TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Menebar Nalar Inklusivitas, Dimas Dirikan Komunitas Peduli Inklusi

Menularkan rasa empati sejak dini

aldodokter.com

Blitar, IDN Times – Dimas Wicaksono, seorang mahasiswa tunanetra yang seringkali dianggap remeh oleh orang di sekitarnya. Dibedakan dan diacuhkan merupakan hal yang biasa baginya. Namun seiring berjalannya waktu, ia merasa perlu untuk menyuarakan pendapatnya. Hingga saat ini, tidak hanya isu difabel yang diangkat, melainkan lebih dari itu. Ia merasa perlu untuk membahas isu inklusivitas, yang menurutnya juga menimbulkan kesenjangan sosial di masyarakat.

Baca Juga: Tumbuhkan Empati, BPJAMSOSTEK Gelar Webinar Inklusi Pekerja Disabilitas  

1. Bermula dari keresahan diri sendiri

Dimas Wicaksono, Pendiri KOPINUS / Instagram @ko_pinus

Di bangku perkuliahan, Dimas kerap kali mendapat perlakuan yang berbeda. Teman-temannya memandang dirinya sebagai orang yang ‘spesial’, namun dalam konotasi negatif. Nilai Dimas selalu di atas rata-rata, mayoritas temannya menganggap karena dosen mengasihaninya.

"Aku pernah sekali dapat nilai jelek. Aku sengaja gak ngerjain tugas, gak masuk kelas, tidur pas dosen ngejelasin, dan masih banyak lagi," ucap mahasiswa sosiologi tersebut. Ia melakukannya untuk memberikan pemahaman pada teman-temannya. "Biar mereka tahu, kalau kita sama. Aku dapet nilai bagus ya karena belajar, kalau sering gak masuk kelas ya nilainya jelek juga," sambungnya.

Selain kejadian tersebut, Dimas juga mengaku pernah ditangkap aparat ketika sedang demo. "Awalnya aku gak diajak teman-teman buat ikut demo, daripada nyusahin katanya. Soalnya rektor di kampusku juga aware banget sama penyandang difabel. Tapi aku nekat ikut demo, pas aparat datang, semua pada lari, aku sengaja diam saja di tempat biar diangkut," jelasnya. Sama seperti sebelumnya, ia melakukan ini agar teman-temannya paham, bahwa Dimas tidak mendapatkan perlakuan yang spesial. "Pas aku ketangkap, ya aku di sana selama beberapa hari. Rektor? Jelas gak menjemputku. Kita semua sama," imbuh Dimas.

Dimas Wicaksono, seorang mahasiswa tunanetra yang seringkali dianggap remeh oleh orang di sekitarnya. Namun seiring berjalannya waktu, ia merasa perlu untuk menyuarakan pendapatnya. Hingga saat ini, tidak hanya isu difabel yang diangkat, melainkan lebih dari itu. Ia merasa perlu untuk membahas isu inklusivitas, yang menurutnya juga menimbulkan kesenjangan sosial di masyarakat.

2. Membentuk komunitas bersama temannya

Komunitas Peduli Inklusi Nusantara/ Instagram @ko_pinus

Setelah banyak keresahan yang dialami, Dimas mengajak Widi, salah seorang temannya, untuk membuat perkumpulan. "Kita sering diskusi, nah kita coba uji hasil diskusi kita ke masyarakat," ucap Dimas. Ia dan Widi pergi ke Pasar Lawang dan mengujinya ke para penjual. "Pertanyaannya simple, kita cuma nanya tau ‘tau disabilitas atau enggak?' kalau enggak, kita kasih tahu dulu. Tapi lama-kelamaan rasanya kok gak enak ya, kita cuma berdiskusi atau apapun itu, kita tahu sesuatu, yang kita yakini ‘benar’ tapi gak kita bagikan," papar Dimas.

Dimas dan Widi membuat sebuah program, yang menarik minat banyak orang. Sampai di tahun 2018, mereka berdua memutuskan untuk menjadikan perkumpulan tersebut sebagai komunitas. Saat itu pula, isu yang diangkat menjadi lebih luas yaitu mengenai inklusivitas.

"Karena isu inklusivitas itu banyak, bukan cuma disabilitas. Perempuan, lansia, orang kaya pun juga termasuk. Jadi yang namanya inklusi ya semua, tapi memang, di komunitas ini kita lebih fokus ke mereka yang terpinggirkan," ucap founder sekaligus ketua komunitas ini.

3. Membuat program untuk menghilangkan standarisasi

Program Berbasis Online KOPINUS/ Instagram @ko_pinus

Komunitas Peduli Inklusi Nusantara (KOPINUS) memiliki banyak program kerja yang digagas, yaitu berbasis online dan offline. Sejak pertama kali komunitas terbentuk, KOPINUS telah memiliki program berbasis online, jadi bukan karena pandemi program ini dilaksanakan, melainkan karena Dimas melihat realitas, banyak pemuda yang menghabiskan waktunya untuk nongkrong gak jelas.

"Mereka lebih menghabiskan waktu dengan melakukan hal yang menimbulkan standartitas yang baru. Contoh, booming-nya coffee shop. Orang nongkrong di coffee shop, tapi tujuannya untuk menaikkan strata sosial. 'Oh, nongkrong di coffee shop anaknya orang kaya.' Itu standarisasi baru," jelas Dimas.

Ia melanjutkan bahwa salah satu tujuan komunitas ini adalah menghapuskan standarisasi yang mendiskriminasi orang-orang tertentu. Dengan sosial media, KOPINUS membuat konten agar anak muda sadar akan adanya standarisasi yang seperti ini.

4. Tujuan utama untuk menyebarkan virus inklusivitas

Olahraga Inklusi KOPINUS/ Instagram @ko_pinus

KOPINUS pernah mengadakan acara olahraga inklusi yang bertempat di Malang, bersama beberapa kampus tertentu dengan aturan sepak bola tunanetra. "Bukan mereka biar tau rasanya ditunanetrakan, tapi setidaknya biar mereka bisa tahu bahwa permainan sepak bola yang seperti ini bisa menyatukan perbedaan, khususnya dalam hal kemampuan," ungkap Dimas. Acara olahraga ini merupakan salah satu perwujudan untuk menyebarkan virus inklusivitas.

Progam lainnya ada Diskusi Para Pemuda (DISNADA), dengan mengangkat topik yang dianggap tabu, tapi tetap memiliki urgensi. Misalnya adalah topik kelompok transpuan atau waria, dimana salah satu asumsi yang paling sering didengar adalah ‘kelompok tersebut tidak memiliki agama, makanya bisa ganti gender, tidak menghargai pemberian tuhan’. "Tidak banyak orang yang tahu penyebabnya, aku pernah mewawancari seorang transpuan di Surabaya. Dia menjadi transpuan karena kecilnya dia dicabuli oleh bapaknya sendiri, sehingga membuat orientasi seksualnya dia itu beralih," jelas Dimas.

Baca Juga: Belajar Hal Terkecil tentang Toleransi dari Sekolah Inklusi

Berita Terkini Lainnya