TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Ospek dengan Tensi dan Bentakan, Dosa Besar Senior Unesa

Sudah seharusnya metode ini diubah

Kampus Unesa. Unesa.ac.id

Baru-baru ini nama kampus saya, Universitas Negeri Surabaya (Unesa) menjadi pembiacaraan khalayak ramai. Bukan karena prestasi, melainkan karena sebuah video ospek yang viral. Video itu menunjukkan para senior memarahi mahasiswa baru (maba) lantaran tidak  memakai sabuk sebagai salah satu perlengkapan segaram ospek. Para warganet pun geram lantaran menilai panitia ospek tersebut senioritas, gila hormat, kasar, dan lain sebagainya.

Sebenarnya saya sudah melihat video tersebut sejak hitungan menit diunggah. Tapi saya tidak ambil pusing karena merasa itu adalah hal biasa. Saya masih mengira banyak kampus di luar sana masih menggunakan metode tersebut. Saya juga malas mendengar bentakan-bentakan para komite disiplin (Komdis) yang tak mengenakkan hati. Tapi, ternyata dunia maya berkata lain, video itu heboh hingga menuai jutaan respons dari warganet.

1. Ospek dengan metode Komdis sudah lama terjadi di Unesa

Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Instagram/official_unesa

Video itu mengingatkan saya pada tahun 2016 silam. Itu adalah tahun ketiga saya berada di Unesa. Sejak tahun kedua, saya sudah menjadi panitia ospek atau yang disebut Perkenalan Kehidupan Kampus untuk Mahasiswa Baru (PKKMB). Pada 2015 saya menjadi Sie Acara ospek fakultas dan ospek jurusan. Sementara setahun berikutnya, saya sudah agak senior dan naik tingkat menjadi Steering Committee (SC) yang bertugas untuk mengonsep segala jalannya ospek di jurusan. Oleh karena itu, kurang lebih saya paham mengenai kekomdis-komdisan itu.

Metode bentakan itu biasa kami sebut dengan tensi. Penggunaan tensi dalam ospek sudah terjadi di jurusan saya sejak lama. Entah kapan persisnya. Saya pernah bertemu alumni tahun 2010 dan mereka sudah menerapkan metode itu. Metode itu pun terus digunakan baik di ospek fakultas yang biasanya berjalan sepekan, serta di ospek jurusan yang berjalan satu semester.

Ada dua tujuan penggunaan tensi yang saat ini baru saya sadari bertolak belakang. Tujuan pertama adalah jelas, pemberian hukuman atau verbal punishment. Komdis bertugas sebagai penegak kedisiplinan. Jika mereka menemukan maba yang melakukan kesalahan, maka mereka akan menghukum maba tersebut. Uniknya, sering kali jenis hukuman akan diserahkan ke sesama maba. Namun, yang pasti proses hukuman itu tetap terjadi dengan bentakan sana-sini.

Sebagai contoh, "Ini temanmu ada yang terlambat. Dikasih hukuman apa enaknya?" dengan nada tinggi dan amat judes.

Apa Komdis harus marah-marah? Iya! Mereka berdalih sebagai tegas, bukan marah. Tapi menurutku sama saja. Pernah saat aku maba ada kejadian lucu, teman-temanku sedang berjalan memasuki lokasi ospek namun Komdis memarahi "Jalannya dipercepat, dik!". Sontak teman-temanku pun jalan cepat. Tapi kemudian Komdis mengatakan "Jangan lari!". Kami pun bingung harus bagaimana.

Tujuan kedua adalah untuk memberikan manajemen konflik. Sekali dua kali Komdis akan mengada-ada atau mencari-cari kesalahan para maba. Kemudian mereka akan marah-marah meledak-ledak. Harapannya, maba akan sadar bahwa mereka tidak salah dan berani untuk mengungkapkan pendapat meski berada di bawah tekanan.

Menurut saya, tujuan kedua lah yang sedang digunakan dalam cuplikan video viral tersebut. Pasalnya, sang Komdis memarahi maba habis-habisan karena tidak memakai ikat pinggang. Padahal, pada peraturan atribut yang diunggah resmi di akun Instagram @pkkmbfipunesa, maba perempuan berjilbab tidak perlu mengenakan ikat pinggang saat berseragam batik. Para Komdis pun memancing dengan memarahi maba tersebut habis-habisan agar dia berani untuk memebela diri.

Baca Juga: Video Ospek Bentak-bentak Maba Jadi Viral, Unesa Panggil Para Komdis

2. Komdis meraup popularitas tinggi

Ospek FIP Unesa yang viral di Twitter. Screenshoot Twitter/com/rafirizqu19

Jenis tensi yang digunakan dalam ospek adalah menyerupai kurva gunung. Jadi diawali dengan tensi rendah, kemudian memuncak, lalu ditutup dengan tensi rendah pula. Nah, penutupan ini biasanya diwarnai adegan klarifikasi Komdis yang klise. Minta maaf, kemudian ketawa ketiwi. Harapannya adalah agar para maba tahu bahwa selama ini Komdis hanya berpura-pura galak. Sebenarnya mereka tidak segalak itu di dunia nyata. Lalu mereka berharap para maba memaafkan dan tidak sakit hati.

Kebanyakan cara ini berhasil. Maba bukannya sakit hati atau benci terhap para Komdis seperti yang dilakukan warganet. Kebalikannya, mereka malah ngefans pada para Komdis dan menganggapnya keren. Uwu!

Mereka berubah menjadi tokoh Tsundere yang tampak jahat tapi sebenarnya peduli. Kepopuleran Komdis pun mengalahkan Sie Acara dan tim Pemandu yang ceria, bahkan Ketua Panitia sekali pun.

Dengan kepopuleran yang diraup, akhirnya banyak mahasiswa yang ingin menjadi Komdis. Bukan untuk balas dendam, melainkan untuk menjadi keren dengan dalih peduli pada adik-adiknya. Saat pembukaan lowongan pendaftaran, Komdis selalu mendapatkan peminat paling banyak dibandingkan kuota yang dibutuhkan. Akhirnya, ini menjadi "lingkaran setan" yang tidak pernah berhenti.

3. Mulai trauma hingga normalisasi sifat manipulatif jadi mudarat

Ospek FIP Unesa yang viral di Twitter. Screenshoot Twitter/com/rafirizqu19

Dulu, saya amat bangga bisa terlibat dalam kehidupan ospek selama 3 tahun. Saya merasa berjasa membentuk karakter adik-adik angkatan melalui ospek. Saya merasa mengenalkan kehidupan kampus dan kehidupan nyata kepada mereka dengan baik. Saya merasa menyelamatkan mereka dari mental tempe. Tapi nyatanya? Semua itu omong kosong.

Beberapa tahun setelah tidak terlibat ospek, saya baru sadar. Sebenarnya sistem yang selama ini dilakukan tidak benar. Saya sudah sempat memperingatkan adik angkatan, namun gagal. Mereka malah menilai saya membangkang dari konsep yang seharusnya ada.

Ada beberapa hal yang baru saya sadari ketika sudah keluar dari dunia ospek. Yang pertama, permainan tensi Komdis dengan dalih pelatihan mental adalah bualan belaka, Hal tersebut tidak lebih baik daripada kekerasan verbal. Bayangkan, anak yang terlambat, tidak memakai atribut dengan lengkap, atau berani mengutarakan pendapat, malah dibentak-bentak di hadapan ribuan orang. Jangankan Maba, saya sudah setua ini kalau diperlakukan demikian tentu sakit hati. Hasilnya, trauma menggores hati baik disadari maupun tidak.

Kedua, manfaat-manfaat yang ditawarkan dari konsep tensi tersebut benar-benar palsu. Entah siapa yang pertama kali mengajarkan hal itu sampai kami jadi terbual. Alih-alih mendapat masalah seperti bentakan, tugas menumpuk dalam sehari, atau menolong teman dari ancaman senior dengan alasan solidaritas, saya malah medapatkan masalah seperti penyusunan artikel atau makalah, membuat koneksi dengan orang dalam maupun luar kampus, public speaking, dan mencari kesempatan prestasi seperti lomba atau pertukaran pelajar.

Hasilnya, meski saya sudah pernah menjadi peserta dan panitia ospek berkali-kali, saya tidak benar-benar bisa merasakan manfaat dari verbal punishment itu. Jika merasa tertekan, saya tidak bisa benar-benar menyuarakan pendapat. Saya malah kesulitan mengatasi anxiety dan insecurity. Teman-teman lain yang juga pernah menjadi Komdis pun tak sepenuhnya bisa mengaplikasikan ajaran mereka terdahulu.

Selain itu, sebenarnya konsep Komdis ini malah mengajarkan kita untuk memiliki sifat manipulatif. Bagaimana tidak, para maba diminta memaafkan Komdis yang telah melakukan kekerasan verbal terhadap mereka. Alasannya adalah selama ini mereka melakukan demi kebaikan maba tersebut tanpa persetujuan darinya. Tindakan ini menurut saya cukup manipulatif dan tidak baik diterapkan di kehidupan sehari-hari. Apapun alasannya, kekerasan tetap tidak bisa dibenarkan.

Baca Juga: Ospek Unesa Viral, Senior Bentak-bentak Maba karena Tak Pakai Sabuk

Berita Terkini Lainnya