Kisah Arif Tuban, Mantan Napiter yang Belajar Terorisme Lewat Internet

Ia kini ikut dalam upaya deradikalisasi

Surabaya, IDN Times - Gairah muda yang membara, semangat untuk menghadapi tantangan, dan perasaan ingin diakui membuat Arif Budi Setyawan (36) atau yang lebih dikenal sebagai Arif Tuban terjun ke dunia radikalisme. 

Perjalanan Arif memahami radikalisme ia sebut sebagai masa transisi antara era pembelajaran offline menuju online. Prosesnya ketika belajar tentang jihad melalui online membuktikan bahwa internet memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi ideologi seseorang.

 

Baca Juga: Perjuangan Menepis Sejarah Kelam Desa Tenggulun

1. Arif terlibat aktif dalam kegiatan terorisme

Kisah Arif Tuban, Mantan Napiter yang Belajar Terorisme Lewat Internet(IIustrasi) IDN Times/Arief Rahmat

 

Penampilan Arif jauh dari gambaran orang radikal yang dipahami masyarakat. Celananya tidak cingkrang. Jenggotnya tidak panjang. Malam itu, Senin (18/11), Arif mengenakan kemeja biru kotak-kotak hitam lengan panjang dengan celana cokelat.

Tubuhnya yang tak terlalu tinggi membuatnya tidak menonjol dari kerumunan orang. Siapa sangka, sosok itu dulunya pernah menjadi pengirim orang-orang pelatihan ke ISIS, pencari dana untuk kegiatan terorisme, pembeli senjata-senjata, hingga pengajar pembuatan bom.

"Berawal dari simpati, kemudian ingin terlibat, kemudian menyadari bukan itu jalan perjuangan yang benar," tutur Arif mengawali kisahnya di depan puluhan orang saat menjadi salah seorang pembicara diskusi di sebuah perpustakaan Surabaya, Senin (18/11) malam.

2. Mengenal radikalisme dari pondok milik keluarga Amrozi

Kisah Arif Tuban, Mantan Napiter yang Belajar Terorisme Lewat InternetArif Tuban saat menjadi pembicara sebuah diskusi di Surabaya, Senin (18/11). IDN Times/Fitria Madia

 

Arif menjelaskan perkenalan pertamanya dengan istilah jihad berawal pada tahun 1995 ketika ia mondok di Pondok Pesantren Al Islam Tenggulun, Lamongan. Ya, pondok itu merupakan milik keluarga Amrozi, otak di balik peristiwa Bom Bali 2002. Meski Arif lahir dan tumbuh di Tuban, namun rupanya ia masih merupakan saudara jauh dari keluarga Amrozi.

"Pak amrozi, Ali Fauzi itu kalau dengan saya masuh sepupu tingkat dua. Bapaknya Pak Amrozi saudara sepupu kakek saya," jelasnya.

Atas dasar persaudaraan itu lah, Arif menimba ilmu agama di Ponpes Al Islam. Di sana ia mulai mengenal pemahaman tentang jihad dari ustaz-ustaznya. Teman-teman di pondok juga memperkenalkannya dengan buku-buku tentang perjuangan Islam.

3. Tetap belajar tentang jihad dalam radikalisme meski tak di pondok

Kisah Arif Tuban, Mantan Napiter yang Belajar Terorisme Lewat Internet(Ilustrasi) IDN Times/Sukma Shakti

 

Arif belajar di Al Islam tidak lama. Pada 1999, ia pindah ke Sekolah Teknik Menengah di sebuah kota. Lingkungannya bukan lagi ustaz atau santri. Tapi ternyata, pergerakan Arif masih dipantau oleh mereka.

Meski bukan lagi santri, Arif masih rutin mengikuti pengajian-pengajian. Ketika Amrozi dkk dipenjara, ia juga diajak untuk menjenguk. Di sana lah, Arif remaja melihat bagaimana solidaritas diberikan kepada para teroris.

"Ternyata pendukungnya banyak. Puncaknya, saya merasa yang mendukung Imam Samudra, pelaku bom bali banyak," tutur Arif menggambarkan perasaannya saat itu.

Arif muda pun merasa tertantang. Ia juga ingin diakui, ia ingin didukung ribuan orang seperti para teroris itu. Perlahan-lahan, ia mulai mencari jati dirinya sebagai teroris melalui internet.

"Yang lain itu menjawab tantangan lewat olahraga dan lain-lain. Kalau saya lewat ini, jihad," ungkapnya.

4. Kecepatan informasi di internet membuatnya makin semangat belajar

Kisah Arif Tuban, Mantan Napiter yang Belajar Terorisme Lewat InternetArif Tuban saat menjadi pembicara sebuah diskusi di Surabaya, Senin (18/11). IDN Times/Fitria Madia

Berbekal jaringan internet, Arif tak perlu lagi susah-susah bertatap muka dengan ustaz atau santri lainnya. Ia dapat mengakses ajaran dan informasi terkait ISIS melalui mailing list, mIRC, dan sebuah situs khusus forum jihad.

"Saya mencoba mencari orang-orang yang sepemahan dengan saya. Seperti forum udara. Berita jihad seluruh negara. Kalau ada rilis Osamah bin Laden, sebelum CNN, kita tahu duluan. Kita tahu aksi-aksi dapat sumber langsung dari pelaku," kenangnya.

Kebanggan-kebanggan menjadi orang pertama yang mengetahui berbagai informasi membuat Arif semakin cinta dengan jihad yang dijalani. Ia pun memulai karirnya pada 2009, usai kejadian Bom Jakarta di Hotel JW Marriot.

5. Mulai terlibat dalam terorisme sejak 2009

Kisah Arif Tuban, Mantan Napiter yang Belajar Terorisme Lewat InternetArif Tuban saat menjadi pembicara sebuah diskusi di Surabaya, Senin (18/11). IDN Times/Fitria Madia

 

Berbekal ilmu online, Arif pun terjun ke dunia radikalisme. Ia membantu menghubungkan calon pejihad dengan ISIS. Ia memberikan tempat penampungan bagi mereka yang akan berangkat ke Aceh atau Afghanistan. Ia menjadi tutor bagi mereka-mereka yang ingin belajar membuat bom.

Meski cukup aktif, Arif mengatakan bahwa dirinya tidak mau terlibat terlalu dalam. Ia masih belum rela untuk meninggalkan keluarga kecilnya demi melakukan kegiatan terorisme. Sehingga yang ia lakukan selama ini sebatas membantu, menyediakan, dan menjembatani.

"Saya ingin membantu, terlibat, tapi saya gak mau meninggalkan keluarga. Kalau saya bisa bantu tanpa meninggalkan orangtua, saya bersedia membantu. Saya di JI orang binaan biasa. Saya gak punya pesanreen pengajian dan lain-lain," tuturnya.

Sampai pada akhirnya langkah Arif terhenti di tahun 2014. Ia ditangkap lantaran turut menyediakan senjata dalam perencanaan operasi penyerangan di Poso, Sulawesi Tengah. Di tahun yang sama, ia menerima vonis 4 tahun 10 bulan. Namun, Arif bisa bebas pada Oktober 2017 karena mendapat remisi.

6. Ingin diterima di masyarakat selepas dari Lapas

Kisah Arif Tuban, Mantan Napiter yang Belajar Terorisme Lewat InternetArif Tuban saat menunjukkan bukunya "Internetistan", Senin (18/11). IDN Times/Fitria Madia

Di awal masa kurungan penjara itu lah, Arif berkontemplasi. Ia melihat kenyataan bahwa tindakannya ternyata tidak didukung oleh orang banyak. Keinginannya untuk mendapat solidaritas dan menjadi pahlawan rupanya tidak terbukti.

"Sampai pada kesimpulan kalau saya lakukan itu benar pasti dampaknya untuk umat Islam positif. Tapi kok malah sebaliknya? Umat Islam malah menjauhi saya," jelas Arif menggambarkan pikirannya dulu.

Ia pun perlahan-lahan mulai membuka diri. Ia berkawan dengan berbagai kalangan saat mendekam di Lembaga Pemasyarakatan II A Salemba, Jakarta Pusat. Ia pun menelurkan buku dan novel dari buah pikirannya selama di penjara.

"Saya ingin kembali ke masyarakat dan diterima dengan baik. Saya ingin menunjukkan bukti bahwa saya sudah berbuah. Buktinya itu ya melalui buku ini," tutupnya.

Baca Juga: Putra Amrozi: Tak Mudah Menjadi Anak Napi Terorisme

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya