Tempe Gintangan Banyuwangi, Pertahankan Daun Pisang Demi Cita Rasa

Bungkus daun menghasilkan rasa lebih gurih

Banyuwangi, IDN Times - Di tengah kian banyaknya produsen tempe yang menggunakan bungkus plastik, belasan industri rumahan di Desa Gintangan, Kecamatan Blimbingsari, Kabupaten Banyuwangi masih mempertahankan kemasan bungkus daun pisang. Selain lebih ramah ingkungan, daun pisang juga mengeluarkan aroma harum.

1. Sering jadi oleh-oleh wisatawan

Tempe Gintangan Banyuwangi, Pertahankan Daun Pisang Demi Cita RasaIDN Times/ Mohamad Ulil Albab

Salah satu produsen tempe berbungkus daun pisang, Sutihat (60) mengaku tetap memiliki pelanggan yang setia membeli tempe hasil racikannya. Tidak jarang, tempe milik Sutihat juga sering dipesan untuk menjadi oleh-oleh wisatawan dari luar kota.

"Wisatawan sering membawa untuk oleh oleh dibawa ke Bali, Jakarta, Malang, Kalimantan, itu sering sudah. Katanya lebih harum, dibandingkan yang berbungkus plastik," kata Sutihat saat ditemui di rumahnya, pekan lalu.

2. Produksi sejak 1995

Tempe Gintangan Banyuwangi, Pertahankan Daun Pisang Demi Cita RasaIDN Times/ Mohamad Ulil Albab

Sutihat mengatakan, produksi tempe dengan bungkus daun pisang jenis kepok sudah dia jalani sejak tahun 1995. "Sebelumnya dari orangtua saya sudah bikin tempe, jadi turun temurun," kata Sutihat.

Sementara, untuk daun pisang jenis kepok yang digunakan, Sutihat tidak lagi mencari sendiri. Dia mengaku membelinya di pasar.

"Sampai sekarang masih ada yang jual daun pisang. Tiap hari saya bisa menghabiskan 30 ikat daun pisang, satu bendel harganya Rp1000," ujarnya.

Tiap ikat daun pisang, kata dia, bisa menghasilkan 20 bungkus tempe. Jika dihitung, dalam sehari ia mampu menghasilkan 750 bungkus per 15 kilo kedelai. Tiap bungkusnya dihargai Rp500.

Baca Juga: Bukan Sepeda, Iriana Bikin Kuis Berhadiah Tumbler di Banyuwangi

3. Hanya sanggup produksi 15 kilogram

Tempe Gintangan Banyuwangi, Pertahankan Daun Pisang Demi Cita RasaIDN Times/Mohamad Ulil Albab

Sejak pagi, Sutihat dibantu suaminya, Suhairi (70) sudah menyiapkan 15 kilogram kedelai untuk direbus. Setelah direbus, kedelai akan digiling agar terpecah menjadi dua dan menghilangkan kulit ari kedelai.

"Kalau dulu diinjek-injek di sungai, airnya masih bersih. Sekarang cukup diselep (giling) dengan mesin. Setelah itu masih saya rebus lagi biar benar-benar matang, sampai enak dimakan langsung," jelasnya.

Usai direbus kembali, kedelai akan diberi ragi agar bisa mengeras sebelum dibungkus dengan daun pisang. "Proses membungkus dibantu sama dua menantu saya, mulai sampai jam 9 malam baru selesai, jadi 15 kilo sudah kuwalahan," ujarnya. Usai dibungkus, tempe akan disimpan hingga tiga hari kemudian, baru siap dipasarkan ke pelanggan. Ini jelas berbeda dengan para produsen berbungkus plastik yang bisa memproduksi hingga satu kwintal per hari.

"Hanya pas lebaran saja pakai plastik, karena banyak sekali permintaan dan tenaga terbatas. Itu baru pakai bungkus plastik. Tapi kalau rasa jelas kalah sama yang berbungkus daun pisang, lebih harum dan gurih. Dan bisa tahan lebih lama disimpan," ujar Suhairi.

4. Menggunakan kedelai impor

Tempe Gintangan Banyuwangi, Pertahankan Daun Pisang Demi Cita RasaIDN Times/Mohamad Ulil Albab

Suhairi melanjutkan, dari dulu, para perajin tempe di Desa Gintangan selalu menggunakan kedelai impor. Selain lebih besar, kedelai impor dinilai lebih bersih dibandingkan kedelai lokal yang banyak mengeluarkan kotoran (residu).

"Pakai delai impor. Kalau lokal, kecil, kotor. Sekarang harga kedelai impor Rp 7500. Saya mulai tahun 1995 sudah pakai kedelai impor," ujarnya.

Baca Juga: Blusukan di Pasar Ponorogo, Sandiaga Temukan Tempe Seukuran Batu Bata 

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya