Perjuangan Yuli Riswati, Penuhi Dahaga Literasi Para Buruh Migran

Ia membuat sebuah media di Hong Kong lalu dideportasi

Surabaya, IDN Times – Perempuan berkerudung ungu datang memasuki ruangan dengan mengenakan masker. Ketika duduk di sebuah bangku, ia mulai membuka penutup wajah dan menunjukkan bibirnya yang pucat pasi. Dia menyodorkan tangannya seraya tersenyum.

“Baru pulang dari LBH (Lembaga Bantuan Hukum) ini. Tadi habis menyerahkan aduan,” tuturnya, Rabu, (4/11).

Perempuan itu sedang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Ia adalah Yuli Risawati, seorang buruh migran Indonesia yang sudah 10 tahun bekerja di Hong Kong. Ia juga diketahui mendirikan sebuah portal media daring berbahasa Indonesia yaitu Migran Pos. Baru saja, Yuli dideportasi oleh Pemerintah Hong Kong tanpa ada alasan jelas.

1. Kondisi ekonomi dan terbatasnya pendidikan membuat Yuli menjadi buruh migran

Perjuangan Yuli Riswati, Penuhi Dahaga Literasi Para Buruh MigranPara pekerja migran Indonesia di Hong Kong saat menikmati hari liburnya. IDN Times/Faiz Nashrillah

Awalnya Yuli merupakan buruh migran seperti pada umumnya. Kondisi perekonomian keluarganya yang tinggal di sebuah desa pinggiran Kabupaten Jember memaksa Yuli mencari nafkah lebih. Pendidikannya yang hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) membuatnya pesimistis bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Ia pun memutuskan untuk merantau ke Hong Kong di usia 26 tahun.

Hingga akhirnya pada 2010, saat Yuli menikmati hari liburnya sambil berjalan-jalan di Victoria Park, ia bertemu dengan sekelompok buruh migran lain. Rupanya mereka adalah Indonesia Migran Worker Union (IMWU), serikat buruh migran Indonesia yang ada di Hong Kong. Yuli pun mulai nimbrung mengobrol dengan mereka sampai memutuskan untuk turut menjadi aktivis buruh migran.

“Tapi saya melihat bagaimana teman-teman lain itu berkegiatan. Mereka demo, orasi, dan sebagainya untuk menuntut persamaan hak kami dengan warga lokal. Saya melihat, ada hal yang sebenarnya kami butuhkan,” tuturnya.

Kehidupan aktivisme membuat Yuli ingin tahu lebih banyak lagi. Ia mulai mengenal dunia literasi yang bisa memuaskan dahaganya terhadap ilmu pengetahuan. Perpustakaan menjadi tempat langgan Yuli untuk menghabiskan masa liburnya. Bagi Yuli, literasi merupakan jendela baru yang selama ini tidak ia miliki.

2. Yuli jatuh cinta pada literasi melalui karya fiksi

Perjuangan Yuli Riswati, Penuhi Dahaga Literasi Para Buruh MigranYuli Riswati saat ditemui IDN Times di sebuah perpustakaan di Surabaya, Rabu sore (4/12). IDN Times/Fitria Madia

Kegiatan tulis menulis Yuli tidak langsung berupa karya jurnalistik. Ia mengawali karirnya sebagai penulis fiksi. Ia kerap menelurkan cerita pendek yang juga dimuat di surat kabar lokal berbahasa Indonesia di sana. Banyak pesan tersembunyi yang ada di setiap tulisannya. Dulu ia menggunakan nama pena Arista Defi agar tidak dapat dikenali oleh majikannya.

“Sebenarnya saya itu sering dicurhati sama teman-teman. Terus saya bingung mau menyampaikannya bagaimana. Akhirnya saya bentuk menjadi tulisan fiksi yang based on true story,” tuturnya.

Sampai pada suatu saat, pengahargaan pertama dikantongi Yuli dari Forum Lingkar Pena Hong Kong. Kepeercayaandirinya pun berkembang. Ia semakin sering membaca dan menulis dengan berbagai gaya untuk menyampaikan kisah buruh migran dan aspirasi mereka.

Ketekunan Yuli untuk mengadvokasi rekan-rekannya akhirnya mendapatkan apresiasi dari pemerintah setempat. Ia mendapatkan penghargaan dari Taiwan Literature Award for Migrants. Di sana, nama asli Yuli baru terkuak. Apresiasi pun mengalir kepada Yuli.

3. Migran Pos dibangun atas dasar kebutuhan bersama

Perjuangan Yuli Riswati, Penuhi Dahaga Literasi Para Buruh MigranYuli Riswati saat melakukan konferensi pers di kantor AJI Surabaya, Selasa (3/12). IDN Times Fitria Madia

Di tengah-tengah tenggelamnya Yuli dalam dunia kepenulisan fiksi, ia menemukan fakta lain. Selama ini, para buruh kerap melakukan aksi baik aksi damai  maupun demonstrasi. Namun sayangnya, tak satu pun media melakukan peliputan terhadap mereka. Bagi Yuli, percuma mereka bergerak jika tak ada yang mendengarkan aspirasi mereka.

Yuli juga menilai tidak ada yang dapat menyediakan informasi bagi para buruh migran dengan baik. Pasalnya, tak semua buruh migran dapat berbahasa Kantonis, Mandarin, maupun Inggris dengan lancar. Media berbahasa Indonesia yang ada juga dirasa masih kurang mengerti kebutuhan para buruh migran.

Sampai pada akhirnya, masa kampanye Pemilihan Presiden RI 2019 tiba. Pilpres yang panas ini membuat bangsa Indonesia, termasuk buruh migran di Hong Kong terpecah belah. Banyak berita bohong yang menyebar di kalangan buruh migran. Sedangkan, tidak ada satu pun yang dapat mengklarifikasinya.

Dari berbagai macam kegelisahan itu, Yuli mengajak 5 teman lainnya untuk membuat sebuah media. Media ini memiliki semboyan dari migran, untuk migran, dan oleh migran. Dibantu dengan seorang mantan jurnalis TV, mereka pun mendirikan portal daring bernama Migran  Pos.

“Hari itu tepat Hari Perempuan Internasional. Kami berenam perempuan semua,” ucap Yuli berkaca-kaca.

4. Migran Pos mulai dikenal sejak Pilpres 2019

Perjuangan Yuli Riswati, Penuhi Dahaga Literasi Para Buruh MigranSurat suara Pilpres. ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko

Selama sebulan, mereka belajar bagaimana cara menulis berita mulai dari straight news, kuliner, wisata, dan lain-lain. Mereka menulis apa saja  yang menurut mereka penting diketahui untuk para buruh migran. Apa yang kira-kira mereka ingin ketahui, itulah yang akan mereka tulis. Jika bukan dari sesama buruh migran, siapa lagi yang akan memenuhi informasi mereka? Begitu lah pemikiran Yuli.

“Akhirnya kami sering menulis tentang jalur transportasi karena kami pernah terjebak macet panjang. Kami bertanya-tanya, ini ada apa? Rupanya ada demo besar hingga melebihi estimasi demonstran. Karena kami butuh informasi demo tersebut, jadi kami tulis agar teman-teman yang lain tahu dan tidak melewati jalan tersebut,” papar Yuli.

Sampai pada akhirnya, hari pemungutan suara hampir tiba. KJRI Hong Kong membuka pendaftaran bagi media yang hendak melakukan peliputan pesta demokrasi ini. Yuli pun akhirnya memberanikan diri untuk mendaftarkan media mereka yang belum genap berusia sebulan. Mereka pun lolos di detik-detik terakhir dan mengantongi izin peliputan di tiga titik pemungutan suara.

“Ketika itu kami bagi tugas. Peliputan kami lakukan seberimbang mungkin. Akhirnya mulai saat itu nama Migran Pos mulai dikenal karena banyak yang bilang kami berimbang tidak memihak Jokowi maupun Prabowo,” kenang Yuli.

5. Para PRT menulis di Migran Pos di sela-sela waktu bekerja

Perjuangan Yuli Riswati, Penuhi Dahaga Literasi Para Buruh MigranYuli Riswati saat melakukan konferensi pers di kantor AJI Surabaya, Selasa (3/12). IDN Times Fitria Madia

Perjuangan Yuli di dunia literasi para buruh migran membutuhkan banyak pengorbanan. Salah satu pengorbanan yang paling berharga adalah waktu. Yuli dan penulis lain di Migran Pos tidak mendapatkan kentungan apapun, termasuk gaji atau monetisasi. Mereka melakukan seluruh kerja jurnalistik secara suka rela.

Untuk menulis berita sehari-harinya, para pekerja rumah tangga ini kerap mencuri-curi waktu di sela-sela pekerjaan mereka.  Mereka harus memastikan pekerjaannya telah tuntas untuk sementara waktu agar sang majikan tidak marah-marah saat mereka menulis berita. Jika kiranya ada breaking news, salah satu di antara mereka akan lari ke toilet dan menuliskan berita tersebut.

“Eh ada berita ini, siapa yang bisa nulis? Aku-aku. Sebentar aku ke kamar mandi dulu,” celoteh Yuli menirukan percakapannya  dengan rekan-rekan.

Sedangkan untuk peliputan secara langsung hanya dilakukan sekali seminggu, menyesuaikan jadwal libur masing-masing orang. Meski seiring berjalannya waktu demonstrasi di Hong Kong menjadi semakin intensif, para jurnalis Migran Pos hanya akan meliput yang bertepatan dengan hari libur mereka.

“Dan kami harus pulang pada waktu yang telah ditentukan. Yang biasanya pulang paling awal sih saya, jam 8 malam harus sudah ada di rumah. Kami displinkan itu agar majikan juga percaya pada kami. Kami juga harus pulang lebih sore supaya masih dapat transportasi pulang,” terangnya.

6. Migran Pos disebut menjadi antek pemerintah

Perjuangan Yuli Riswati, Penuhi Dahaga Literasi Para Buruh MigranSuasana di sebuah taman di daerah Tsing Yi Hong Kong yag dipenuhi dengan pekerja migran asal Indonesia. IDN Times/Faiz Nashrillah

Namun rupanya perjalanan Yuli untuk memenuhi kebutuhan informasi buruh migran tersendat. Migran Pos mendapat fitnah telah menjadi media corong pemerintah. Hal ini dikarenakan mereka memberitakan situs yang memberikan hadiah bagi siapa saja yang melaporkan pelaku demonstrasi dan vandalisme. Berita itu menjadi viral dan disebar kemana-mana. Migran Pos disebut mengarahkan asisten rumah tangga untuk melaporkan majikan mereka.

“Padahal saya cuma memberitakan situs itu agar teman-teman PRT tahu kalau situs itu tidak jelas. Tidak tercantum siapa pemberi dananya. Saya tanya satu-satu ke orang-orang yang buat viral itu, apa kamu tahu Bahasa Indonesia? Mereka semua jawab tidak bisa. Padahal gak bisa baca tapi mereka malah memviralkan,” tuturnya kesal.

Nama Yuli sebagai penulis berita di Migran Pos pun mencuat. Pernyataan resmi yang ia keluarkan juga tak dapat meredakan isu yang ada. Konsistensi Migran Pos dalam memberitakan demonstrasi anti ekstradisi juga disoroti saat tak banyak media lain memberitakannya. Padahal, Migran Pos tak mempunyai sikap tertentu atas isu panas di Hong Kong tersebut.

Sampai pada akhirnya di Bulan September, pihak imigrasi Hong Kong menhubungi Yuli. Masa aktif visanya yang telah habis dijadikan alasan untuk menyidang hingga menahan Yuli. Hingga akhirnya Yuli dideportasi pada 3 Desember 2019. Saat ini, Yuli tengah memperjuangkan keadilan bagi dirinya agar kejadian serupa tidak menimpa teman-teman pejuang literasi lain.

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya