TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Hidup Segan Mati Tak Mau, Nasib Perusahaan Penerbitan Buku di Malang

Buku fisik nasibmu kini

Ilustrasi buku. (Unsplash/Gabriella Clare Marino)

Malang, IDN Times - Perusahaan penerbitan buku kini menghadapi tantangan yang berat. Kemajuan teknologi digital memaksa mereka haris berpikir lebih keras untuk menyiasati perubahan yang serba cepat ini.

Keberadaan berbagai aplikasi penyedia novel digital sampai kemunculan buku-buku digital membuat persaingan bisnis melangkah ke level yang berbeda dari sebelumnya. Pembaca yang awalnya hanya berkutat di toko buku, kini juga bertambah ke platform digital.

Hal ini membuat perusahan-perusahaan penerbitan buku makin bingung harus melangkah. Apakah mereka bertahan ke model bisnis lama, atau bertaruh pada model bisnis baru yang belum tentu keuntungannya. Hal ini membuat beberapa perusahaan penerbitan buku lokal di Kota Malang bak hidup segan mati tak mau.

Baca Juga: 5 Tips Hidup Minimalis dari Buku Seni Hidup Minimalis

1. Pandemik COVID-19 makin mencekik

Ilustrasi COVID-19. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)

Tanda-tanda peralihan dari buku fisik ke buku digital sebenarnya sudah terlihat sejak 2016, namun saat itu para pengusaha penerbitan buku tidak terlalu panik karena buku fisik masih dinikmati. Toko-toko buku seperti Gramedia, Togamas, dan pasar-pasar buku masih ramai dikunjungi pelajar, mahasiswa, sampai orang tua.

Pemilik MNC Publishing Book Kota Malang, Gede Soerjo mengatakan saat itu perusahaannya sangat aktif menerbitkan ratusan judul buku. Bahkan setidaknya ada 300 penulis yang menerbitkan buku kepadanya.

Namun, semua berubah pada awal 2020 saat Pandemik COVID-19 menggempur Indonesia dan dunia. Pusat-pusat perbelanjaan harus ditutup untuk memenuhi peraturan pembatasan masyarakat, tak terkecuali toko-toko buku. 

MNC Publishing akhirnya sampai mengurangi jumlah penulis bukunya mencapai 70 persen. Pasalnya karena pembatasan masyarakat tersebut membuat tidak ada orang yang datang ke toko buku. Masyarakat juga akhirnya memilih alternatif untuk membaca buku digital.

"Kita waktu itu bahkan sampai hampir bangkrut, karena sepi pembeli setelah mereka beralih membaca buku digital. Dan tidak hanya kami, 49 perusahaan lain yang tergabung di Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Kota Malang juga mengalami masalah yang sama," jelasnya saat dikonfirmasi pada Kamis (02/03/2033).

2. Mau tak mau harus mengikuti arus digitalisasi

Ilustrasi Toko Buku (Book Store) (IDN Times/Anata)

Di tengah-tengah kebimbangan akan menyerah atau tetap bertahan, Gede lalu menghubungi kawannya yang bernama Juliette Oscar Ediyanto. Juliette adalah CEO dari Kubuku, perusahaan penyedia aplikasi untuk menjual buku digital atau akrab disebut e-book.

Gede memang berpikir lama untuk memutuskan beralih ke buki digital, pasalnya itu adalah market yang benar-benar baru untuk perusahaan yang awalnya bergerak di bidang penerbitan konvensional. Namun, ia merasa akan semakin terpuruk jika tidak mengikuti arus perkembangan zaman.

"Saya diyakinkan akan keamanan dan transparansi dalam penjualan e-book. Itu yang membuat saya mau berubah dan mengambil kesempatan ini," jelasnya.

Dan keputusan yang dia ambil ternyata benar, perusahaan akhirnya bisa selamat karena buku-buku digital terbitannya bisa terjual. Ia bahkan mengajak anggota IKAPI Kota Malang lainnya untuk bermigrasi juga ke platform digital.

MNC Publishing kini menerbitkan buku dengan persentase 50 persen buku fisik dan 50 persen buku digital. Dan ia meyakinkan kalau pembaca justru lebih banyak yang memilih membeli buku digital.

"Soalnya buku digital lebih murah dibanding buku fisik. Soalnya kalau dengan biaya percetakan dan lain-lain membuat harga buku fisik jadi Rp90 ribu, tapi buku digital hanya Rp60 ribu," terangnya.

Baca Juga: 6 Kafe Buku di Surabaya, Ngopi Asyik Sambil Baca Buku

Berita Terkini Lainnya