Bedah Buku Bumi Lorosae, Memahami Sejarah Timor Leste-Indonesia

Surabaya, IDN Times– Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Surabaya (UNESA) menggelar diskusi dan meluncurkan buku novel 'Bumi Lorosae' di Auditorium gedung T2, Kamis (27/2) pagi, kota Surabaya. Beda buku tersebut membahas tentang sejarah Timor Leste- Indonesia yang dikemas dalam sastra.
Penulis ‘Bumi Lorosae’ Wahyuni Refi menceritakan, novel tersebut mengisahkan berbagai peristiwa penting dalam hubungan Indonesia dan Timor Leste mulai dari era kolonial Portugis, integrasi Timor Timur ke Indonesia, hingga kemerdekaan Timor Leste pada 2002 ini bukan sekadar catatan sejarah, tetapi juga cerminan perjalanan kemanusiaan yang melintasi batas negara.
“Novel ini berbicara tentang waktu sebagai tonggak sejarah bagi kedua bangsa. Kita harus menerima bahwa Indonesia dan Timor Leste ditakdirkan sebagai tetangga, sesuatu yang tidak bisa kita pilih. Tapi perjalanan saya ke Timor bukan hanya berbicara soal negara, melainkan tentang manusia,” ujar Wahyuni.
Ia menyoroti bahwa aspek kemanusiaan dalam hubungan kedua negara sering kali kurang mendapatkan perhatian. Meskipun ada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dibentuk pemerintah kedua negara. Wahyuni merasa masih banyak kisah individu yang perlu diangkat agar sejarah bisa dipahami lebih dalam.
“Perjalanan saya dari Atambua hingga 13 distrik di Timor Leste memperlihatkan bahwa ada sisi kemanusiaan yang menembus sekat-sekat politik dan sejarah. Itu yang saya coba lukiskan dalam novel ini dan bagaimana pembaca menafsirkannya nanti, itu terserah mereka,” tambahnya.
Menariknya, sebelum peluncuran resmi, novel ‘Bumi Lorosae’ sudah memicu perdebatan, bahkan di antara tim riset Wahyuni sendiri yang terdiri dari peneliti asal Indonesia dan Timor Leste.
“Pergulatan itu pasti ada dan tidak akan berhenti, tapi justru dari sana kita semakin diperkaya dan mampu melihat sejarah dengan lebih utuh,” jelas Wahyuni.
Ia juga mengungkapkan bahwa dirinya sengaja memilih format novel sebagai medium penyampaian risetnya. Menurutnya, sastra lebih mudah diakses generasi muda dan dapat menjadi jembatan pemahaman bagi pembaca untuk melihat sejarah Indonesia-Timor Leste bukan hanya dari sudut pandang politik, tetapi juga dari sisi kemanusiaan yang lebih mendalam.
Dengan hadirnya Bumi Lorosae, Wahyuni berharap generasi mendatang dapat lebih memahami kompleksitas hubungan antara Indonesia dan Timor Leste tanpa terjebak dalam luka masa lalu, melainkan dengan semangat rekonsiliasi dan kemanusiaan.
Akedimisi Sastra Unesa, Riri Rengganis mengungkapkan bahwa kesan pertama yang ia tangkap membaca novel ini dimulai dari sampul bergambar Bunda Maria. “Di sini saya lihat, yang ingin bercerita adalah perempuan. Jadi saya melihat bagaimana suara perempuan di konflik Bumi Lorosae,” kata Riri.
Dalam sebuah perang dan konflik, yang banyak menjadi korban adalah perempuan dan anak-anak. Kejahatan perang yang dilakukan oleh sistem, paling banyak menelan korban perempuan dan anak-anak. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa narasi sejarah juga harus banyak diulas oleh perempuan. Lantaran tidak banyak akademisi sejarah di Indonesia yang punya kepedulian terhadap penulisan sejarah dari sisi perempuan.
Ia mengatakan bahwa banyak konflik di negara ini berakarnya militer. Misalnya konflik 1965, reformasi 1998, hingga integrasi Timor-Timur. Ada represi orde baru terjadi di Bumi Lorosae, termasuk militer ketika menduduki Timor Timur.
“Kalau dulu kita pernah dikolonisasi Belanda. Ternyata Indonesia pernah juga melakukan kolonisasi di Timor Timur,” kata Riri.
Ia menjelaskan bahwa cerita dalam Bumi Lorosae ini unik. Perlu dibaca perlahan agar bisa memahami narasi sejarah masuknya Timor Timur ke Indonesia.
Di luar penggambaran sejarah masa lalu, aspek lain dalam novel ini yang juga dilihat oleh Riri adalah penggambaran tentang upaya-upaya rekonsiliasi. Karya sastra bukan cuma hiburan, tapi juga jadi sumber sejarah yang selama ini dalam buku-buku sejarah hanya ditulis oleh pemenang.
" Dalam buku semacam ini, kita bisa dapat sudut pandang berbeda. Sisi lain dari peristiwa sejarah, dari sisi korban, atau dari sisi pelaku. Wahyuni Refi menuliskan secara rinci, bagaimana imbas penempatan Indonesia di Timor Timur sejak 1975 sampai 1999,” kata Riri.
“Karya sastra bisa menjadi alat agar kita bisa melihat, bagaimana kekerasan di Timor Timur itu terjadi. Kita bisa menabung empati terhadap apa yang terjadi di sana,” pungkas Riri.