Kisah dari Timur Jawa, Menjaga Indonesia Lewat Tradisi dan Budaya

Cerita kebangsaan dari masyarakat Samin, Tengger, dan Osing

Surabaya, IDN Times – Kursi panjang dari kayu jati itu tertata rapi di ruang tamu seorang sesepuh Suku Samin. Beberapa orang tampak bersantai di sana. Sembari melempar candaan yang dibalas dengan tawa renyah. Sontak ruangan itu ramai dengan berbagai pembahasan.

Ada yang bicara tentang seni, ada yang ngomong ihwal budaya, ada juga yang menyerempet kepada kondisi yang ada saat ini. Iya, kondisi di mana banyak orang mulai mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal. Yang sejatinya menjadi pemersatu bangsa Indonesia.

Obrolan gayeng pun tersaji di rumah yang tampak sederhana, namun di dalamnya menyuguhkan kehangatan mewah. Meja rumah seolah tak dibiarkan kosong. Laiknya otak yang harus terisi untuk bisa sekadar duduk di sini.

Suguhan mulai dari makanan berat berupa nasi, tempe, sambal pecel ada di atas meja. Ada pula beberapa camilan tradisional yang melengkapinya. Tak lupa, kopi sebagai pelengkap sehingga membuat obrolan kian intim selama durasi berjalan.

Rumah tersebut itu berada di Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro. Kini diwariskan kepada Bambang Sutrisno, anak dari Hardjo-sesepuh Samin.

"Rumah ini sejak zamannya Bapak gak pernah sepi, selalu ada saja tamu yang ke sini untuk silaturahmi," ujarnya kepada IDN Times, Sabtu 5 Agustus 2023 lalu.

Sejak Hardjo masih hidup hingga kini, rumah yang berada di balik hutan jati Bojonegoro ini bak jujukan bagi seniman maupun budayawan. Para kepala suku juga kerap berkunjung ke sini. Membicarakan tentang nasib mereka satu sama lain.

"Dari Tengger itu juga sering ke sini ketika Mbah Hardjo masih ada. Kemudian yang lain juga ke sini. Mereka membicarakan kebangsaan, tentang Indonesia, seperti Samin maupun Tengger di dalamnya," kata Bambang.

Pembicaraan produktif itu pun diimbangi dengan pelbagai tindakan yang dilakukan para sesepuh adat. Mereka berkomitmen menjaga Indonesia dengan caranya sendiri. Seperti halnya melestarikan budaya melalui seni pertunjukan dengan menggandeng banyak pihak. Mulai dari pemerintah, akademisi, cendikiawan, pelajar, seniman hingga budayawan.

Samin menjaga pertunjukan rutin tiap Agustus

Kisah dari Timur Jawa, Menjaga Indonesia Lewat Tradisi dan BudayaPemukul gambang di acara Festival Samin 2023. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Tak heran jika setiap Agustus, alunan gambang di bawah tarup bernuansa merah dan putih kerap menyatu dengan dusun di tengah hutan jati ini. Sang pemain tampak fokus mengarahkan tangannya memukul tiap potong bambu, agar menghasilkan suara yang merdu. Sementara tamu-tamu mulai mengambil tempat untuk duduk di tikar maupun terpal yang disediakan. Mereka yang datang, semuanya duduk di bawah. Bersimpuh dan bersila

Panggung berlatar belakang hitam di Balai Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro perlahan terisi beberapa tokoh. Mulai dari tokoh adat, masyarakat, budayawan, sastrawan hingga cendikiawan. Mereka kompak memakai pakaian serba hitam dengan balutan batik dan udeng obor sewu. Mereka bersiap urun rembuk dalam musyawarah mufakat bertajuk Ngangsu Kaweruh Samin bertema 'Nunggak Semi' pada Sabtu 5 Agustus 2023. Suatu gelaran tahunan yang digelar Komunitas Samin.

Para tokoh yang duduk di panggung bukan bertindak sebagai narasumber. Justru mereka menjadi pendengar. Tamu-tamu yang hadir menjadi narasumbernya. Mereka tidak hanya dari unsur warga masyarakat Komunitas Samin saja, melainkan juga dari luar dusun, bahkan luar kabupaten/kota. Ada kepala sekolah, pelajar, mahasiswa, perwakilan komunitas seni dan budaya maupun duta pariwisata.

Rembukan dua jam, pukul 10.00 – 12.00 WIB, berlangsung gayeng. Pembawa acara menjelaskan tema Nunggak Semi. Yaitu, tentang ajaran Samin yang tak pernah padam. Meski, tokoh-tokoh pendahulunya telah wafat. Seolah pohon yang tertebang, namun selalu tumbuh atau bersemi kembali. Tumbuhnya kini membutuhkan masukan masyarakat modern, agar Samin tak tergerus zaman. Supaya tetap bisa eksis di masa sekarang sampai masa depan.

Urun rembuk di tiap musyawarah untuk mendapatkan hasil yang mufakat sudah lama dilakukan Komunitas Samin di Bojonegoro. Sejak Indonesia belum merdeka, sejak negeri ini berada di belenggu para penjajah. Acara Ngangsu Kaweruh hanyalah wujud kecil demokrasi yang ada di dalam ajaran masyarakat Samin. Dari balik hutan jati inilah, IDN Times menggali bagaimana Komunitas Samin merawat kebangsaan serta menjaga obor demokrasi.

Baca Juga: Merawat Kebangsaan dari Balik Hutan Jati

Hingga generasi kelima, ajaran itu lestari

Kisah dari Timur Jawa, Menjaga Indonesia Lewat Tradisi dan BudayaTokoh penerus ajaran Samin, Bambang Sutrisno (kiri) saat memakaikan udeng kepada dosen ISI Yogyakarta, Sugeng Wardoyo. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Saat ini, Komunitas Samin sudah memasuki generasi kelima. Di bawah kepemimpinan Bambang Sutrisno, semua ajaran dari kakek buyutnya masih terjaga. Kakek buyut Samin dari generasi ke generasi, antara lain Surosentiko Samin yang wafat pada tahun 1914, Surokidin wafat tahun 1942, Surokarto Kamidin wafat tahun 1986 dan Hardjo Kardi wafat tahun 2023.

"Saat ini saya (Bambang) selaku anak keturunan sesepuh Samin dari Mbah Hardjo, meneruskan ajaran Samin yang pernah disampaikan sesepuh," ujarnya

Ajaran yang dimaksud Bambang ialah rukun dan gotong royong tanpa pamrih. Salah satu tujuan utama Samin itu mencari ketentraman hidup. Nah, ajaran-ajaran yang ada dari generasi ke generasi tidak disalurkan melalui buku ataupun catatan tertulis. Dalam Komunitas Samin, ajaran itu disampaikan secara lisan alias pitutur.

"Kami dari keluarga ingin melestarikan ajaran ini, entah diakui atau tidak, kami terus berusaha untuk melestarikan ini," kata Bambang.

Keinginan Bambang melestarikan ajaran Samin bak gayung bersambut. Karena masyarakat Samin mau menjalankannya tanpa ada paksaan. Ajaran yang bersumber dari pitutur itu juga sudah tertulis di Tugu Samin. Letaknya sekitar 5 kilometer sebelum masuk desa. Di tugu tersebut ada patung Surosentiko Samin dan beberapa batu bertuliskan ajaran yang dimaksud Bambang.

Terdapat empat pitutur luhur atau pesan khusus dari sesepuh Samin yang dijadikan ajaran masyarakat Samin. Pertama, laku jujur, sabar, trokal lan nerimo (berperilaku jujur, sabar, tetap berusaha dan menerima). Kedua, ojo dengki, srei, dahwen, kemeren, pekpinek barange liyan (jangan dengki, sirik, berbuat jahat, iri hati, mengambil barang yang bukan miliknya).

Ketiga, ojo mbedo mbedakne sapodo padaning urip, kabeh iku sedulure dewe (jangan membeda-bedakan, semua sama layaknya saudara). Keempat, ojo waton omong, omong sing nganggo waton (jangan hanya bisa bicara, namun juga bisa membuktikan). Kelima, biso roso rumongso (bisa saling merasakan).

"Kelima pitutur itu bisa dikatakan sebuah ajaran universal, semua suku apapun pasti ada. Makanya disebut Samin, Samin itu dari kata Sami-sami Jawane (Sama-sama orang Jawa)," kata Bambang.

Nah, asal usul Samin bermula saat Surosentiko ditangkap para pribumi yang menjadi antek-antek penjajah. Kemudian Surosentiko serta leluhur Samin lainnya menggagas Sedulur Sikep. Gerakan ini merupakan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia-Belanda saat itu. Perlawanan yang dilakukan tanpa kekerasan. "Contohnya tidak membayar pajak, tidak boleh sekolah karena takut anak cucu dipengaruhi menjadi antek penjajah," jelas Bambang.

Ketika menggelorakan gerakan melawan penjajah itu, sejumlah strategi dilakukan Samin. Mulai dari pura-pura gangguan jiwa saat disuruh penjajah, kemudian menjawab dengan kode-kode. Seperti saat ditanya dari mana? Dijawab dari belakang, ketika ditanya mau ke mana? Dijawab mau ke depan. Hal ini dilakukan untuk mengelabui penjajah tanpa harus berbohong. Semua masyarakat Samin pun kompak menerapkan ajaran yang ada sampai hari ini.

Merawat warisan leluhur tanpa melawan zaman

Kisah dari Timur Jawa, Menjaga Indonesia Lewat Tradisi dan BudayaGrafis Suku Samin, Tengger, dan Osing di Jawa Timur. (IDN Times/Grafis/Mardya Shakti)

Kekompakan serta kesolidan masyarakat Samin itu masih terawat hingga kini. Tiap tahun, masyarakat Samin menggelar Festival Samin. Dalam festival ini ada berbagai rangkaiannya. Masyarakat Samin, tumplek blek menyiapkan seluruh acara adat. Masyarakat perempuan ikut masak bersama di dapur. Sementara yang laki-laki turut mendirikan tarup, menyiapkan musik dan pernak-pernik yang dibutuhkan.

Nah acara adat yang dilakukan Masyarakat Samin, mulai dari Gumbregan yang merupakan upacara selamatan yang dilakukan pemilik hewan ternak. Upacara ini biasa digelar pada pagi hari. Tahun ini pukul 06.00 WIB, Jumat (4/8/2023). Rangkaian selanjutnya ialah Umbul Dunga atau doa bersama. Dalam acara ini seluruh masyarakat melakukan doa bersama untuk meminta keselamatan serta ketenteraman hidup bersama. Umbul Dunga dilakukan pukul 19.00 WIB, Jumat (4/8/2023). Acara adat berikutnya ialah Ngangsu Kaweruh yang digelar pukul 10.00 WIB, Sabtu (5/8/2023). Dalam acara ini. Masyarakat Samin diberikan kesempatan berpendapat sekaligus mendengarkan pendapat.

"Dari dulu kegiatan ini sudah ada. Bedanya kalau dulu, Mbah Kung Hardjo mengajak doa bersama tiap Bulan Suro untuk keselamatan wilayah. Saat ini berkembang menjadi Festival Samin karena sudah diakui pemerintah. Ajaran Samin Surosentiko Bojonegoro ini sudah menjadi warisan budaya tak benda pada tahun 2019," ungkap Bambang.

Meski sudah diakui, Bambang mengungkapkan kalau masih ada saja masyarakat di luar Komunitas Samin yang tidak paham maksud ajaran yang mereka anut. Maka dari itu, dia mengajak kepada masyarakat untuk datang langsung ke Dusun Jepang. Dia sangat terbuka dengan masyarakat dari luar Samin. Bahkan, siap menjelaskan secara rinci bagaimana sejatinya Samin.

"Karena orang yang mau menanyakan tentang Samin berarti ada perhatian kepada kita. Nanti kita sampaikan sebenarnya seperti ini lho yang di sini. Kami tidak akan menyalahkan mereka," katanya.

Masyarakat Samin, sangat ramah dengan tamu-tamu yang datang ke dusun mereka. Sambutan yang super hangat langsung terpancar. Makanan yang ada di dapur dikeluarkan semua untuk sang tamu. Ada olahan umbi-umbian, nasi pecel dan sego ces khas Samin dengan bungkusan daun jati. Semua tamu seolah-olah dipaksa menikmati makanan yang ada. Masyarakat Samin mau semua tamu merasa nyaman bak pulang di rumahnya sendiri.

Keramahan serta kerukunan yang ditunjukkan masyarakat Samin ini menunjukkan kalau mereka ingin merawat kebangsaan dari hal-hal kecil.

"Kita rukun dengan tetangga sekitar itu sudah mengisi kemerdekaan dan merawat kehidupan berbangsa, misalnya anda ketemu orang terus ramah dan rukun, itu sudah bentuk merdeka dan kebangsaan. Dulu kita sesama bangsa tapi susah merdeka karena diadu domba sama penjajah, tapi akhirnya karena bisa rukun, bisa bersatu, bisa benar-benar menjadi bangsa, kemudian merdeka. Ini yang perlu dirawat," tegas Bambang.

Karena kalau tidak dirawat, kata Bambang, semua bisa terpecah belah dengan mudah. Apalagi perkembangan zaman dan teknologi saat ini banyak beredar berita bohong alias hoaks. Menurut Bambang, hoaks inilah yang mulai mengusik kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia pun mengingatkan ajaran Samin nomor empat.

"Di situlah pesan sesepuh dulu, ojo waton omong, omong sing nganggo waton (jangan hanya bisa bicara, namun juga bisa membuktikan). Ini kalau didalami maknanya luar biasa untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa," ungkap Bambang.

Tak hanya ihwal kebangsaan, masyarakat Samin di Bojonegoro ini juga menjaga obor demokrasi yang telah tertanam sejak dulu. Obor itu berupa musyawarah mufakat. Bambang bilang, masyarakat di sini memang lebih suka musyawarah untuk mencari solusi bahkan pemimpin. Namun tak menutup kemungkinan, bila pesta demokrasi tiba dengan balutan Pemilu, masyarakat Samin juga turut memeriahkannya secara antusias.

"Kalau di sini sejak dari mbah-mbah kami diutamakan musyawarah mufakat berupa rembukan. Karena menyelesaikan (masalah) kita harus komunikasi. Kalau untuk demokrasi, dari sesepuh dulu tidak pernah memaksakan kehendak. Dalam artian misal ajaran Samin, orangtua beri pitutur ke anak itu wajib. Toh, nanti dilaksanakan atau tidak, itu tergantung pribadi masing-masing. Itu kan juga bisa diartikan ke demokrasi, di keluarga saja tidak pernah ada paksaan apalagi ke Pemilu." kata Bambang.

Baca Juga: Akal Budi Kebangsaan Masyarakat Tengger di Desa Ngadas

Tengger ajarkan tentang Indonesia dari lingkup kecil

Kisah dari Timur Jawa, Menjaga Indonesia Lewat Tradisi dan BudayaChandra (kanan) bersama masyarakat Tengger Desa Ngadas. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Sama halnya Samin, Suku Tengger yang tinggal di kawasan Gunung Semeru – Bromo juga merawat kebangsaannya dengan cara mereka. Kearifan lokal yang tiada dua. Tetap berpaku pada norma, tak meninggalkan nilai budaya, bahkan memegang teguh lima poin yang ada di dalam Pancasila.

Dalam terpaan angin yang dingin di lereng Gunung Bromo, tampak hiasan merah putih berkibar-kibar di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Hiasan untuk menyambut peringatan Kemerdekaan Indonesia itu bersanding dengan hiasan adat dari janur dan kain berwarna kuning cerah. Warga Tengger di Desa Ngadas tengah merayakan Hari Raya Karo berbarengan riuhnya perayaan peringatan diproklamirkannya Indonesia.

Selama 14 hari warga yang mayoritas petani kentang itu libur dari tugas-tugas di kebun. Masyarakat yang khas dengan udeng dan berselimut kain sarung itu berkumpul di desa. Mereka menyajikan aneka makanan dan minuman manis di tiap-tiap rumah untuk menjamu tamu. Masyarakat lokal maupun wisatawan dipersilakan masuk dan diwajibkan mencicipi masakan si tuan rumah.

Desa Ngadas dikenal dengan desa empat agama yang saling hidup rukun. Dalam satu rumah, sudah biasa ada lebih dari satu agama yang dipeluk anggota keluarganya. Oleh karena itu, sangat amat pantas desa itu disebut sebagai blueprint Bangsa Indonesia. Bukan masyarakat Tengger yang belajar tentang Indonesia, tapi Bangsa Indonesia sendiri yang patut belajar dari masyarakat yang selalu setia menjaga Gunung Bromo ini.

Sejak tanggal 26 Agustus 2023, Dukun Sepuh Desa Ngadas, Sutomo sudah sibuk mengurus persiapan upacara adat. Setiap pagi hingga sore, ia memakai udeng dan baju serba hitam yang dibalut kain panjang berwarna kuning cerah pada bagian dada dan punggung. Ia berkeliling satu demi satu rumah warga tanpa terkecuali, di depan sesajian yang sudah dipersiapkan pemilik rumah, mulutnya komat-kamit melantunkan doa-doa dan puji-pujian pada leluhur.

Ternyata ini merupakan bagian dari hari raya yang khusus dirayakan masyarakat Tengger, Hari Raya Karo. Karena ini adalah hari raya adat, perayaan ini tidak terikat dengan agama apapun. Dan ini selalu dilaksanakan di bulan kedua penanggalan Jawa, oleh karena itu dinamakan Karo (bahasa jawa: Kedua).

"Urutan upacara yang dilakukan mulai dari pring pitu pertama, mepek, ngaturi (diikuti acara tayuban), prepegan, tumpeng gede, sesanti, roan, ping pitu, dan puncaknya pada sadranan. Semua proses ini dilakukan selama 14 hari dari tanggal 26 Agustus 2023 sampai 8 September 2023," jelas Sutomo.

Upacara ini tidak selalu dilaksanakan pada bulan Agustus. Karena masyarakat Tengger menggunakan penanggalan Jawa dalam kehidupan sehari-hari, jadi Hari Raya Karo jadwalnya akan selalu bergeser kalau mengikuti penanggalan Masehi.

Sikap gotong royong warga Tengger akan terlihat jelas saat upacara Karo. Bahkan saat Upacara Hari Raya Karo, kepala desa tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun. Justru warga desa yang iuran untuk kegiatan-kegiatan mulai dari tayuban dan lain-lain.

"Kadang ada sumbangan dari pihak luar desa, tapi seringkali ditolak oleh warga. Karena masyarakat sini sudah merasa mampu untuk membiayai. Karena kita takut kegotongroyongan ini hilang kalau tidak melibatkan masyarakat sendiri," kata pria paruh baya ini.

Osing merangkul semua keyakinan lewat bacaan rutinan

Kisah dari Timur Jawa, Menjaga Indonesia Lewat Tradisi dan BudayaMocoan Lontar Yusuf sebagai ritual pembuka pada launching Pesinauan-Sekolah Adat Osing. IDN Times/Dok Pemkab Banyuwangi

Bergeser ke masyarakat paling timur Pulau Jawa. Lengser gema azan Isya, belasan warga di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, sudah berkumpul. Pada Selasa 3 September 2023 lalu, Romi Irwansyah (23) pemuda setempat, berjalan menuju salah satu rumah tetangganya. Di sebuah persimpangan, Romi berhenti dan menyulut sebatang rokok. Ia menunggu temannya untuk berangkat bersama.

Malam itu, Romi hendak menghadiri kegiatan Mocoan Lontar Yusuf Banyuwangi. Mirip kegiatan istighosah atau pengajian di kampung-kampung, mocoan lontar ini juga merupakan rutinitas mingguan masyarakat setempat. Lepas sendal jepit, Romi masuk ke rumah Wagiman. Di sana, belasan warga kombinasi aneka usia duduk bersila, berjajar beralaskan tikar.

"Hampir saja telat," dalam hati Romi berkata, sembari menyalami satu per satu mereka yang hadir lebih dulu.

Di antara belasan orang itu, Romi melihat wajah-wajah yang sama setiap pekan ia jumpai. Salah satunya Wawan, teman masa kecilnya yang beragama non-muslim. Dalam tradisi ini, warga Osing sejak dulu sudah 'lunas' dengan istilah perbedaan keyakinan. Tak peduli apa yang dipeluknya, kelompok mereka terfokus bagaimana merawat budaya dan ikhtiar pelestariannya.

Lontar Yusuf ini dapat dikatakan sebagai bentuk puisi tradisional namun bukan seperti macapat dalam budaya Jawa. Adapun naskah yang beredar saat ini  salinan dari manuskrip asli, kemudian disalin dan dalam wujud kitab bertuliskan huruf Arab atau aksara Pegon yang dikenal suku Osing sejak Islam masuk ke Banyuwangi.

Pukul tujuh lebih enambelas menit, mocoan lontar dimulai. Lembut berayunan, suara lantunan mereka terdengar merdu meskipun tanpa pengeras alat-alat elektronika. Naskah Lontar Yusuf yang hendak dibaca diletakkan di atas bantal. Sebagai sebuah laku ritual, mocoan ini juga memiliki pakem dan perangkat khusus yang bukan sekadar pembacaan pada umumnya.

"Ya ta rawuhe Jabra'il angucaping rasul ika mawa surat Yusup age. Serawuhigreng ayunan tumulya tur peranata. Punika jeng surat Yusup nugerahaning Yang mering tuwan," begitu bunyi salah satu potongan pupuh dalam mocoan lontar Banyuwangi yang dilantunkan Romi.

Lontar Yusuf digunakan sebagai perantara doa kepada Sang Pencipta. Dinamakan Lontar Yusuf karena sebelum ada kertas, kisah Nabi Yusuf ditulis di daun lontar. Mocoan Lontar Yusuf merupakan tradisi yang erat dengan kehidupan spiritualitas warga suku Osing dan terus dilestarikan hingga saat ini. 

Masing-masing orang yang datang, silir bergantian melantunkan isi tulisan lontar Yusuf. Secangkir kopi yang dipanen dari kebun sendiri, serta aneka jajanan pasar melengkapi romansa kebersamaan malam itu. Hingga tengah malam, separuh larik dari 593 bait isi lontar Yusuf rampung dilantunkan. 

Terdapat 12 pupuh, 593 bait, dan 4.366 larik di dalam Lontar Yusuf. Jenis pupuh dalam Lontar Yusuf ada empat yaitu kasmaran, durma, sinom dan pangkur. Setiap bagiannya memiliki serat makna tersendiri gambaran tentang kehidupan manusia.

Terlepas dari itu semua, tradisi yang ada di Osing ini merangkul semuanya. Tidak hanya untuk satu agama atau keyakinan. Tapi juga diikuti berbagai agama. Bagi mereka yang memang percaya dengan nilai-nilai luhur Osing.

Adat istiadat menjadi benteng dari kepentingan politik dan ekonomi

Kisah dari Timur Jawa, Menjaga Indonesia Lewat Tradisi dan BudayaPimpinan Desa Ngadas dan tokoh masyarakat Suku Tengger saat Upacara Karo (IDN Times/Ardiansyah Fajar)

Adat istiadat yang dirawat Suku Samin, Tengger dan Osing di Jawa Timur ini menjadi miniatur positif bagi Indonesia. Menurut Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Prof Bagong Suyanto, nilai-nilai luhur originalitas Indonesia itu artinya tidak luntur di dalam komunitas masyarakat pedalaman. “Karena, ciri-ciri masyarakat adat sudah memang seharusnya seperti itu,” ujarnya.

Karena dengan tetap menjaga tradisi yang ada, secara tidak langsung para masyarakat adat ini menumbuhkan solidaritas antar sesama. Dari sinilah, perpecahan dapat diminimalisir sedini mungkin. “Dengan adat istiadat dan tradisi itu membuat soliditas semakin kuat,” ucap Bagong.

Terlebih, sambung guru besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini, masyarakat adat cenderung tidak terikat dengan relasi kontraktual maupun komersial. Sehingga, apa yang dijalankan untuk melestarikan tradisi yang ada sejak zaman dulu itu, dengan swadaya. Ikhlas.

“Relasinya belum bergeser ke kontraktual dan komersial, mereka masyarakat adat tidak terkontaminasi hal-hal seperti itu,” kata dia. “Mereka relatif steril dari kepentingan politik dan ekonomi,” Bagong melanjutkan.

Namun secara umum, Bagong mengungkap kalau fenomena saat ini, masyarakat adat yang ada khususnya di Jatim masih dalam kondisi tarik ulur dengan perubahan yang ada. Seperti modernisasi yang mulai mempengaruhi kondisi sosial mereka. Tapi, sebagian dari mereka masih kukuh membawa bingkai kearifan lokal itu sebagai wujud mikro Bangsa Indonesia.

Baca Juga: Mengenal Masyarakat Suku Osing Banyuwangi, Populasinya Tersebar 

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya