TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Pakar Hukum Unair: Penundaan Pemilu Mengkhianati Konstitusi

Pemilu telah diatur dalam UUD NRI 1945

Ilustrasi Pemilu (IDN Times/Mardya Shakti)

Surabaya, IDN Times – Wacana penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) belakangan ini muncul di kalangan elit politik. Beberapa dari mereka menyebut bahwa masa Jabatan Presiden Joko "Jokowi" Widodo perlu untuk diperpanjang. Argumentasi yang mendasari wacana itu adalah adanya COVID-19. Bagi mereka, Indonesia perlu melakukan pemulihan ekonomi, sehingga Pemilu perlu ditunda.

Pakar Hukum Pemilu Universitas Airlangga (Unair) Dr. M. Syaiful Aris angkat bicara soal wacana ini.

Baca Juga: Beri Sinyal Dukung Pemilu Ditunda, Golkar Tetap Siapkan Airlangga 2024

1. Wacana penundaan pemilu mengkhianati amanat konstitusi

Dr. M. Syaiful Aris mengatakan bahwa secara ketatanegaraan, pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, DPRD, dan DPD (Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945). Sementara untuk presiden dan wakil presiden sendiri menurut Pasal 7, mereka memegang jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.

"Jadi secara normatif, penyelenggaraan pemilu dan presiden hanya menjabat selama dua periode itu merupakan suatu kewajiban konstitusional yang tidak boleh dilanggar," ujar Wakil Dekan II Fakultas Hukum (FH) Unair itu. 

Aris menekankan bahwa wacana penundaan pemilu tidak memiliki argumentasi yang relevan dan mengkhianati amanat konstitusi. Menurutnya, Indonesia telah memiliki sistem dan konstitusionalitas pemilu yang mapan. Ia menambahkan bahwa penundaan pemilu dalam sejarah Indonesia hanya pernah dilaksanakan sekali, yakni Pemilu 1945 yang ditunda hingga tahun 1955.

"Kondisinya kala itu memang kita baru merdeka dan masih sering mendapatkan agresi militer dari pasukan sekutu. Jadi wajar menurut saya untuk menunda pemilu. Nah, kalau sekarang kan kondisinya tidak seperti itu," tuturnya.

2. Bila dilaksanakan bisa berdampak buruk

Wacana penundaan Pemilu menurut Aris dapat berakibat buruk terhadap penyelenggaraan pemerintah di Indonesia. Esensi penyelenggaraan pemilu adalah dasar legitimasi kekuasaan pemerintah dari masyarakat. Ia berharap pemerintah memiliki legitimasi kuat dari masyarakat untuk menjalankan pemerintahan.

"Kekhawatirannya adalah wacana ini dapat memunculkan deligitimasi dari publik apabila direalisasikan. Itu kan bahaya, karena ia mendorong ketidakpercayaan publik. Apalagi penundaan pemilu itu tidak memiliki argumentasi yuridis dan teknis," ujar mantan Direktur LBH Surabaya itu.

Baca Juga: Wacana Pemilu Ditunda, SETARA: Kedaulatan Bukan di Tangan Pengusaha!

Berita Terkini Lainnya