Tak Surut Lawan Intimidasi, Devi Athok Cari Keadilan Dua Putrinya

Dua putrinya menjadi korban tragedi Kanjuruhan

Surabaya, IDN Times - Kabar getir itu diterima Devi Athok (43), Sabtu, (1/10/2022) malam sekitar pukul 23.00 WIB. Dari ujung telepon, seorang kerabat mengabarkan bahwa putri sulungnya, Natasya Ramadani (16) alias Tasya meninggal. Ia menjadi salah satu korban jiwa kerusuhan Kanjuruhan usai laga Arema FC versus Persebaya. Devi yang kala itu masih berada di tempat kerja pun bergegas ke Kanjuruhan. Pencariannya nihil, jenazah sang anak ternyata sudah di bawa ke RS Wava Husada. 

Di rumah sakit yang terletak di Kecamatan Kepanjen itu ia menemukan jasad Tasya terbujur ditutup selimut. Hati Devi hancur. Maklum, bagi dia, Tasya adalah segalanya. Terlebih Devi pula yang mengenalkan Tasya pada Arema. Bahkan, Devi yang juga pentolan Aremania ini kerap mengajak Tasya keliling Indonesia untuk mendukung Arema FC. 

Setelah memastikan bahwa jenazah tersebut adalah Tasya, Devi kemudian mencari putri bungsunya, Naila Anggraini (14), alias Lala. Mulanya ia masih yakin Lala selamat. Namun, seorang Aremania mengajaknya ke sudut lain di selasar RS Wava Husada. Di sana, ia kembali mendapat kabar buruk. Lala, sang putri bungsu juga ikut jadi korban. 

“Perasaan saya hancur. Marah, kecewa, jadi satu. Saya sempat pingsan,” kata Devi kepada IDN Times, Jumat (18/10/2022). Ia kemudian memeluk erat jasad Lala sambil memandangi sekujur tubuh sang putri. “Jasad Lala bersih. Tak ada tanda-tanda habis terjatuh. Yang ada, mulutnya keluar busa hijau. Saya yakin Lala dibunuh pakai gas air mata,” ujarnya sambil menahan tangis. Tak jauh dari jasad Lala, ia juga sempat melihat jenazah sang mantan istri Gebi Asta (35). 

Tak Surut Lawan Intimidasi, Devi Athok Cari Keadilan Dua PutrinyaSuasana Stadion Kanjuruhan pada Senin (3/10/2022). (IDN Times/Gilang Pandutanaya)

Duka mendalam dirasakan Devi beberapa hari setelah kejadian. Meski begitu, ia sudah berjanji pada diri sendiri akan mencari keadilan bagi kedua putrinya. Langkah pertamanya adalah dengan mendatangi  Mapolsek Bululawang. Kala itu, Devi datang sendiri karena belum ada pendampingan. Percobaan pertamanya ini gagal. “Ditolak polisi, karena katanya pasalnya belum jelas. Saya akhirnya pulang,” ujarnya.

Kejadian itu sempat membuatnya berpikir untuk mundur. “Apalagi saya dengar ada Aremania diculik, diintimidasi, saya marah lah. Bahkan, saya sempat menolak donasi dari berbagai pihak.”

Di tengah keputusasaan itu, ia bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Meski sebentar, ia sempat mengutarakan keinginannya. “Saya ditanya mau apa. Saya bilang, saya cuma ingin keadilan karena polisi membantai anak saya,” ujar Devi. Mendengar keluhan itu, Jokowi hanya menjawab singkat. “Dijawab iya, sambil memberikan donasi,” ujarnya.

Kunjungan Jokowi kemudian direspons oleh Polsek Bululawang. Mereka berniat mendatangi rumah Devi untuk membahas kasus ini. Kepada polisi, Devi menegaskan hanya menerima polisi untuk silaturahim. “Tak ada kata damai. Kalau mau damai, kembalikan nyawa anak saya!”

Belajar dari pelaporan pertama yang ditolak polisi, Devi memberanikan diri untuk mencari pendampingan hukum. Ia lalu menghubungi Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Kepanjen. Dari sana, ia dipertemukan dengan advokat Malang, Imam Hidayat. Devi pun mendapat pendampingan hukum secara penuh.

Baca Juga: Autopsi dan Ekshumasi Hari Ini, TGIPF Harap Hasil Cepat Keluar  

Tak Surut Lawan Intimidasi, Devi Athok Cari Keadilan Dua PutrinyaSuasana Stadion Kanjuruhan pada Senin (3/10/2022). (IDN Times/Gilang Pandutanaya)

Merasa mendapat dukungan, pada tanggal 10 Oktober 2022, ia membuat permohonan autopsi terhadap dua jenazah putrinya. Namun, jalan terjal Devi baru saja dimulai. Beberapa hari setelah mengajukan permohonan itu, ia didatangi seorang polisi dari Polda Jawa Timur. 

“Dia mempertanyakan permohonan autopsi saya. Kok berani, padahal keluarga istri yang di Wajak gak mengajukan autopsi. Tapi saya bilang ini urusan pribadi saya,” kata Devi. Sejak tahun 2013, Devi memang berpisah dengan mantan istrinya, Gebi. Kedua anaknya pun sejak itu ikut dengan Gebi di Kecamatan Wajak. Sementara Gebi belakangan menikah lagi dan memiliki satu orang anak. 

Tanggal 12-14 Oktober adalah salah satu masa-masa sulit baginya dalam memperjuangkan keadilan bagi Lala dan Tasya. Ia mengaku mendapat banyak teror dari orang tak dikenal. Mereka mendatangi rumah Devi. Salah satunya bahkan menyampaikan kata intimidatif.

“Kamu gak sayang keluargamu?” kata Devi menirukan ucapan orang yang tak kenalnya itu.  “Saya cuma jawab ‘ya pak’.” 

Di hari lain, seseorang tak dikenal bahkan menguntitnya saat hendak berbelanja. “Katanya, saya jangan macam-macam,” ujarnya. Selain intimidasi verbal, Devi mengaku kerap melihat orang mencurigakan yang menunggunya keluar dari rumah.

Banyaknya teror ini pula yang membuat keluarganya ikut khawatir. Sang ibu bahkan terang-terangan memintanya untuk tak lagi meneruskan permohonan autopsi. Di sisi lain, ia juga merasa berjuang sendiri karena korban lain dan Aremania saat itu belum ada yang mengajukan laporan ke polisi. 

Pada tanggal 17 Oktober, Devi akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa ia tak mampu lagi memperjuangkan kasus ini. Musababnya tak lain adalah intimidasi yang datang nyaris tiap hari. “Saya mencabut permohonan autopsi karena banyak pihak yang intimidasi. Saya ini rakyat, pasti kalah soal beginian.”

Baca Juga: Enam Dokter Forensik Lakukan Ekshumasi dan Autopsi Korban Kanjuruhan 

Kesaksian Devi sendiri beberapa kali dibantah oleh polisi, salah satunya Kapolda Jawa Timur, Kapolda Jatim, Irjen Pol Toni Harmanto. Ia mengatakan bahwa autopsi dua korban Kanjuruhan sempat batal dilakukan karena penolakan keluarga. Ia membantah jika pembatalan ini karena adanya intimidasi dari pihak kepolisian. "Itu tidak benar. Semua bisa diketahui publik informasi-informasi itu," ujarnya, usai menjenguk korban di RS Saiful Anwar Malang, Rabu, (20/10/2022).

Tiga hari setelah mencabut permohonan itu, ia dikunjungi oleh seorang anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), Irjen Armed Wijaya. Dari pembicaraan itu muncul keputusan untuk kembali mengajukan permohonan autopsi. Salah satu syarat yang diajukan Devi itu adalah tim autopsi harus dari tim independen, bukan polisi. 

Oleh Imam Hidayat, sang pengacara, ia juga kemudian diusulkan untuk mendapatkan pendampingan secara melekat dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).  “Saya akhirnya buat pernyataan permohonan autopsi lagi tanggal 22,” ujar Devi.

Namun, pendampingan LPSK nyatanya tak membuat ia berhenti menerima teror. Tak terhitung sudah berapa orang tak dikenal yang mendatangi rumahnya. Tak hanya itu, pada percobaan kedua ini ia bahkan mendapat banyak surat kaleng yang isinya meminta penghentian autopsi. 

Bahkan, ia mengaku kembali didatangi beberapa anggota polisi. Mereka menyebut bahwa Devi tak bisa menjadi pihak yang mengajukan autopsi karena kedua anaknya sudah tinggal terpisah dengannya. 

Kali ini Devi tak hilang berani. “Saya bilang, saya ayahnya! Saya tantang mereka telepon Pak Kapolri. Mereka gak berani.”

Devi juga meminta dukungan dari berbagai tokoh Malang, seperti Anto Baret. Selain itu, keluarga Devi yang mulanya meminta autopsi dihentikan pun kini berbalik mendukung. “Ibu saya sudah ikhlas kalau saya mati karena menuntut keadilan," ujar Devi.

Tak Surut Lawan Intimidasi, Devi Athok Cari Keadilan Dua PutrinyaSuasana Stadion Kanjuruhan pada Senin (3/10/2022). (IDN Times/Gilang Pandutanaya)

Sementara itu, pengacara Devi, Imam Hidayat menyebut bahwa autopsi memang wajib dilakukan. Terlebih, temuan TGIPF menyatakan bahwa salah satu penyebab dari kematian korban tragedi Kanjuruhan adalah gas air mata. “Itu harus dibuktikan secara fakta yuridis,” ujarnya.  

Tak cuma mendorong adanya autopsi, Imam belakangan mendampingi Devi untuk melaporkan tragedi maut ini ke Polres Malang. Menurut Imam, salah satu pasal yang mereka ajukan adalah tentang 338 tentang pembunuhan dan 340 tentang pembunuhan berencana. Kedua pasal itu sendiri tak disangkakan pada keenam tersangka. Selain itu, Imam juga mendampingi Devi untuk mengajukan gugatan restitusi kepada beberapa pihak, mulai dari PSSI hingga polisi yang menembakkan gas air mata. 

Autopsi dan ekshumasi alias pembongkaran makam akhirnya benar-benar dilakukan pada tanggal 5 November. Tapi sekali lagi, Devi, seorang ayah yang sudah kehilangan dua putri kembali mendapat perlakuan tak menyenangkan. Ia sempat tak diizinkan masuk mengikuti proses autopsi. Ia pun marah besar dan mengancam tak akan memberikan izin untuk autopsi jika tak bisa ikut proses autopsi. 

Saat proses autopsi berlangsung, tangis Devi pecah. Ia bahkan sempat pingsan. “Saya tak kuat melihat jenazah anak saya. Saya melihat pada bagian tengkorak Lala ada yang pecah. Saya yakin itu karena selongsong gas air mata. Anak saya dibunuh.”

Tekad Devi sudah kadung bulat. Apapun yang terjadi ia akan terus mencari keadilan bagi Tasya dan Lala. “Saya akan cari keadilan, sampai tetes darah penghabisan!” ujarnya dengan suara yang bergetar. 

Baca Juga: Autopsi Korban Kanjuruhan: Mencari Residu Gas Air Mata

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya