TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

25 Tahun Reformasi, Satire Jadi Metode Kritis Gen-Z

Kritikan yang viral lebih cepat ditanggapi para elit

Aksi mahasiswa turun jalan di Banyuwangi. (FOTO: IDN Times/ Agung Sedana)

Banyuwangi, IDN Times - Tanggal 21 Mei adalah hari peringatan Reformasi bagi masyarakat di Indonesia. Di tanggal ini merupakan saksi penting dalam sejarah Indonesia, yaitu runtuhnya rezim otoriter Orde Baru pada tahun 1998 dan sekaligus lengsernya Presiden Soeharto yang telah bertahta selama beberapa dekade.

Pada tanggal 21 Mei 1998, terjadi berbagai protes massa yang dipicu oleh krisis ekonomi, ketidakpuasan terhadap pemerintahan yang otoriter, dan sejumlah aksi kekerasan lainnya. Sejarah baru mulai terukir, perubahan politik yang signifikan di Indonesia mulai terjadi. Lahirlah perubahan konstitusi, pemilihan umum yang lebih demokratis, kebebasan pers, dan upaya untuk membangun sistem yang lebih terbuka dan transparan.

Pada 21 Mei 2023 saat ini, mungkin elit mahasiswa sudah tidak lagi seperti dulu saat turun aksi serentak di seluruh Indonesia. Di Banyuwangi, Jawa Timur, misalnya, mahasiswa lebih gemar menyuarakan kritikan dan aspirasinya melalui hal-hal lain.

Baca Juga: Mei, Bulan Pilu Bagi Ayah Aktivis 98 yang Hilang Tak Pernah Kembali

1. Gen-Z bisa gunakan kritikan satire

Dr. Hari Priyanto. (FOTO: IDN Times/ Agung Sedana)

Menurut penilaian dosen FISIP sekaligus Ketua Persatuan Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Dr. Hari Priyanto, di era modern saat ini mahasiswa tak harus turun ke jalan untuk bersuara. Menurut pria yang akrab disapa Hari PR ini, mahasiswa Generasi Z sudah difasilitasi beragam media untuk bersuara. Terutama media sosial yang terbuka lebar.

"Jika kritik atau demonstrasi aktivis mahasiswa jaman dulu menggunakan model turun ke jalan. Namun tidak sedikit mahasiswa sekarang menganggap jika demontrasi turun ke jalan dianggap konvensional," kata Hari PR kepada IDN Times, Minggu (21/5/2023).

Menurut Hari PR, menggunakan media sosial pun harus bijak dan tidak boleh 'baper'. Dia menilai, mahasiswa harus cerdik dan juga 'menghibur' ketika mengungkapkan ekspresi artistik atau retorik dalam penyampaian aspirasi dan kritikan.

"Satir (lelucon) sering kali digunakan untuk menyampaikan pesan atau menyindir. Secara efektivitas, satire mampu mengungkapkan kebenaran atau menyoroti ketidakadilan dengan cara yang menghibur dan merangsang pemikiran," ungkap Hari.

2. Mental Gen-Z tak sebaja dulu

Ilustrasi viral. (FOTO: IDN Times/ Agung Sedana)

Menurut Hari, semua bentuk aspirasi memiliki kelemahan dan keunggulannya. Memanfaatkan media sosial juga sama halnya pisau bermata dua. Jika tidak didasari pemikiran akademisi, istilah viral bisa membunuh diri sendiri.

Lebih dari itu, Hari menyebut keterlibatan mahasiswa Generasi Z saat ini dalam demonstrasi tak lebih dari sekedar eksistensi 'mumpung jadi mahasiswa'. Biasanya, partisipasi mahasiswa seperti ini dimanfaatkan oleh mereka yang kritis publikasi.

Pemikiran kritis para mahasiswa Generasi Z ini menurut Hari PR acap kali dibungkam. Pelakunya tak lain adalah para senior mereka. Dalam diskursus wacana kritis, pembungkaman kekritisan mahasiswa dilakukan karena pemikiran mahasiswa tidak sejalan dengan keinginan para senior.

"Dulu yang dikritik adalah rezim tiran, sehingga prinsip-prinsip diam tertindas atau bangkit melawan terus menggelora dalam jiwa. Tapi sekrang ada tantangan, yakni bergantung persetujuan para senior di dalam sistem," jelasnya.

Baca Juga: 25 Tahun Reformasi, Amnesty Soroti Kasus Haris Azhar Vs Luhut Binsar

Verified Writer

Agung Sedana

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya