Akal Budi Kebangsaan Masyarakat Tengger di Desa Ngadas

Cerita nilai kebangsaan dari lereng Gunung Bromo

Malang, IDN Times - Dalam terpaan angin yang dingin di lereng Gunung Bromo, tampak hiasan merah putih berkibar-kibar di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Hiasan untuk menyambut peringatan Kemerdekaan Indonesia itu bersanding dengan hiasan adat dari janur dan kain berwarna kuning cerah. Warga Tengger di Desa Ngadas tengah merayakan Hari Raya Karo berbarengan riuhnya perayaan peringatan diproklamirkannya Indonesia.

Selama 14 hari warga yang mayoritas petani Kentang itu libur dari tugas-tugas di kebun. Masyarakat yang khas dengan udeng dan berselimut kain sarung itu berkumpul di desa. Mereka menyijikan aneka makanan dan minuman manis di tiap-tiap rumah untuk menjamu tamu. Masyarakat lokal maupun wisatawan dipersilakan masuk dan diwajibkan mencicipi masakan si tuan rumah.

Desa Ngadas sendiri dikenal sebagai desa dengan 4 agama yang saling hidup rukun. Dalam satu rumah, sudah biasa ada lebih dari 1 agama yang dipeluk anggota keluarganya. Oleh karena itu, sangat amat pantas desa itu disebut sebagai blueprint Bangsa Indonesia itu sendiri. Bukan masyarakat Tengger yang belajar tentang Indonesia, tapi Bangsa Indonesia sendiri yang patut belajar dari masyarakat yang selalu setia menjaga Gunung Bromo ini.

Sejarah masyarakat Tengger, bukan pelarian dari Kerajaan Majapahit

Akal Budi Kebangsaan Masyarakat Tengger di Desa NgadasChandra (kanan) bersama masyarakat Tengger Desa Ngadas. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Budayawan Malang, Chandra Irawandi menceritakan asal usul masyarakat Tengger. Menurutnya, sekitar abad 18 ada 7 orang warga Desa Ngadisari, Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo yang ingin mengubah nasib dengan membuka lahan baru. Ketika sampai wilayah punggungan lereng Gunung Bromo—yang jadi cikal bakal Desa Ngadas ini—mereka masih harus membabat hutan untuk menghasilkan pangan. Mereka sempat ingin turun ke wilayah yang lebih bawah, karena dikira di bawah lebih ramai sehingga dipandang lebih menjanjikan.

Ketika dalam perjalanan turun, ketujuh orang yang masih sekeluarga ini bertemu seorang sepuh atau kakek-kakek yang melarang mereka turun. Orang sepuh yang bernama Kakek Sedek ini menyuruh mereka naik lagi, sehingga diikutilah saran sang kakek itu.

"Kakek Sedek ini adalah tokoh spiritual, kita tidak tahu dia beragama apa. Dia memang tidak mengajak agama, tapi lebih pada tentang kehidupan, ajaran kebajikan. Sampai saat ini masih ada makam Kakek Sedek di sini," terangnya saat ditemui di Desa Ngadas pada Minggu (3/9/2023).

Mengikuti imbauan dari Kakek Sedek, ketujuh orang yang dipimpin oleh pria bernama Buyut Pang ini akhirnya kembali dan tetap mengolah lahan di punggungan lereng Gunung Bromo meskipun hasilnya tidak maksimal. Bagi mereka yang terpenting adalah cukup untuk makan. Kadang mereka sesekali juga turun untuk menukarkan hasil tani dengan kebutuhan lain. Hingga kemudian ada 2 orang dari desa lain datang untuk bergabung mengelola tanah di sana.

"Kalau kepercayaan di sini, Buyut Pang ini adalah orang sakti. Kepercayaan orang sini, ketujuh leluhur ini terbang hingga ke wilayah ini. Tapi itu bentuk mitologi dari masyarakat sini," bebernya.

Sementara nama Ngadas sendiri diambil dari tanaman bernama Adas, karena dulu sebelum dibuka menjadi sebuah desa, wilayah yang didiami warga ini merupakan hutan Adas. Tanaman ini daunnya berbentuk serabut dan bunganya berwarna kuning.

Karena jumlah penduduknya masih belum banyak, awalnya Desa Ngadas masih jadi sebuah dusun dari Desa Gubukklakah, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Kemudian pada tahun 1774 menjadi desa sendiri. Desa Gubukklakah memang lebih tua, tapi masih pada era yang sama.

Pria yang tengah menyusun buku terkait pedoman hidup masyarakat Tengger ini mengatakan kalau dasar-dasar dari masyarakat Tengger itu ada di Prasasti Muncang dan Prasasti Pananjakan. Kedua prasasti ini lebih tua dari Kerajaan Majapahit, sehingga mementahkan asumsi kalau masyarakat Tengger merupakan pelarian dari Majapahit.

"Kalau menurut Prasasti Walandit, masyarakat Tengger mendiami wilayah swatantra atau hila-hila atau wilayah yang tidak wajib memberikan pajak pada Kerajaan Medang era Mpu Sindok. Karena masyarakatnya sudah rela merawat Gunung Swayambu atau Gunung Bromo," tegasnya.

Ia bercerita kalau wilayah yang dibebaskan pajak selain hila-hila, adalah wilayah yang disebut sebagai tanah sima atau tanah yang memiliki bangunan suci. Akan tetapi hila-hila cakupannya lebih luas karena wilayahnya gunung, dan Gunung Bromo dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Sang Hyang Swayambu di mitologi Jawa.

Saat ini, Desa Ngadas telah didiami oleh 1.756 jiwa dengan 574 kepala keluarga (kk) yang tersebar di 2 dusun yaitu Dusun Jarak Ijo dan Dusun Ngadas. Mayoritas warganya merupakan pemeluk agama Buddha dengan presentase 50 persen, 40 persen Muslim, dan 10 persen Hindu. Tapi masih ada 1 warga yang memeluk agama Kristen.

Baca Juga: Merawat Kebangsaan dari Balik Hutan Jati

Upacara Karo hanya dimiliki masyarakat Tengger tidak peduli dia beragama apa

Akal Budi Kebangsaan Masyarakat Tengger di Desa NgadasSutomo saat melangsungkan upacara sesanti di salah satu rumah warga Desa Ngadas. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Sejak tanggal 26 Agustus 2023, Dukun Sepuh Desa Ngadas bernama Sutomo sudah sibuk mengurus ini itu. Setiap pagi hingga sore, ia memakai udeng dan baju serba hitam yang dibalut kain panjang berwarna kuning cerah pada bagian dada dan punggung. Ia berkeliling satu demi satu rumah warga tanpa terkecuali, di depan sesajian yang sudah dipersiapkan pemilik rumah, mulutnya komat-kamit melantunkan doa-doa dan puji-pujian pada leluhur.

Ternyata ini merupakan bagian dari hari raya yang khusus dirayakan oleh masyarakat Tengger, Hari Raya Karo. Karena ini adalah hari raya adat, perayaan ini tidak terikat dengan agama apapun. Dan ini selalu dilaksanakan di bulan kedua penanggalan Jawa, oleh karena itu dinamakan Karo (bahasa jawa: Kedua).

"Urutan upacara yang dilakukan mulai dari pringpitu pertama, mepek, ngaturi (diikuti acara tayuban), prepegan, tumpeng gede, sesanti, roan, pingpitu, dan puncaknya pada sadranan. Semua proses ini dilakukan selama 14 hari dari tanggal 26 Agustus 2023 sampai 8 September 2023," jelas Sutomo.

Sutomo mengatakan kalau upacara ini tidak selalu dilaksanakan pada bulan Agustus. Karena masyarakat Tengger menggunakan penanggalan Jawa dalam kehidupan sehari-hari, jadi Hari Raya Karo jadwalnya akan selalu bergeser kalau mengikuti penanggalan Masehi.

Ia juga mengatakan kalau sikap gotong royong warga Tengger akan terlihat jelas saat upacara Karo. Bahkan saat Upacara Hari Raya Karo, kepala desa tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun. Justru warga desa yang iuran untuk kegiatan-kegiatan mulai dari tayuban dan lain-lain.

"Kadang ada sumbangan dari pihak luar desa, tapi seringkali ditolak oleh warga. Karena masyarakat sini sudah merasa mampu untuk membiayai. Karena kita takut kegotongroyongan ini hilang kalau tidak melibatkan masyarakat sendiri," kata pria paruh baya ini.

Seluruh agama boleh ada di Desa Ngadas asalkan menjunjung tinggi hukum adat Tengger

Akal Budi Kebangsaan Masyarakat Tengger di Desa NgadasPelaksanaan upacara raon di Desa Ngadas. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Kepala Desa Ngadas, Mujianto mengatakan kalau semua agama diperbolehkan tinggal di Desa Ngadas selama tidak menggangu adat dan budaya. Ia menegaskan kalau orang yang tinggal di desanya harus mengikuti adat dan budaya, sedangkan kepercayaan adalah urusan masing-masing. Menurutnya Tengger memiliki adat dan budaya sendiri, sehingga yang hidup di sini harus mengikuti apa yang sudah ada di Tengger. Tidak peduli agamanya Islam, Budha, Hindhu, atau Kristen.

"Peraturan adat di sini sebenarnya tidak tertulis, sudah ada sejak dulu dari kesepakatan sesepuh dan para tokoh. Dan ini sudah diakui oleh masyarakat, tidak berani masyarakat melanggar," bebernya.

Ia mengungkapkan kalau tidak ada sanksi seperti denda atau yang lain di Desa Ngadas, hanya ada sanksi sosial. Misalnya ada yang melanggar adat dan tidak mau mengikuti peraturan Desa Ngadas, maka orang tersebut dipersilakan keluar dari desa. Menurutnya ini sudah menjadi kesepakatan bersama, kalau tidak mau mengikuti kesepakatan bersama ini yang marah sebenarnya adalah masyarakat sendiri.

Mujianto mengatakan kalau dulu memang ada satu masyarakat Desa Ngadas yang terpapar paham ekstrim dengan melarang adat istiadat Tengger. Satu orang itu mencoba membuat masyarakat Tengger masuk ke alirannya. Tapi masyarakat justru tidak respect, sehingga tidak ada yang mau ikut dia. Sehingga akhirnya dia tersingkir sendiri karena warga justru tidak nyaman dengan kehadirannya.

"Dia memang aslinya masyarakat sini, tapi mengajinya di luar desa. Sehingga terkena paham-paham yang seperti itu. Padahal kalau warga sini benar-benar paham filosofi udeng itu ya tidak akan terpapar. Karena agama itu adalah masing-masing yang nanti dipertanggungjawabkan individu, sesuai perbuatan masing-masing. Karena ibadah itu yang pegang raportnya itu bukan manusia. Manusia itu hanya tahu dia rajin ke masjid, pura, atau vihara, sementara kekhusukan kita tidak tahu," ucapnya.

Kerukunan beragama di Desa Ngadas bisa dilihat dari gotong royong. Baik pada saat membangun masjid sampai vihara, semua warga terlibat tidak terkecuali. Tidak hanya tenaga, tapi juga sumbangan juga diberikan.

Saking rukunnya keberagaman agamanya, pernikahan beda agama tidak pernah jadi masalah yang runyam

Akal Budi Kebangsaan Masyarakat Tengger di Desa NgadasSalah satu anak Tengger berdoa saat upacara sesanti. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Yang paling mengejutkan adalah pernikahan beda agama di Desa Ngadas bukanlah masalah serius yang bisa jadi cerita sedih di Tiktok. Ada 2 sampai 3 pemeluk agama yang berbeda dalam satu rumah adalah hal yang sangat biasa di sana. Bahkan Mujianto sendiri sebagai Kepala Desa Ngadas memiliki agama yang berbeda dengan keluarganya. Mujianto sendiri Muslim, ayahnya Budha, ibu dan adik-adiknya Hindu.

Pernikahan beda agama adalah hal biasa, tapi risikonya adalah pernikahan ini tidak diakui negara sehingga tidak mendapatkan buku nikah oleh KUA (Kantor Urusan Agama). Tapi pernikahan ini tetap bisa diproses oleh catatan sipil agar bisa dapat akta nikah, dan anaknya bisa memperoleh akta kelahiran. Sayangnya proses ini mengharuskan salah satu dari pasangan untuk mengalah sementara untuk pindah agama, hanya untuk tercatat di Dukcapil Kabupaten Malang, kemudian ia kembali ke agamanya lagi.

Sementara anak yang lahir dari pasangan beda agama nantinya akan menentukan sendiri akan memeluk agama apa saat dewasa. Biasanya mereka akan membuat keputusan penting ini pada usia jelang pernikahan antara 17-20 tahun.

Saking teguhnya warga Tengger di Desa Ngadas pada adat istiadat, mereka juga menjadi satu-satunya desa Tengger yang menolak keputusan Paruman Dukun Tengger yang mengharuskan dukun desa harus beragama Hindu. Menurut mereka dukun desa adalah dukun adat yang terikat dengan desa, bukan agama. Mereka bahkan bersikukuh tidak peduli jika tidak diakui oleh desa-desa Tengger lain.

Hampir tidak pernah ada konflik atau sengketa antar warga di Desa Ngadas

Akal Budi Kebangsaan Masyarakat Tengger di Desa NgadasPanorama gunung dan pertanian warga Tengger Desa Ngadas. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Mujianto melanjutkan jika masalah sengketa di desanya selalu dapat diselesaikan menggunakan musyawarah. Karena Desa Ngadas memiliki buku kerawangan desa untuk jadi panduan jika ada konflik antar warga. Sehingga tidak ada masyarakat yang sampai berkelahi karena tanah. Selama masyarakat berani menunjukkan bukti, mereka tinggal ajukan kepada pemerintah desa.

Masyarakat Desa Ngadas juga selalu melapor jika ada kegiatan di desa. Misalnya ada warga yang ingin membangun rumah, sebelum patok dipasang, mereka akan melapor ke pemerintah desa. Mereka melaporkan batas-batasnya mana saja, kemudian pihak pemerintah desa akan memeriksa aliran airnya dahulu agar mengalir dengan lancar. Sehingga konflik pertanahan sangat kecil di Desa Ngadas.

"Kadang mungkin di lahan pertanian, batas tanah itu berbelok karena tergerus aliran air. Atau juga dulu batas tanahnya dari pohon kecil, kemudian pohon jadi membesar sehingga membelokkan batas tanah. Itu tugas kita untuk meluruskan," tuturnya.

Bahkan masyarakat Desa Ngadas jarang yang tanahnya disertifikatkan, kalau ada jual beli hanya ada pemberitahuan kepada kepala desa dengan diikuti surat pernyataan kedua belah pihak. Dan tidak pernah terjadi sengketa karena ini.

Termasuk jika ada orang asing yang mencoba menggerogoti tanah milik warga, pemerintah desa sangat memproteksi ada modal asing yang masuk ke desanya. Kalaupun ada yang nekat, meskipun sudah melewati proses transaksi dengan memberikan sejumlah uang pada pemilik tanah, sertifikatnya tidak akan diproses oleh Pemerintah Desa Ngadas. Aturan adat memang melarang orang luar desa memiliki tanah di Desa Ngadas.

"Karena taruhannya jabatan, kalau sampai saya menerbitkan akta jual beli dengan orang luar maka saya akan dicopot. Termasuk jabatan sebagai ketua adat, karena di sini kepala desa selain sebagai kepala pemerintahan desa juga sebagai kepala adat," paparnya.

Meskipun terkesan saklek dengan adat istiadat, kesan udik atau ketinggalan jaman justru jauh dari warga Tengger di Desa Ngadas. Sepanjang mata memandang, rumah-rumah modern 2-3 lantai membentang sejauh mata memandang. Setiap warga sudah memegang gadget meskipun hanya tersedia sinyal untuk provider tertentu. Kendaraan Jeep Hardtop dan motor trail sangat lazim ditemui di tiap rumah warga, meskipun masyarakatnya lebih banyak memilih memakai motor bebek butut saat berangkat ke ladang.

Masyarakat Tengger di Desa Ngadas tidak mengenal money politic

Akal Budi Kebangsaan Masyarakat Tengger di Desa NgadasWarga Tengger Desa Ngadas saat mempersiapkan upacara sesanti. (IDN Times/Rizal Adhi Pratama)

Melihat pertikaian masyarakat terkait politik di dunia maya maupun di dunia nyata saat ini membuat bergidik. Bagaimana tidak, hubungan keluarga bisa hancur hanya karena perbedaan calon pemimpin. Masyarakat Tengger di Desa Ngadas justru tidak releate dengan kondisi ini.

Mujianto melanjutkan, jika saat pemilihan kepala desa, warga Desa Ngadas tidak mengenal yang namanya money politic. Kampanye juga dilaksanakan tanpa memasang gambar di banner atau baliho, kampanye calon kepala desa hanya dilakukan saat menyampaikan visi misi di kantor desa. Sehingga ada celotehan bahwa di Desa Ngadas, orang-orang malah malas jadi Kepala Desa.

Melihat peta politik pemilihan Kepala Desa juga sulit, soalnya baik yang menang atau yang kalah sebagai Kepala Desa sama-sama diberikan sumbangan gula oleh warga. Bukan calon Kepala Desa yang membagikan sembako, malah calonnya yang dibawakan gula setelah selesai pemilihan baik yang menang maupun yang kalah.

Tidak ada kebencian baik yang menang maupun yang kalah. Bahkan setelah pemilihan, baik yang menang atau kalah tetap bersilaturahmi ke rumahnya masing-masing. Meskipun kalah pemilihan calon kepala desa, mereka tetap akan mendukung jalannya pemerintahan desa.

"Kalau metode pemerintahan Desa Ngadas diterapkan di Indonesia, maka tidak akan ada korupsi. Karena proses kepala desa ini jadi, sama sekali tidak mengeluarkan biaya sama sekali. Karena warga juga tidak ada yang berani mendekat sebelum pemilihan kepala desa, mungkin cuma hansip yang menjaga masing-masing rumah calon," tegas Mujianto.

Kemudian ada satu tradisi unik bagi kepala desa masyarakat Tengger, Kepala desa terpilih belum sah kalau belum dilantik di upacara Mayu, jadi dia tidak boleh melaksanakan tugas terlebih dahulu meskipun sudah dilantik oleh bupati. Dalam upacara ini, kepala desa terpilih akan diberikan mandat berupa pusaka dan nama. Mujianto mendapatkan nama tambahan di belakangnya, menjadi Mujianto Mugiraharjo. Sementara pusaka yang diberikan namanya adalah Tindi Desa, bentuknya keris dan pakaian dari leluhur.

"Ada contoh waktu di Desa Ranupani dulu kepala desanya tidak mau melakukan upacara adat karena alasan kepercayaan, membuat warga tidak mau mengakui dia sebagai kepala desa. Kalau ada kegiatan adat, yang diundang ya kepala desa sebelumnya," bebernya.

Satu lagi yang unik di perpolitikan masyarakat Desa Ngadas, sepanjang mata memandang tidak ditemukan poster calon legislatif (caleg) ataupun calon presiden (capres), padahal tahun ini hingga 2024 adalah tahun politik. Ternyata ini dikarenakan yang jadi acuan masyarakat sebenarnya hanya figur, bukan partai atau gambar. 

"Misalnya dulu Rendra Kresna waktu masih di Golkar menang di sini, kemudian beliau pindah ke NasDem masih tetap menang, itu terjadi karena figur beliau yang sering datang ke sini memperhatikan masyarakat. Begitupun Jokowi meskipun dari PDIP juga menang," ucap Mujianto.

Menurut pria berkumis ini, orang-orang di Desa Ngadas sulit buat diarahkan memilih gambar. Apalagi orang-orang tua yang dihadapkan pada 4 surat suara, mereka datang ke TPS (Tempat Pemungutan Suara) hanya untuk menggugurkan kewajiban saja. Ditambah lagi kemungkinan surat suara di TPS nantinya tanpa foto, sehingga yang terpilih nanti adalah orang beruntung saja karena siapapun yang menang di Ngadas tidak akan dipedulikan.

"Kalau baliho caleg kita bukan melarang, karena itu orang cari peluang pekerjaan saja. Kita hanya jangan diberikan sebuah gambar, tapi visi misinya bagaimana. Kalau mau dekat dengan masyarakat, maka harus datang langsung," pungkasnya.

Baca Juga: Menggeliatkan Bromo Lewat Kearifan Lokal Suku Tengger

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya