Jatuh Bangun Mengeruk Nafkah di Eks Distrik Lampu Merah Surabaya

Usaha keras warga Dolly menghapus stigma lokalisasi

Surabaya, IDN Times – Jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Para pedagang tampak mengemasi sisa dagangannya yang telah digelar setengah hari ini. Ada yang memasang wajah semringah lantaran dagangannya habis, ada juga yang terlihat lesu karena sayur di gerobaknya masih menumpuk separuh.

Aktivitas itulah yang terlihat dari tahun ke tahun di sekitar Jalan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya. Jalan yang menjadi pusat bisnis masyarakat setempat. Kawasan yang pernah menjadi distrik lampu merah terbesar di Asia Tenggara.

Daerah ini lebih dikenal dengan nama Dolly. Tentunya tidak asing bagi generasi ke generasi. Seakan menjadi legenda, gang fenomenal itu kini menjadi kenangan. Kawasan yang bertahun-tahun menawarkan hiburan malam di puncak Kota Pahlawan ini sudah disolek wajahnya.

Meski begitu, mengais sisa-sisa kisah di bekas distrik lampu merah tentunya masih sangat menarik. Terlebih, banyak saksi hidup yang kini banting setir menjalankan roda usaha baru setelah penutupan pada 2014 lalu. Salah satu warga Kupang Gunung Tembusan II, Putat Jaya, Kecamatan Sawahan, Surabaya, Jarwo Susanto (40) pun membagikan kisahnya.

Lahir dan besar di Dolly seolah kutukan

Jatuh Bangun Mengeruk Nafkah di Eks Distrik Lampu Merah SurabayaJarwo memamerkan produksi olahan tempe miliknya. Instagram.com/jarwo_susanto

Jarwo—begitu orang menyapanya—merupakan pemuda asli daerah eks distrik lampu merah. Sejak dia lahir pada 1980 silam, Dolly sudah ada. Dia tidak bisa protes ke siapapun karena terlahir di kawasan tersebut. Dolly sendiri sudah ada sedari 1967.

Menjadi bagian dari anak-anak yang dilahirkan di lingkungan pelacuran bukanlah suatu kebanggaan. Sejak saat itulah Jarwo sudah terbiasa menyembunyikan identitas rumahnya. Terutama ketika dia mulai masuk di bangku sekolah menengah kejuruan (SMK).

Kala itu, Jarwo bersekolah di SMK Kartika 2. Lokasi sekolah cukup jauh dari tempat tinggalnya. Yakni di Karah, Kecamatan Jambangan, Surabaya. Pada masa abu-abu itu, Jarwo kerap kali mengaku kalau rumahnya di daerah Dukuh Kupang. Jika ada orang yang menduga rumahnya di Dolly, dia sesegera mungkin menepisnya.

“Saya bilang rumah saya masih di atas lagi, gak masuk Dolly. Apalagi kalau kenalan sama cewek, saya ngaku kalau rumah di Girilaya atau Dukuh Kupang,” ujarnya saat ditemui di sentra UMKM Dolly Saiki Point, Sabtu (7/11/2020).

Sikap yang dilakukan Jarwo bukan tanpa alasan. Secara pribadi, dulunya dia merasa malu jika diketahui lahir dan tinggal di kawasan tersebut. Stigma negatif terus menghantuinya ketika banyak orang tahu identitas asalnya.

“Karena dulu waktu SMK digojloki kalau tahu rumahnya di Dolly, stigmanya kurang bagus. Selain tempat prostitusi, juga dianggap anaknya nakal sering tawuran juga,” ungkapnya.

Lambat laun Jarwo mulai menerima semua yang ada pada dia dan keluarganya. Dia harus menyadari kalau memang menjadi bagian pemuda distrik lampu merah. Seiring banyaknya kebutuhan, dia pun mulai bekerja sampingan sambil sekolah.

Sekitar tahun 1999, Jarwo dibukakan usaha warung kopi (warkop) di sekitaran Dolly. Dia diminta oleh kakaknya menjaga warung itu lantaran sang kakak sudah akan berhenti menjadi makelar pekerja seks komersial (PSK).

“Ya itu saya jaga warkopnya kakak saya, namanya Darmuji. Kalau di sekolah saya sering tidur, jaga warkop jam tujuh (malam) sampai jam dua (dini hari) kok, jadi sering kena marah guru di sekolahan. Tapi ya gak apa-apa, wong cari uang,” bebernya.

“Dia (Darmuji) makelar (PSK) membiayai sekolah saya dari SD sampai SMK. Kakak saya kecewa sama muncikarinya, akhirnya keluar dan pilih buka warkop,” Jarwo menambahkan.

