023). Ketiga orang orang itulah yang memperkenalkan manik-manik Desa Plumbon ke luar daerah. Saat ini, di desa tersebut terdapat 86 rumah produksi dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 500 orang. 

Suloso sendiri mulanya hanya membantu usaha sang kakak. Setelah merasa mahir, ia kemudian memberanikan diri untuk membuka rumah produksi sendiri. Lewat berbagai pameran, termasuk yang diadakan oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI). Suroso menjajakan produknya. Tentu saja tak sulit bagi Suloso meyakinkan pembeli. Maklum, jejaringnya suda cukup banyak. Untuk pasar lokal, Suloso mengirimnya ke beberapa tempat seperti Cirebon, Surabaya, Bali, hingga Balikpapan. “Saya banyak dibantu oleh BRI. Selain itu juga ada permodalan dan berbagai pelatihan,” kata dia. Suloso sendiri mengaku sudah menjadi nasabah BRI sejak tahun 2010.

Dalam sehari, ia kini bisa memproduksi 200 renteng manik-manik. Satu renteng biasanya berisi rangkaian sepanjang 45 sentimeter dengan harga Rp4.000. Untuk memenuhi berbagai pesanan, ia pun kini dibantu 12 orang pekerja. 

Tak mau cuma jago kandang, ia pun ambil langkah seribu. Suloso memasarkan produknya melalui website. Benar saja, seorang pembeli dari Jepang yang melihat websitenya mengaku tertarik dengan manik-manik buatannya. “Itu tahun 2015. Saya bisa mulai ekspor, saya termasuk angkatan pertama di kampung manik-manik yang bisa ekspor,” ujarnya. 

Era media sosial juga makin membuat manik-maniknya kian sering dipesan oleh pembeli luar negeri. Ia menyebut, 20 persen produknya kini sudah menjadi langganan ekspor. 

“Biasanya dikirim ke Cina, Jepang, Spanyol, Turki, hingga Selandia Baru.”

Meski begitu, usaha Suloso bukannya tanpa kendala. Ia mengeluhkan soal bahan baku yang makin mulai berkurang. Ia dulunya menggunakan limbah kaca dari pablik perabot dapur. Lantaran jumlahnya mulai berkurang Suloso pun beralih ke limbah produksi lampu. “Tapi, kaca oval sisa lampu juga makin jarang sekarang,” ujarnya. 

Keluhan lain adalah soal tenaga kerja. Kian hari, kata Suloso, makin sulit menemukan karyawan yang punya keterampilan membentuk kaca. Di sisi lain Ia pun tak mau asal merekrut tenaga kerja “Kalau soal yan ini sudah minta bantuan bantuan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag),” ujarnya. 

Di luar dua hal itu, Suloso juga sambat tentang bagaimana susahanya bangkit usai diterjang pandemi COVID-19.  “Pas COVID-19 datang, benar-benar lumpuh, berhenti produksi beberapa bulan,” ujarnya. Beruntung, pada tahun 2021 COVID-19 mereda. Ekspornya pun kini mulai bergeliat kembali. Sembari menata ulang usahanya, Suloso punya angan besar. “Inginnya bisa naik kelas, gak jadi UMKM terus. Ingin jadi perusahaan besar,” kata dia.

Baca Juga: Cerita Pedagang Snack Naik Kelas Lewat Pasar Digital

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya