[OPINI] Sekelumit Kedunguan Sebagai Bangsa yang Beradab

Karakter warisan leluhur makin tergesers

Kata "dungu" biasanya dimaknai sebagai bodoh, bebal, tidak cerdas. Kata itu, ketika
ditambahkan awalan "ke" dan akhiran "an", menjadi kedunguan dimaknai kebodohan, kebebalan, ketidakcerdasan. Sedangkan "ketidakpedulian" dapat dimaknai tidak menghiraukan, acuh tak acuh, tidak memperhatikan berbagai hal yang sesungguhnya bernilai untuk kemaslahatan umat, bangsa, dan negara.

Sementara beradab dari kata dasar adab, adalah kehalusan dan kebaikan budi pekerti, kesopanan dan akhlak, sedangkan beradap, mempunyai adab, budi bahasa yang baik, berlaku sopan, menunjukkan selarasnya kehidupan lahir batin, perkataan dan perbuatan, duniawi dan ukhrawi.

Dungu, bebal, bodoh tidak peduli pada sesuatu yang lazim terjadi adalah suatu keniscayaan. Namun, pandai, intelek yang tidak peduli pada kelaziman adalah karakter yang tidak patut, tidak selaras dengan adab bangsa dan ajaran leluhur nenek moyang.

Bagi bangsa Indonesia, sifat dan karakter warisan leluhur yang ada telah mengalami pergeseran yang semakin menjauh, yang mestinya di-uri-uri (dipelihara dan dilestarikan), kendatipun silih berganti, dari generasi ke generasi, sehingga nilai-nilai itu abadi, mengakar, dan mengikuti perkembangan masyarakat. Sebagai bukti nyata, oleh Founding Father telah dikristalisasikan nilai-nilai luhur bangsa ini dalam bentuk rumusan sila-sila Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber aktifitas bangsa ini, sehingga terjamin keutuhan dan persatuan dan terhindar dari perpecahan atau tercerai-berai.

Nilai-nilai mutu manikam (permata yang indah) sebagai mutiara bagi bangsa dijadikan
ugeran (norma) dalam segala tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kemudian melalui lembaga yang beradab memformalkan dalam bentuk hukum positif, dilaksanakan, dan ditegakkan, untuk menjaga eksistensi dan cita-cita bangsa ini.

Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang memiliki budaya santun, bermartabat (memanusiakan manusia), tepo seliro (tenggang rasa), kekerabatan paguyuban (gemeinscaft) atau toleransi tinggi. Hal ini seyogyanya tertanam, merasuk, dan tercermin dalam perilaku keseharian bangsa ini dalam berbagai aktifitas dan fungsinya.

Seiring dengan itu, falsafah Jawa yang tinggi nilainya, dikenal semboyan “Gemah Ripah Loh Jinawi toto tentrem kertoraharjo” makna lepasnya adalah “Negeri yang Memiliki Kekayaan Alam Berlimpah Aman dan Tenteram)”. Gambaran ini, tidak berlebihan ketika semua elemen bangsa mengerti memahami dan ambil bagian dalam merealisasi dan mengaktualisasi falsafah ini menjadi pedoman hidup sehari-hari.

Di sisi lain, sifat asah (belajar), asih (menyayangi), dan asuh (peduli), dijadikan rambu-rambu dalam kehidupan masyarakat, cerminannya, saling memberikan pembelajaran, saling menyayangi, dan saling melindungi. Nilai-nilai falsafah warisan leluhur, bagian karakter/ciri khas bangsa turun temurun silih berganti dari generasi ke generasi hingga dewasa ini. Nilai-nilai luhur ini tidak ternilai dengan apapun.

Nilai-nilai yang ideal warisan leluhur nenek moyang seyogyanya tidak lekang atau terkooptasi oleh berjalannya waktu dan kehidupan modern. Namun faktanya tidak demikian. Nilai-nilai ini mengalami pergeseran yang luar biasa memprihatinkan. Tidak sedikit manusia yang memiliki jiwa homo homini lupus (serigala bagi yang lain), menghalalkan segala cara, aji mumpung (memanfaatkan kesempatan atau peluang yang ada) untuk kepentingan pribadi atau golongan, mengumbar nafsu 6 (enam si), yaitu situasi, kondisi, gengsi ambisi, komisi, dan relasi. Sikap “aji mumpung”, seiring dengan perangai “ciri wanci lelai ginowo mati” (tabiat, perangai, kebisaan seseorang faktanya sulit untuk diubah) dan dibawa hingga meninggal/mati.

Di bidang pemerintahan, nilai-nilai keadaban belum banyak merasuk, mendarah daging ke
dalam ranah afektif (sanubari/kesadaran) para abdi Negara, pemegang kebijakan, wakil rakyat, penegak hukum, serta aparatur sipil negara, dan lain-lain. Perilakunya banyak terkooptasi oleh berbagai kepentingan yang bergeser dari posisi sebagai abdi Negara, abdi rakyat atau abdi masyarakat, justru menjadi penghisap keringat rakyat, masih maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, bahkan juga tribalisme yang masih terjadi.

Predikat sebagai “bangsa yang korup”, merupakan stigma yang merendahkan harkat dan martabat bangsa. Tampilan perjalanan sejarah pemerintahan, model berbagai bentuk penyimpangan, tercatat secara gamblang berbagai bentuk penyimpangan, mestinya dijadikan pembelajaran yang baik untuk generasi penerusnya.

Di kalangan masyarakat, sesungguhnya mendambakan sosok ideal yang menyejukkan
sebagai publik figur yang dijiwai sosok “ing-ngarso sung tulodo, ingmadyo mangunkarsa, dan tutwuri handayani” sebagai bingkai yang berisi potret panutan, namun, yang tersaji dalam berbagai media tidak mencerminkan konten nilai-nilai edukasi dan keteladanan yang diharapkan oleh masyarakat.

Institusi, wakil rakyat, pejabat, polisi, hakim, dan sebagainya, jauh dari panggang api sebagai sosok panutan masyarakat. Begitu juga masyarakat, cerminan kedunguan atau ketidakpedulian banyak menghiasi media masa. Perilaku menjengkelkan, arogan, melanggar hukum, pembohong, penipu, mengambil hak orang lain, dan sebagainya.

Sederhananya cara berlalu-lintas tidak memberi kesempatan pada mobil ambulans, tidak patuh pada aturan hukum, balapan liar, dan sebagainya, kondisi ini sangat memprihatinkan, kondisi demikian tidak sepenuhya kesalahan masyarakat, tetapi ini adalah lingkaran setan yang tidak mudah diselesaikan, karena semua elemen masyarkat banyak yang terjangkiti penyakit kedunguan, ketidakpedulian, dan hakikatnya biadab.

Belum terciptanya kepatuhan, ketertiban, dan penegakan hukum yang benar-benar tegak
di tidak serta merta kesalahan masyarakat, tetapi sesungguhnya lebih cenderung kurangnya figur sosok “ing-ngarso sung tulodo, ingmadyo mangunkarsa, dan tutwuri handayani”. Model tebang-pilih, palu hakim bukan sebagai gada pemukul namun sebagai gada untuk menakut-nakuti, tumpul ke atas tajam ke bawah, hukum seperti sarang labah-labah, banyak figur terpengaruh oleh 6 (enam) si (situasi, kondisi, gengsi, ambisi, komisi, relasi), sampai kapan hal ini terus terjadi, pertanyaan besarnya adalah kedunguan, ketidak pedulian atau sudah bergeser sebagai bangsa yang biadab.

Sebagai bahan renungan, “east culture”, budaya ketimuran yang disematkan kepada bangsa Indonesia belum merasuk dalam ranah sanubari bangsa ini, sehingga banyak perilaku yang belum selaras, bahkan saat ini cenderung mengalami degradasi, demonstrasi brutal, ujaran kebencian, menyampaikan berita bohong, merendahkan simbol-simbol negara yang sah, makin menipisnyapendidikan budi pekerti, dan sebagainya.

Tayangan di berbagai media banyak yang tidak patut menyebut simbol negara, memanggil
Bapak Presiden dengan hanya menyebut nama, Jokowi, Luhut Binsar Panjaitan, Mahud MD, dan sebagainya, kendatipun tidak ada larangan, namun itu bukan budaya kita, hal ini seringkalidiucapkan oleh orang-orang berpendidikan, wakil rakyat, politisi, dan sebagainya, mungkin merasa bangga dan hebat. Ini contoh sederhana yang tidak selaras dengan nilai-nilai adab ketimuran dan nilai-nilai luhur bangsa, pertanyaannya sudah adakah yang peduli untuk meluruskannya?

Keprihatinan kondisi bangsa ini sesungguhnya sudah demikian parah, pembiaran demi
pembiaran berbagai bentuk anomali tentu akan semakin parah. untuk itu, upaya revolusi mental yang telah dicanangkan oleh Presiden Bapak Joko Widodo harus segera diwujudkan, dengan harapan mengubah mental dan kesadarannya agar bangsa ini menjadi lebih baik dan beradab.

Cita-cita bangsa ini, sebagai tertuang di dalam konstitusi, kemudian dijabarkan lebih lanjut
dalam perundang-undangan segera terwujud, seiring dengan cita-cita luhur bangsa dengan modal dasar nilai-nilai budaya warisan nenek moyang dan revolusi mental yang terprogram dan terencana, terlaksana secara sinergi oleh seluruh elemen bangsa ini dengan multi disipliner dan interdisipliner.

Dengan semangat bersatu kita teguh bercerai kita runtuh, membuang jauh-jauh dari sifat
kedunguan, ketidakpedulian, sikap biadab, di manapun, kapanpun, posisi apapun, aktifitas apapun keberadaan kita, dengan semangat ikut ambil bagian dalam menyukseskan cita-cata bangsa ini, InsyaAllah bangsa ini menjadi bangsa yang besar, bangsa yang disegani oleh bangsa lain, berkat martabatnya yang mulia di mata masyarakat, bangsa, negara, dan bahkan dunia Internasional.

Dr. H. Teguh Suratman, SH., MS.
Dosen Fak Hukum Universitas Merdeka Malang

Baca Juga: [OPINI] Hadiah Baru Hari Kartini, Pengesahan RUU PKS

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya