Merawat Kebangsaan dari Balik Hutan Jati

Kisah masyarakat Samin Bojonegoro di tengah modernisasi

Bojonegoro, IDN Times – Alunan gambang di bawah tarup bernuansa merah dan putih, menyatu dengan panasnya dusun di tengah hutan jati. Sang pemain tampak fokus mengarahkan tangannya untuk memukul tiap potong bambu, agar menghasilkan suara yang merdu. Sementara tamu-tamu mulai mengambil tempat untuk duduk di tikar maupun terpal yang disediakan. Mereka yang datang, semuanya duduk di bawah. Bersimpuh dan bersila.

Panggung berlatar belakang hitam di Balai Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro perlahan terisi beberapa tokoh. Mulai dari tokoh adat, tokoh masyarakat, budayawan, sastrawan hingga cendikiawan. Mereka kompak memakai pakaian serba hitam dengan balutan batik dan udeng obor sewu. Mereka bersiap untuk ikut urun rembuk dalam musyawarah mufakat bertajuk Ngangsu Kaweruh Samin bertema “Nunggak Semi” pada Sabtu (5/8/2023). Suatu gelaran tahunan yang digelar Komunitas Samin yang tinggal di tengah hutan jati Bojonegoro.

Para tokoh yang duduk di panggung bukan bertindak sebagai narasumber. Justru mereka menjadi pendengar. Tamu-tamu yang hadir menjadi narasumbernya. Mereka tidak hanya dari unsur warga masyarakat Komunitas Samin saja. Melainkan juga dari luar dusun, bahkan luar kabupaten/kota. Ada kepala sekolah, pelajar, mahasiswa, perwakilan komunitas seni dan budaya maupun duta pariwisata.

Rembukan dua jam, pukul 10.00 – 12.00 WIB, berlangsung gayeng. Pembawa acara menjelaskan tema Nunggak Semi. Yaitu, tentang ajaran Samin yang tak pernah padam. Meski, tokoh-tokoh pendahulunya telah wafat. Seolah pohon yang tertebang, namun selalu tumbuh atau bersemi kembali. Tumbuhnya kini membutuhkan masukan masyarakat modern, agar Samin tak tergerus zaman. Supaya tetap bisa eksis di masa sekarang sampai masa depan.

Urun rembuk di tiap musyawarah untuk mendapatkan hasil yang mufakat sudah lama dilakukan Komunitas Samin di Bojonegoro. Sejak Indonesia belum merdeka, sejak negeri ini berada di belenggu para penjajah. Acara Ngangsu Kaweruh hanyalah wujud kecil demokrasi yang ada di dalam ajaran masyarakat Samin. Dari balik hutan jati inilah, IDN Times menggali bagaimana Komunitas Samin merawat kebangsaan serta menjaga obor demokrasi.

Sejarah singkat Samin dan ajaran dari leluhur

Merawat Kebangsaan dari Balik Hutan JatiTokoh penerus ajaran Samin, Bambang Sutrisno (kiri) saat memakaikan udeng kepada dosen ISI Yogyakarta, Sugeng Wardoyo. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Saat ini, Komunitas Samin sudah memasuki generasi kelima. Di bawah kepemimpinan Bambang Sutrisno, semua ajaran dari kakek buyutnya masih terjaga. Kakek buyut Samin dari generasi ke generasi. Antara lain Surosentiko Samin yang wafat pada tahun 1914, Surokidin wafat tahun 1942, Surokarto Kamidin wafat tahun 1986 dan Hardjo Kardi wafat tahun 2023. "Saat ini saya (Bambang) selaku anak keturunan sesepuh Samin dari Mbah Hardjo, meneruskan ajaran Samin yang pernah disampaikan sesepuh," ujarnya kepada IDN Times.

Ajaran yang dimaksud Bambang ialah rukun dan gotong royong tanpa pamrih. Salah satu tujuan utama Samin itu mencari ketenteraman hidup. Nah, ajaran-ajaran yang ada dari generasi ke generasi tidak disalurkan melalui buku ataupun catatan tertulis. Dalam Komunitas Samin, ajaran itu disampaikan secara lisan alias pitutur.

"Kami dari keluarga ingin melestarikan ajaran ini, entah diakui atau tidak, kami terus berusaha untuk melestarikan ini," kata Bambang.

Keinginan Bambang melestarikan ajaran Samin bak gayung bersambut. Karena masyarakat Samin mau menjalankannya tanpa ada paksaan. Ajaran yang bersumber dari pitutur itu juga sudah tertulis di Tugu Samin. Letaknya sekitar 5 kilometer sebelum masuk desa. Di tugu tersebut ada patung Surosentiko Samin dan beberapa batu bertuliskan ajaran yang dimaksud oleh Bambang.

Terdapat empat pitutur luhur atau pesan khusus dari sesepuh Samin yang dijadikan ajaran masyarakat Samin. Pertama, laku jujur, sabar, trokal lan nerimo (berperilaku jujur, sabar, tetap berusaha dan menerima). Kedua, ojo dengki, srei, dahwen, kemeren, pekpinek barange liyan (jangan dengki, sirik, berbuat jahat, iri hati, mengambil barang yang bukan miliknya).

Ketiga ojo mbedo mbedakne sapodo padaning urip, kabeh iku sedulure dewe (jangan membeda-bedakan, semua sama layaknya saudara). Keempat, ojo waton omong, omong sing nganggo waton (jangan hanya bisa bicara, namun juga bisa membuktikan). Kelima, biso roso rumongso (bisa saling merasakan).

"Kelima pitutur ini bisa dikatakan sebuah ajaran universal, semua suku apapun pasti ada. Makanya disebut Samin, Samin itu dari kata Sami-sami Jawane (Sama-sama orang Jawa)," kata Bambang.

Nah, asal usul Samin bermula dari Surosentiko ditangkap oleh pribumi yang menjadi antek-anteknya penjajah. Kemudian Surosentiko serta leluhur Samin lainnya mengagas Sedulur Sikep. Gerakan ini merupakan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia-Belanda saat itu. Perlawanan yang dilakukan tanpa kekerasan. "Contohnya tidak membayar pajak, tidak boleh sekolah karena takut anak cucu dipengaruhi menjadi antek penjajah," jelas Bambang.

Ketika menggelorakan gerakan melawan penjajah itu, sejumlah strategi dilakukan Samin. Mulai dari pura-pura gangguan jiwa saat disuruh penjajah, kemudian menjawab dengan kode-kode. Seperti saat ditanya dari mana? Dijawab dari belakang, ketika ditanya mau ke mana? Dijawab mau ke depan. Hal ini dilakukan untuk mengelabui penjajah tanpa harus berbohong. Semua masyarakat Samin pun kompak menerapkan ajaran yang ada sampai hari ini.

Baca Juga: Petilasan Mbah Kopek Banyuwangi, Surga Air di Musim Kemarau

Acara adat dibungkus dalam Festival Samin yang sarat akan makna

Merawat Kebangsaan dari Balik Hutan JatiPemukul gambang di acara Festival Samin 2023. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Kekompakan serta kesolidan masyarakat Samin itu masih terawat hingga kini. Tiap tahun, masyarakat Samin menggelar Festival Samin. Dalam festival ini ada berbagai rangkaiannya. Masyarakat Samin, tumplek blek menyiapkan seluruh acara adat. Masyarakat perempuan ikut masak bersama di dapur. Sementara yang laki-laki turut mendirikan tarup, menyiapkan musik dan pernak-pernik yang dibutuhkan.

Nah acara adat yang dilakukan Masyarakat Samin, mulai dari Gumbregan yang merupakan upacara selamatan yang dilakukan pemilik hewan ternak. Upacara ini biasa digelar pada pagi hari. Tahun ini pukul 06.00 WIB, Jumat (4/8/2023). Rangkaian selanjutnya ialah Umbul Dunga atau doa bersama. Dalam acara ini seluruh masyarakat melakukan doa bersama untuk meminta keselamatan serta ketenteraman hidup bersama. Umbul Dunga dilakukan pukul 19.00 WIB, Jumat (4/8/2023). Acara adat berikutnya ialah Ngangsu Kawruh yang digelar pukul 10.00 WIB, Sabtu (5/8/2023). Dalam acara ini. Masyarakat Samin diberikan kesempatan berpendapat sekaligus mendengarkan pendapat.

"Dari dulu kegiatan ini sudah ada. Bedanya kalau dulu, Mbah Kung Hardjo mengajak doa bersama tiap Bulan Suro untuk keselamatan wilayah. Saat ini berkembang menjadi Festival Samin karena sudah diakui pemerintah. Ajaran Samin Surosentiko Bojonegoro ini sudah menjadi warisan budaya tak benda pada tahun 2019," ungkap Bambang.

Meski sudah diakui, Bambang mengungkapkan kalau masih ada saja masyarakat di luar Komunitas Samin yang tidak paham maksud ajaran yang mereka anut. Maka dari itu, dia mengajak kepada masyarakat untuk datang langsung ke Dusun Jepang. Dia sangat terbuka dengan masyarakat dari luar Samin. Bahkan, siap menjelasakan secara rinci bagaimana sejatinya Samin.

"Karena orang yang mau menanyakan tentang Samin berarti ada perhatian kepada kita. Nanti kita sampaikan sebenarnya seperti ini lho yang di sini. Kami tidak akan menyalahkan mereka," katanya.

Masyarakat Samin, sangat ramah dengan tamu-tamu yang datang ke dusun mereka. Sambutan yang super hangat langsung terpancar. Makanan yang ada di dapur dikeluarkan semua untuk sang tamu. Ada olahan umbi-umbian, nasi pecel dan sego ces khas Samin dengan bungkusan daun jati. Semua tamu seolah dipaksa menikmati makanan yang ada. Masyarakat Samin mau semua tamu merasa nyaman bak pulang di rumahnya sendiri.

Samin dan ajarannya tetap eksis, tak tergerus zaman

Merawat Kebangsaan dari Balik Hutan JatiKeakraban dan keramahan di rumah sesepuh Samin. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Keramahan serta kerukunan yang ditunjukkan masyarakat Samin ini menunjukkan kalau mereka ingin merawat kebangsaan dari hal-hal kecil.

"Kita rukun dengan tetangga sekitar itu sudah megisi kemerdekaan dan merawat kehidupan berbangsa, misalnya anda ketemu orang terus ramah dan rukun, itu sudah bentuk merdeka dan kebangsaan. Dulu kita sesama bangsa tapi susah merdeka karena diadu domba sama penjajah, tapi akhirnya karena bisa rukun, bisa bersatu, bisa benar-benar menjadi bangsa, kemudian merdeka. Ini yang perlu dirawat," tegas Bambang.

Karena kalau tidak dirawat, kata Bambang, semua bisa terpecah belah dengan mudah. Apalagi perkembangan zaman dan teknologi saat ini banyak beredar berita bohong alias hoaks. Menurut Bambang, hoaks inilah yang mulai mengusik kehidupan berbangsa dan bernegara. Dia pun mengingatkan ajaran Samin nomor empat.

"Di situlah pesan sesepuh dulu, ojo waton omong, omong sing nganggo waton (jangan hanya bisa bicara, namun juga bisa membuktikan). Ini kalau didalami maknanya luar biasa untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa," ungkap Bambang.

Tak hanya ihwal kebangsaan, masyarakat Samin di Bojonegoro ini juga menjaga obor demokrasi yang telah tertanam sejak dulu. Obor itu berupa musyawarah mufakat. Bambang bilang, masyarakat di sini memang lebih suka musyawarah untuk mencari solusi bahkan pemimpin. Namun tak menutup kemungkinan, bila pesta demokrasi tiba dengan balutan Pemilu, masyarakat Samin juga turut memeriahkannya secara antusias.

"Kalau di sini sejak dari mbah-mbah kami diutamakan musyawarah mufakat berupa rembukan. Karena menyelesaikan (masalah) kita harus komunikasi. Kalau untuk demokrasi, dari sesepuh dulu tidak pernah memaksakan kehendak. Dalam artian misal ajaran Samin, orangtua beri pitutur ke anak itu wajib. Toh, nanti dilaksanakan atau tidak, itu tergantung pribadi masing-masing. Itu kan juga bisa diartikan ke demokrasi, di keluarga aja tidak pernah ada paksaan apalagi ke Pemilu." kata Bambang.

Meski dalam satu komunitas masyarakat Samin, sambung dia, tidak ada arahan khusus untuk memilih calon tertentu. "Kita juga memberi kebebasan, hak memilih itu kan mereka yang menentukan. Jadi, mbah-mbah dulu tidak pernah memaksakan harus ikut saya, harus ikut beliau. Tidak. Itulah yang jadi patokan kita yang sama, yaitu bebas dan rahasia,” ungkap dia. "Kalau ada Pemilu di sini pasti antusias," imbuh Bambang.

Turut dirasakan generasi muda dari luar komunitas, punya daya tarik wisata

Merawat Kebangsaan dari Balik Hutan JatiMahasiswa ISI Yogyakarta, Senja (20) ikut hadir dalam Ngangsu Kawruh Samin 2023. IDN Times/Ardiansyah Fajar.

Antusiasme masyarakat Samin dalam merawat kebangsaan dan menjaga obor demokrasi dengan balutan kearifan lokal turut dirasakan oleh mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Senja Mendi Pangestu. Dia melihat Samin tumbuh dari nilai-nilai adat Jawa. Nilai-nilai luhur yang ada di dalam ajaran Samin menurutnya sangat bagus. "Menurut saya, nilai-nilai ini yang akan menuntun anak muda menghadapi era modernisasi yang terus tergerus dengan budaya modern," katanya.

Terlebih, sambung remaja berusia 20 tahun ini, nilai-nilai kebangsaan yang diperlihatkan oleh masyarakat Samin beserta ajarannya. "Kalau untuk melihat nilai-nilai kebangsaan, tentunya sangat tercermin di sini. Sikep Samin itu tidak menyampingkan kebangsaan, akan tetapi dari Samin kita berangkat untuk terwujudnya keadilan di negara Indonesia. Musyawarah mufakat di sini sudah tampak terjadi secara turun temurun," ungkap Senja.

Penilaian Senja ternyata diamini oleh Kepala Desa (Kades) Margomulyo, Nuryanto yang mengakui kalau masyarakat Samin di Dusun Jepang sangat berperan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sikap gotong royong dan musyawarah mufakat masih dijunjung tinggi oleh komunitas yang terdiri dari sekitar 75 Kepala Keluarga (KK) ini.

"Saling bantu membantu, bahkan tidak ada perbedaan, dari kerja bakti, kerja sama itu saling menyatu. Tidak ada pembeda antara masyarakat Samin dengan masyarakat biasa," kata Nuryanto. Diketahui warga Dusun Jepang ada 250 KK. Tidak semuanya Samin. Hanya sekitar 75 KK Samin. "Tapi semuanya membaur jadi satu, program pemerintah yang masuk dusun sini meski di tengah hutan letaknya, selalu dilaksanakan. Termasuk bayar pajak," ungkap dia.

Lantaran eksistensi Samin semakin melejit. Kades Nuryanto berencana membuat Desa Wisata Samin. "Kami berupaya menciptakan desa wisata berbasis budaya, di antaranya ada beberapa spot wisata yang ada. Pemerintah desa menyediakan homestay yang sifatnya rumahan, menjadi satu dengan satu kamar dilengkapi MCK dan UMKM yang memadai," kata dia. Pembahasan Desa Wisata Samin in juga mencuat di acara Ngangsu Kawruh. Seluruhnya menyambut antusias rencana tersebut.

Terlepas dari itu rencana-rencana yang ada, Bambang berpesan agar seluruh masyarakat tidak hanya masyarakat adat tapi juga seluruh masyarakat di Indonesia untuk menjaga persatuan dan kesatuan yang telah ada saat ini. Ajaran-ajaran Samin, kata dia, sangat boleh dipakai oleh semua warga masyarakat. Karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya untuk umum. Tidak ada pengkhususan.

"Kita sudah diajarkan jujur, sabar, trokal dan nerimo. Itu kan dasar. Kemudian ojo waton omong, omong sing nganggo waton (jangan hanya bisa bicara, namun juga bisa membuktikan). Kemudian ojo mbedo mbedakne sapodo padaning urip, kabeh iku sedulure dewe. Jadi inti Saminnya tidak boleh membeda-bedakan. Apapun latar belakangnya, tujuannya sama yaitu hidup rukun. Karena sekali membedakan, itu akan melunturkan batas kerukunan. Kemudian roso rumongso, kalau dicubit rasanya sakit jangan melakukan hal itu. Gitu aja, simpel. Hidup gak usah dibikin susah," pesan Bambang.

Ajaran masyarakat Samin menembus batas

Merawat Kebangsaan dari Balik Hutan JatiGubes Sosiologi Unair, Prof Bagong Suyanto. Dok. Humas Unair.

Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Prof Bagong Suyanto menilai, masyarakat Samin memang identik sekaligus mempercayai ajaran yang diturunkan oleh leluhurnya. Ajaran yang dianut masyarakat Samin itu masih kukuh dengan balutan tradisi dan adat istiadat. Namun, tetap relevan dengan kehidupan masa kini.

Prof Bagong bilang, ada beberapa faktor yang mempengaruhi lestarinya ajaran Samin. Selama kearifan lokal yang ada di wilayah sana belum terintervensi kekuatan komersial maupun politik, maka akan lestari hingga kelak nanti. "Itu yang membuat kenapa soliditas masyarakat adat cenderung lebih kuat," kata dia.

"Karena relasinya belum tergeser ke relasi yang lebih kontraktual, relasi komersial, itu mereka tidak terkontaminasi hal-hal seperti itu," ucap dia melanjutkan.

Prof Bagong melihat, masyarakat Samin relatif steril dari kepentingan politik dan ekonomi. Masyarakat Samin mampu berdikari, menghidupi dirinya meski tinggal di tengah hutan. Mereka bahkan tidak pernah meminta-minta bantuan kepada pemerintah. Tapi jika diberi bantuan, maka bantuan itu akan dijaga serta dimanfaatkan sebaik mungkin.

"Mereka relatif steril dari kepentingan politik dan ekonomi. Kalau relasinya sudah terkontaminasi pola hubungan yang lebih kontraktual dan komersial, biasanya berubah. Tapi masyarakat Samin komunitas yang tidak terpengaruh pola-pola yang ada," kata dia.

Prof Bagong meyakini masyarakat Samin akan tetap lestari. Ajarannya akan tetap diterapkan dalam kehidupan dalam komunitas mereka. Bahkan, bisa ditularkan kepada masyarakat luas. Karena ajaran berupa pitutur luhur itu sangat berguna bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Baca Juga: Para Penangkap Asap di Tengah Kepungan Wisatawan

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya