Upaya Otak-Atik Sejarah Lewat Proyek Buku, Sejarawan dan Budayawan Meradang

Surabaya, IDN Times - Otak-atik sejarah melalui proyek penulisan ulang buku sejarah Indonesia mulai dilakukan pemerintah. Digawangi Kementerian Kebudayaan (Kemenbud), kekhawatiran masyarakat, sejarawan hingga budayawan pun muncul. Setelah draft yang beredar kalau isinya ada beberapa kejadian yang diindikasi bakal dihilangkan.
Bahkan terbaru, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan pernyataan kontroversial saat diwawancara Pemred IDN Times, Uni Lubis dalam program Real Talk. Fadli menyatakan jika peristiwa pemerkosaan massal saat kerusuhan tahun 1998 masih dapat diperdebatkan.
Sejarawan Universitas Ciputra Surabaya, Freddy H. Istanto pun angkat bicara perihal proyek miliaran rupiah tersebut. Ia menyebut, kalau penulisan buku sejarah setiap periode memang perlu diperbarui. Bahkan, ada beberapa yang harus diluruskan.
"Upaya meluruskan sejarah itu baik. Tapi ketika menemui era generasi muda, penulisan sejarah perlu diperbarui di masa kini. Melalui pemahaman baru. Kita belajar dari sejarah," ujarnya kepada IDN Times, Rabu (18/6/2025).
"Sejarah era Soeharto banyak diputarbalikkan. Ketika Gen Z yang tidak tahu peristiwa atau tidak melek sejarah itu, maka harus diungkap soal sejarah yang benar," tambah Freddy.
Hal yang menurut Freddy perlu diluruskan ialah peristiwa yang masih simpang siur dan banyak perdebatan. Seperti halnya peristiwa tahun 1965. Di tahun tersebut ada peristiwa G30S PKI yang berujung dugaan pembunuhan tujuh jenderal. Kemudian ada pembersihan PKI yang disebut mencapai jutaan orang.
"Contoh peristiwa 65, kita dicekoki barang tidak terbuka. Ada pembelokan fakta. Harusnya, sekelam apapun sejarah, harus dijelaskan secara gamblang," tegasnya.
Tak hanya itu saja, Freddy turut menyoroti terkait peristiwa 1998. Ia juga terusik dengan pernyataan Menbud Fadli Zon yang bilang kejadian pemerkosaan massal masih diperdebatkan. Hal itu seolah meragukan sebuah peristiwa yang jelas-jelas ada korbannya. Menurutnya, sudah ada korban yang berani bercerita. Termasuk yang akan bersaksi ke PBB, Ita Martadinata namun meninggal lebih dulu.
"Itu memang kejadian kelam, kesalahan fatal sebuah bangsa. Jangan melihat sisi etnisnya, lihat memang ada pelecehan seksual. Ditelusuri dan ditulis secara terbuka saja tidak apa-apa," terangnya.
Justru, kata Freddy, jika sejarah tidak diungjap secara gamblang, bahkan ada upaya pembelokan, maka akan menjadi petaka bagi generasi yang akan datang. "Ketika ada pembelokan sejarah, bangsa ini bisa kehilangan arah," ucapnya.
Freddy pun tidak masalah kalau sejarah yang ditulis ulang ini dikerjakan dengan baik. Prosesnya melibatkan banyak pihak yang kredibel dan objektif. Sehingga hasilnya bisa menjadi rujukan bersama.
"Saya menyetujui selama dikerjakan sebaik-baiknya. Saya yakin kita punya orang hebat, sejarawan dan budayawan. Tapi apakah tim ini berani terbuka atau ada pesan politik lain. Soal dana untuk kepentingan besar dan mulia dengan melibatkan orang kredibel dan objektif itu tidak masalah," tegasnya.
Sementara itu, pemerhati sejarah dan cagar budaya Surabaya, yang dikenal sebagai bagian dari komunitas Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo menilai kalau yang dilakukan pemerintah saat ini ingin membuat narasi tunggal sejarah bangsa. Menurutnya, narasi tunggal ini bisa mengaburkan fakta sejarah.
"Sekarang yang dikhawatirkan muncul. Rencananya ada beberapa diglorifikasi. Ada yang dikaburkan," katanya.
"Padahal, penulisan sejarah tidak boleh tunggal. Karena peristiwa sejarah itu tidak tunggal. Ketika ada wacana pembuatan narasi tunggal sejarah, maka tidak membuat situasi lebih bahagia malah menimblkan kerancuan baru," tambahnya.
"Banyak orang menduga beberapa peristiwa dihilangkan. Kalau penulisan ulang buku sejarah ini alasannya untuk mata pelajaran atau kuliah itu terlalu naif. Ini arahnya membuat narasi tunggal sejarah bangsa," beber Kuncar.
Budayawan asal Surabaya, Taufik Hidayat alias Taufik Monyong pun mendesak kepada pemerintah khususnya Menbud jika memang ingin menulis ulang sejarah, harus ditulis secara objektif. Bangsa yang baik, katanya, harus berani mengakui peristiwa kelam yang pernah terjadi. Dari situ, maka bisa dijadikan pelajaran generasi masa kini dan masa depan.
"Kalau memang 1998 ada kerusuhan, kemudian ada pemerkosaan juga, yang berujung reformasi dengan lengsernya Soeharto ya ditulis saja. Sekelam apapun ditulis saja," pungkasnya menegaskan.