[OPINI] Pudarnya Citra PERADI Sebagai Independent State Auxilary Organ

Perubahan pengurus PERADI, perlukah izin dari Kemenkumham?

Untuk menjalankan kekuasaan dan mewujudkan cita-citanya, negara memerlukan  lembaga-lembaga negara sebagai kelengkapannya. Di Indonesia lembaga-lembaga negara merupakan istilah yang penggunaannya telah dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1996.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. yang merupakan Ketua Pertama Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (2003-2008) memiliki pandangan, bahwa pengertian lembaga negara tidak hanya dibatasi dengan pengertian lembaga negara secara umum, akan tetapi juga perlu diartikan secara luas. Sistem ketatanegaraan dalam pengertiannya yang sempit melingkupi lembaga-lembaga negara yang pembentukan serta kewenangannya terdapat dalam UUD 1945. Sedangkan dalam pengertiannya yang luas, melingkupi seluruh lembaga-lembaga negara baik yang disebutkan dalam UUD 1945 maupun yang disebutkan dalam peraturan perundang-undangan lain.

Sebagai contoh, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Pasal 24, Pasal 24A, serta Pasal 24C UUD 1945. Di sisi lain, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan lain selain UUD 1945, yakni Pasal 43 UU No. 31 Th. 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang ditegaskan kembali dalam UU No. 30 Th. 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dengan demikian di Indonesia dikenal dua bentuk formal lembaga negara, yakni masing-masing constitutional state organ yang dibentuk dan kewenangannya bersumber dari UUD
1945, dan state auxiliary organ yang dibentuk dan kewenangannya bersumber bukan dari UUD 1945 melainkan dari peraturan perundang-undangan yang lain.

Namun demikian, ada juga state auxiliary organ yang memiliki kewenangan konstitusional. Menurut Prof. Dr. H. Bagir Manan, S.H. (Ketua Mahkamah Agung 2001-2008), state auxiliary organ merupakan lembaga negara yang memiliki fungsi sebagai penunjang dari fungsi lembaga negara yang termasuk dalam alat kelengkapan negara.

Murtir Jeddawi (2012) dalam bukunya bertajuk Hukum Administrasi Negara, mengkategorikan organ-organ negara ke dalam dua kategori, yaitu lembaga negara dan lembaga negara independen. Sedangkan menurut Gunawan A. Tauda (2011), ciri-ciri yang dimiliki lembaga negara independen antara lain adalah independen dalam menjalankan tugas dan fungsinya yang ditegaskan dalam peraturan pembentukannya (sebagai syarat normatif), independen memiliki makna bebas dari pengaruh, kontrol, maupun kehendak dari kekuasaan eksekutif.

Pada tanggal, 21 Desember 2004, telah dilakukan penandatanganan “Deklarasi Pendirian
Perhimpunan Advokat Indonesia” oleh delapan pengurus yang mewakili organisasi advokat/pengacara/penasehat hukum/konsultan hukum, yakni IKADIN (Ikatan Advokat
Indonesia), AAI (Asosiasi Advokat Indonesia), IPHI (Ikatan Penasehat Hukum Indonesia),
HAPI (Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia), SPI (Serikat Pengacara Indonesia),
AKHI (Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia, HKHPM (Himpunan Konsultan Hukum Pasar
Modal, dan APSI (Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia). Delapan organisasi tersebut sebelumnya secara kolektif mengemban dan menjalankan kewenangan organisasi Advokat menurut UU No. 18 Th. 2003 tentang Advokat (UU Advokat).

Semangat untuk meningkatkan kualitas profesi advokat yang bebas dan mandiri dalam
menjalankan tugas serta wewenang yang digariskan UU Advokat-lah yang menjadi landasan dan amunisi ideologis Deklarasi Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia tersebut. Sejak deklarasi itulah terbentuk PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab berdasarkan UU Advokat.

Pembentukan PERADI melalui Deklarasi Pendirian Perhimpunan Advokat Indonesia pada
tanggal 21 Desember 2004 sebagaimana tersebut di atas, masih dalam tenggat waktu sebelum berakhirnya batas waktu yang digariskan oleh UU Advokat, yakni maksimal dua tahun setelah diundangkannya UU Advokat, tepatnya deadline pembentukan organisasi advokat sebagai wadah tunggal profesi advokat berakhir pada tanggal, 05 April 2005.

Linimasa pembentukan PERADI sebagaimana terurai di atas sesungguhnya dengan sendirinya telah menjawab pertanyaan, organisasi advokat mana yang telah dibentuk sesuai dengan amanat UU Advokat? Tentu jawabnya tidak lain dan tidak bukan adalah PERADI. Sehingga dengan demikian PERADI adalah satu-satunya organisasi advokat yang dibentuk berdasarkan amanat UU Advokat.

Baik secara de facto maupun de jure, PERADI adalah organisasi advokat yang sah dan dapat melaksanakan tugas dan kewenangan organisasi advokat menurut UU Advokat. Secara de facto, PERADI telah melaksanakan aktivitas tugas, wewenang, dan fungsinya sesuai dengan UU Advokat. Aktivitas tersebut antara lain mengangkat advokat, melaksanakan pendidikan advokat, mengadakan ujian profesi advokat, mengusulkan pengangkatan advokat kepada Pengadilan Tinggi, mengawasi dan menindak advokat dan lain sebagainya.

Secara de jure, selain dibentuk berdasarkan UU Advokat, PERADI juga telah diakui sebagai
organisasi advokat. Pengakuan secara de jure tersebut antara lain dapat ditemukan dalam, (1) Putusan MK No. 66/PUU-VIII/2010 objectum litis-nya adalah menguji Pasal 28 Ayat (1) UU Advokat yang dihubungkan dengan Putusan MK No. 14/PUU-IV/2006 di mana dalam ratio decidendi Putusan MK No. 66/PUU-VII/2010 bagian [39.11 halaman 243] dengan tegas menyatakan, “Bahwa mengenai pengujian dan telah diputus oleh Mahkamah dalam putusan Nomor 014/PUU-IV/2006, tanggal 30 November 2006 tersebut di atas, Mahkamah dalam pertimbangannya antara lain menyatakan, “Bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat waktu dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya.”; (2) Putusan MK No. 66/PUU-VIII/2010 khususnya pada halaman 342 menyebutkan, “... PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUUII/2010).”; dan (3)

Putusan MK No. 66/PUU-VIII/2010 pada halaman 342, PERADI sebagai: Satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam UU Advokat adalah satu-satunya wadah profesi Advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)], membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)], dan memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1), UU Advokat.

Baru-baru ini terjadi perbincangan di antara para advokat, terkait perlukah perubahan pengurus PERADI mendapat persetujuan perubahan perkumpulan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama perlu ditelusuri terlebih dahulu kedudukan
formal PERADI menurut hukum tata negara Indonesia. Sebagaimana telah diuraikan di
sebelumnya, di Indonesia dikenal dua bentuk formal lembaga negara, yakni constitutional state organ dan state auxiliary organ. Bentuk formal lembaga negara tersebut ada yang berkategori lembaga negara dan lembaga negara independen.

PERADI sebagaimana telah pula dijelaskan di atas, dibentuk, menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai dengan amanat UU Advokat. Sehingga apabila dihubungkan dengan definisi state auxiliary organ yang dibentuk dan kewenangannya didasarkan atas perintah peraturan perundang-undangan selain UUD 1945, maka PERADI yang dibentuk serta menjalankan tugas, wewenang, dan fungsinya berdasarkan UU Advokat terkualifikasi sebagai state auxiliary organ.

Selain itu, PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004). Dengan mengaitkan antara definisi state auxiliary organ dan PERADI yang bersifat mandiri tersebut, maka inferensinya adalah PERADI merupakan independent state auxiliary organ.

Dengan demikian, sebenarnya telah terjawab jika perubahan pengurus PERADI tidak
memerlukan persetujuan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Apabila PERADI harus mendapatkan persetujuan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam perubahan pengurusnya, maka PERADI telah kehilangan esensi independensinya karena aktivitas intern PERADI dalam melakukan perubahan pengurusnya mutlak tergantung setuju atau tidaknya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Lagi pula, PERADI tidak dalam posisi subordinat eksekutif (pemerintah). Lebih dari itu, tidak satu pasal pun dalam UU Advokat yang mewajibkan perubahan pengurus organisasi advokat untuk mendapatkan persetujuan atau pengesahan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. 

Sebagai perbandingan, KPU (Komisi Pemilihan Umum), KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), ORI (Ombudsman Republik Indonesia), bahkan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) serta lembaga-lembaga lain yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang yang juga terkualifikasi sebagai state auxiliary organ yang mandiri, perubahan pengurusnya sejauh yang kami pahami tidak memerlukan persetujuan ataupun pengesahan Kementerian Hukum dan Asasi Manusia.

Lembaga-lembaga negara yang terkualifikasi sebagai state auxiliary organ tersebut hingga saat ini tetap memiliki validitas dan masih menjalankan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing, dan tidak pernah terdengar ada yang mempermasalahkan terkait pergantian pengurusnya apakah perlu mendapat persetujuan atau pengesahan Kementerian Hukum dan Asasi Manusia, vice versa.

 

Dr. SUSIANTO, S.H., M.H., CLA

(Advokat, Mediator, Legal Auditor & Lecturer Pasca Sarjana & Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang)

UNGGUL HUDOYO, S.H., M.H.

Advokat DPC Peradi Malang

Baca Juga: Ketua DPC Peradi Medan: Sidang Kode Etik Advokat Bersifat Internal

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya