TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kisah Mereka, Garda Depan yang Bertaruh Nyawa di Tengah Wabah

Ada yang bertahan, ada yang kandas

Pasien COVID-19 di salah satu rumah sakit Surabaya. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Surabaya, IDN Times – Suara Hafidhina Rahmah Firdaus Almay (25) bergetar ketika membagikan pengalamannya terinfeksi virus corona SARS CoV-2. Sebagai garda depan pelayanan publik, Dhinay—pangilan karibnya--tak menyangka kalau harus mencicipi COVID-19. Padahal, saat bertugas sebagai pramugari di kereta api, dia sudah memenuhi prosedur PT Kereta Api Indonesia (KAI).

Dhinay tergolong pramugari kereta api baru. Dia diterima kerja, empat bulan sebelum kasus COVID-19 pertama diumumkan di Indonesia. Sejumlah kebijakan baru, berupa pembatasan-pembatasan maupun aturan di moda transportasi massal dituntut agar segera dikuasainya dalam waktu yang nisbi singkat.

Dhinay saat bertugas menjadi pramugari kereta api. Instagram/@pramugarikeretaapi

Rasa khawatir dalam diri serta keluarga di rumah, sebenarnya sudah bergejolak sejak awal. Tapi mau bagaimana lagi, Dhinay baru diterima kerja di satu-satunya perusahaan kereta api terbesar di negeri ini, tentu dia tak mau menyerah begitu saja. Toh, karyawan lain yang menduduki posisi yang sama pun dituntut seperti dirinya. Pikir perempuan asal Ponorogo itu.

Kekhawatiran Dhinay dan keluarganya menjadi nyata. Pada Juli 2021, ketika kasus COVID-19 meledak di Indonesia, dia tak luput dari paparan virus tersebut. “Waktu tinggi-tingginya kasus itu,” ucap dia, Selasa (11/1/2022). "Itu ketika turunan dinas Bangunkarta (kereta api jurusan Jombang-Jakarta), saya sakit tiga harian, terus gak sembuh, akhirnya tes antigen di stasiun ternyata benar (positif COVID-19)" dia menambahkan.

Dhinay tak tahu pasti dari mana asal virus corona SARS CoV-2 itu bisa menginfeksi dirinya. Dia hanya menduga kalau tertular ketika memegang uang dari salah satu penumpang kereta api. "Menurut saya itu dari luar, tapi ngaruhnya (sakitnya) ke saya ketika libur. Atau sewaktu saya pegang uang penumpang, yang jelas setelah turunan (selesai dinas) sakit," dia mengungkapkan.

Maklum, jika Dhinay menduga tertular COVID-19 dari uang penumpang. Sebab, sebagai pramugari kereta api, dia tak hanya memberikan petunjuk kenyamanan bagi penumpang saja. Tapi juga menjual makanan dan minuman di dalam gerbong besi berjalan itu. "Kami juga mengingatkan ke penumpang kalau protokol kesehatannya kurang baik, missal penumpak pakai  jenis scuba, biasanya saya tegur dan saya ganti masker yang disediakan kami (PT KAI)," jelasnya.

Sewaktu mengetahui dirinya terkonfirmasi positif COVID-19, Dhinay langsung isolasi mandiri (isoman) di kos-kosannya yang berada di Malang. Tiga hari berjalan, dia berpindah untuk menjalani isolasi terpusat (isoter) di Rumah Sakit Lapangan Ijen Boulevard, Kota Malang. Total, selama satu pekan lamanya, Dhinay diisolasi di sini.

"Saya hanya butuh waktu 13 hari negatif, tapi tetap harus lanjut isolasi lagi di kos dengan pengawasan puskesmas," kata dia.

Beruntungnya, Dhinay mendapatkan toleransi dan perhatian dari kantor. Dia dibebastugaskan selama satu bulan. Hal ini juga ditengarai dengan aturan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), yang mana kereta api jarak jauh untuk sementara waktu tak boleh beroperasi terlebih dahulu. Sekitar satu bulan, Dhinay dipersilakan istirahat sampai pulih. Dia bersyukur dengan kebijakan perusahaannya. Meski begitu, akhir tahun 2021 lalu, dia memutuskan tidak memperpanjang kontrak kerja karena pelbagai pertimbangan.

Baca Juga: Kematian Akibat COVID-19 yang Tak Dianggap

Ketika pencari fakta terpapar corona

Tangan Arry Saputra ketika menjalani perawatan COVID-19 di salah satu rumah sakit swasta Sidoarjo. Dok. Pribadi Arry

Garda depan lainnya yang rentan terpapar COVID-19 ialah jurnalis. Salah satunya dialami seorang jurnalis media daring di Surabaya, Arry Saputra (25). Sama halnya Dhinay, Arry terinfeksi virus ini pada Juli 2021. Sebelum merasakan gejala, dia mengaku sempat melakukan liputan seperti biasanya. Tentu, dengan protokol kesehatan yang ketat.

"Minggu, saya masih liputan. Senin, bangun tidur, badan terasa meriang, sakit semua. Selama tiga hari sakit, rasanya seperti kecapekan saja," katanya saat dihubungi, Kamis (14/1/2022).

Arry tak sendirian, ternyata orangtuanya juga mengalami gejala serupa. Dia sekeluarga pun memutuskan untuk periksa ke klinik kesehatan terdekat. Nah, di klinik itu, Arry meminta untuk segera tes swab saja, dia curiga kalau sudah terjangkit virus corona SARS CoV-2. Tapi, dokter klinik tersebut tidak merekomendasikannya. "Disarankan suntik, lalu dikasih obat demam dan pusing," kata dia.

Sepulang dari klinik, kondisi Arry terus menurun. Enam hari kemudian, dia datang ke klinik. Lagi-lagi, hanya diberi obat. Khawatir dengan kondisi dirinya, keluarga dan sekitar, Arry sekeluarga menjalani isolasi mandiri di rumahnya di Sidoarjo. Selama satu minggu, Arry dan orangtuanya memutuskan untuk ke rumah sakit swasta setempat. "Bapak dan ibu positif (COVID-19), tapi saya negatif," ucapnya.

Meski negatif, kondisi Arry tak lebih baik daripada orangtuanya. Saturasi oksigen hanya di angka 78. Napas Arry terasa sangat berat. "Lalu saya minta pengecekan paru-paru, hasilnya banyak bercak putih merata, kondisi saya tergolong COVID-19 sedang. Saya harus dirawat saat itu juga memakai oksigen. Selama tiga hari saya di IGD (Instalasi Gawat Darurat)" dia mengungkapkan.

Setelah dari IGD, Arry dirawat di ruang isolasi. Total, selama 13 hari menjalani perawatan di rumah sakit, Arry dinyatakan negatif COVID-19. Dia dipersilakan untuk pulang pada hari ke-14. Nah, selama menjalani perawatan dan pemulihan ini, Arry mengaku kalau perusahaannya tidak memberikan beban kerja. Bahkan, ketika dinyatakan negatif, dia diminta untuk benar-benar pulih sebelum kembali bekerja.

"Saya juga mendapatkan uang transport dari kantor untuk pemulihan, saling bantu membelikan obat, vitamin dan saran makanan agar cepat pulih. Intinya, semua saling support dan mendoakan untuk kesembuhan," Arry membeberkan.

Dhinay dan Arry hanyalah sebagian garda depan yang beruntung mendapatkan fasilitas kesehatan dan perhatian dari tempat kerjanya. Sehingga, mereka berhasil sembuh dari infeksi COVID-19. Lain halnya yang dialami sopir truk, Sudirman (55). Warga Karangpoh, Kecamatan Tandes, Surabaya ini kehilangan nyawanya usai bertarung melawan COVID-19. Virus ini diduga menginfeksinya ketika sedang bekerja. Fakta ini dibeberkan oleh sang anak, Mega Mustika.

Pembawa logistik itu harus berpulang dan tak diakui

Sukemi saat ziarah ke makam Sudirman. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Kala itu, Mega mendapatkan panggilan video dari sang ayahanda, Sudirman pada 27 Mei 2021. Dalam obrolannya, Sudirman mengeluhkan dadanya sakit dan merasa sesak napas. "Ayah bilang sesak, katanya habis ngeban (ganti ban truk) di Ngoro (Mojokerto). Saya mikirnya ayah kecapekan," kata dia saat ditemui. Lantaran sakit, Sudirman pun pulang ke rumahnya di Surabaya.

Waktu itu, Mega dan ibunya tak mencurigai kalau Sudirman terpapar COVID-19. Sebab, Sudirman sendiri punya riwayat sakit asma. "Saya belikan obat, kok malah bengkak. Saya pikir alergi obat, lalu dikurangi minum obatnya. Malah tambah sesak," ucapnya. Melihat kondisi tersebut, Mega membawa Sudirman ke salah satu klinik di Kota Pahlawan.

Sepulang dari klinik, kondisi Sudirman membaik. Tapi keesokan harinya, kondisinya menurun lagi.  Sesak napas yang dialami kambuh. Keluarga Sudirman segera mencari oksigen. "Selama tiga hari, ayah pakai oksigen di rumah," ucap dia. Rupanya, pemakaian oksigen tak membantu memulihkan kondisi Sudirman. Mega mengajak sang ayah untuk tes swab antigen ke Rumah Sakit Husada Utama (RSHU) Surabaya pada 2 Juni 2021. Hasilnya positif COVID-19.

Bukannya dirawat, pihak keluarga membawa Sudirman pulang dengan alasan rumah sakit tersebut tak menerima asuransi kesehatan BPJS bagi pasien COVID-19. Baru sejenak di rumah, sesak napas yang dialami Sudirman kumat. Dia dilarikan ke Rumah Sakit Bhakti Dharma Husada (BDH) Surabaya. Di sini, dia langsung diberikan alat bantu pernapasan berupa oksigen.

Keesokan harinya, Sudirman membaik. Dia kembali pulang. Di hari yang sama, dia menjalani tes swab PCR di puskesmas. Hasilnya tetap menyatakan kalau Sudirman terkonfirmasi positif COVID-19. Kondisi terus memburuk, Sudirman dibawa lagi ke Rumah Sakit BDH. Pihak rumah sakit kewalahan. Pasien dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Ramelan Surabaya.

Tercatat, Sudirman menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Dr. Ramelan Surabaya sejak 5 Juni 2021. Sebab kondisi yang terus menurun, pasien harus memakai ventilator pada 8 Juni 2021. Ponsel istri Sudirman, Sukemi berdering beberapa kali pada 13 Juni 2021 siang. Dia diberi tahu kalau sang suami kritis. Tak lama kemudian, berita duka itu tersiar.

"Sekitar 12.30 WIB, suami saya sudah tidak ada (meninggal dunia),” ucap Sukemi sembari meneteskan air matanya.

Ibarat jatuh tertimpa tangga pula, kematian Sudirman tak pernah mendapatkan perhatian dari siapa pun. Bahkan, tanggal kematiannya itu tidak dicatat di laman resmi pemerintah kota dan pemerintah provinsi setempat. Pada 13 Juni 2021, Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim kompak mencatatkan nihil kasus kematian akibat COVID-19 di Kota Pahlawan. “Sungguh tega sekali!,” celetuk Mega.

Kisah Dhinay, Arry dan Sudirman merupakan wujud nyata bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) harus lebih diperhatikan di tengah pandemik COVID-19. Sebab, tidak semua perusahaan memberi perhatian dan jaminan. Jika terjamin, kemungkinan besar nyawa yang digadaikan saat bertugas akan kembali. Tapi, bila tak punya, maka bisa saja nyawa itu melayang secara cuma-cuma.

Baca Juga: Sulitnya Jadi Difabel di Negeri Ini

Berita Terkini Lainnya