Satu tahun berlalu, Jarwo mengira kalau menjaga warkop akan menjadi pekerjaan sementara saja. Tapi ternyata sang kakak membuka cabang baru, karena usaha yang dijalankannya laris manis. “Akhirnya buka dua cabang warkop, warkopnya bertahan 15 tahun,” ucapnya.

Terjerumus ke kehidupan malam Dolly

Jatuh Bangun Mengeruk Nafkah di Eks Distrik Lampu Merah SurabayaIlustrasi Prostitusi (IDN Times/Mardya Shakti)

Bertahun-tahun menjalankan usaha warkop, rupanya tak membuat tabungan yang dimiliki Jarwo bertambah. Dia mengaku tidak mendapatkan hasil apa-apa dari jerih payahnya itu. Seolah uang yang masuk hanya lewat saja.

Hal itu dikarenakan kehidupan yang tidak terkontrol. Lingkungan sekitar di distrik lampu merah sangat berpengaruh ke kehidupannya. Jangankan untuk menabung, hasil dagangan, uang yang didapatkan hari itu akan dihamburkan seketika itu juga.

“(Kerja) Gak ada hasil karena pengaruh lingkungannya, gak berkah. Tak buat minum (mabuk-mabukan) dan judi juga sempat,” ungkap dia.

Perilaku Jarwo waktu itu sudah menjadi barang lumrah di Dolly. Semenjak dia kecil, pemandangan PSK dan orang mabuk bahkan menggunakan narkoba sangat sering dijumpainya. Dia tidak asing dengan aroma maupun rasa alkohol. Dia tidak gagap ketika meneguk bir berbagai merek. “Pernah semua saya, untungnya saya gak narkoba,” ucapnya.

Tak hanya itu, Jarwo juga cukup sering terlibat perkelahian. Dia mengingat ada satu yang cukup membekas di memorinya. Waktu itu dia sedang mengirim air ke warkop yang dijaga kakaknya dengan kondisi mabuk. Pada saat bersamaan, ada pengendara yang juga mabuk. Entah dari mana ide itu muncul, Jarwo tetiba mengumpat.

Mendengar umpatan itu, sang pengendara berhenti. Dia tidak terima dan menghampiri Jarwo. Keduanya sudah siap beradu otot, tapi ternyata yang dihadapinya ialah seorang aparat. Jarwo pun mundur ketakutakan karena lawannya mengeluarkan pistol.

“Saya lari langsung sembunyi di salah satu wisma. Dicari polisi, terus dibilang makelar (PSK) kalau saya opname,” katanya lantas terkekeh mengingat kejadian tersebut.

Baca Juga: Dalu Nuzlul, Millennials Surabaya yang Ubah Wajah Kampung Dolly

Penentang keras ditutupnya distrik lampu merah

Jatuh Bangun Mengeruk Nafkah di Eks Distrik Lampu Merah SurabayaDok. IDN TV

Pernah merasa tidak nyaman dengan stigma Dolly terhadap dirinya, rupanya tak menggoyahkan tekad Jarwo membela lokalisasi tersebut. Dolly sudah menjadi ladang pencahariaannya selama bertahun-tahun lamanya. Sekitar tahun 2010, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya melayangkan wacana kalau distrik lampu merah terbesar di Asia Tenggara itu akan ditutup.

Rentetan gejolak pun mulai terjadi memasuki tahun 2011. Pemkot melarang penambahan wisma dan PSK di Dolly. Kemudian 2012, pemkot menawarkan kepada PSK dan muncikari yang mau berhenti bekerja dari lokalisasi akan mendapatkan pesangon.

“Ada penawaran ke PSK yang berhenti dapat kompensasi Rp3 juta. Tahun 2012 ada penutupan lokalisasi di beberapa titik, termasuk Moroseneng dan terakhir Dolly. Isu sudah didengar oleh kami, tapi yang diberi kompensasi PSK dan muncikari,” terang dia.

Mengetahui skema itu, para pedagang di sekitar tidak terima, termasuk Jarwo. Mereka merasa dirugikan apabila Dolly harus ditutup. Tak menunggu waktu lama, konsolidasi digelar secara rutin oleh para pedagang dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Dolly. Mereka merembukkan nasib.

“Akhirnya muncikari dengar (pedagang melakukan konsolidasi), kemudian kami rapat ngundang muncikari dan PSK. Dalam rapat kami protes, kalau (muncikari dan PSK) dikasih Rp3-5 juta masih enak bisa pindah ke kota lain, kalau warga sini gatau nasibnya terus gimana, ya kami (sepakat) menolak (Dolly ditutup),” tukasnya.

Semua yang ada dalam konsolidasi itu sepakat menjadi satu kelompok. Mereka menamakan diri sebagai Front Pekerja Lokalisasi (FPL). Memasuki tahun 2013, rencana penutupan semakin kencang. FPL tak tinggal diam. Mereka kali ini berniat menggelar aksi demonstrasi.

“Akhirnya (FPL) mengajak warga juga. Bikin simulasi demo dibiayai muncikari, simulasinya di Pacet selama tiga hari,” kata Jarwo.

Pada 18 Juni 2014, FPL memantapkan niat menggeruduk Kantor Kecamatan Sawahan setelah pemkot mengumumkan kalau Dolly ditutup. Semua warga dikumpulkan. Mereka siap pasang badan apabila ada aparat yang masuk ke distrik lampu merah. Pagar hidup pun dibentuk di sekitaran pintu masuk dari arah Dukuh Kupang.

Pemkot mengurungkan niatnya mengeksekusi penutupan Dolly. Namun satu hari sebelum Hari Raya Idulfitri, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini menginstruksikan memasang plakat berbunyi bebas lokalisasi. Seakan menjadi penanda bahwa Dolly sudah tiada. Pada saat bersamaan, sebanyak 29 orang ditangkap oleh Polrestabes Surabaya.

“Tiga  orang ditetapkan sebagai tersangka, disebut sebagai provokator. Setelah kejadian itu, tiga hari kemudian ada penculikan malam-malam, enam warga sini ditangkap. Salah satunya kakak saya yang bernama Darmanto,” ungkap Jarwo.

Menjadi buronan sambil belajar membuat tempe

Jatuh Bangun Mengeruk Nafkah di Eks Distrik Lampu Merah SurabayaSeorang pedagang kaki lima melintas di daerah Putat Jaya, Ahad (15/10). Geliat ekonomi di sana kini tak lagi bergantung pada lokalisasi. (IDN TV)

Sebenarnya, lanjut Jarwo, dirinya juga menjadi target operasi penangkapan oleh polisi. Dia dianggap menjadi salah satu provokator dalam penutupan lokalisasi Dolly. Bahkan, pada saat penutupan berlangsung, Jarwo yang mengarak sapi bertuliskan nama Gubernur Jawa Timur (Jatim), Soekarwo dan Wali Kota Tri Rismaharini.

Lolosnya Jarwo dari penangkapan lantaran dia tidak lagi tinggal bersama keluarganya. Semenjak menikahi perempuan asal Pekalongan pada 2012 lalu, Jarwo memutuskan mengontrak rumah di Dukuh Kupang Tembusan II. Dia mengetahui kalau jadi target operasi dari keluarganya yang menjenguk kakaknya, yang sudah dibekuk polisi terlebih dahulu.

“Saya sudah masuk DPO (Daftar Pencarian Orang/buronan) pas dilihat kakak saya, terus disuruh pergi sementara waktu dari kawasan Dolly,” ucapnya.

Jarwo masih menimbang dan memikirkan akan kabur ke mana usai mendapatkan kabar dari kakaknya. Tak sempat berpikir panjang, dia menerima informasi susulan kalau polisi patroli lagi di Dolly. Kali ini Jarwo sedang bersantai di warkop sekitaran Jalan Arjuno.

“Saya langsung minta istri buat antar baju, saya nyusul kakak saya Darmuji yang sudah kabur lebih dulu ke Tandes. Ternyata sampai di Tandes, ditolak sama Pakde. Akhirnya kabur ke Sememi, Benowo selama satu minggu,” katanya.

Satu pekan bersembunyi, membuat Jarwo dan Darmuji tidak tenang. Keduanya memutuskan berboncengan ke Kota Malang untuk menumpang sementara waktu di tempat muncikari yang pernah diikuti kakaknya bekerja di Dolly dulu. Baru satu hari di sana, keberedaan mereka terlacak polisi.

Keduanya melanjutkan pelarian ke Gedangan, Kabupaten Sidoarjo. Di sinilah Jarwo ikut membantu usaha saudaranya yakni membuat tempe. Dia pun mengabari keberadaannya kepada sang istri jika sedang bersembunyi di Sidoarjo. Istri Jarwo mengaku sambat dengan kondisi yang ada.

“Istri sempat minta pulang ke desa, karena merasa sudah tidak saya nafkahi. Saya janji secepatnya pulang ke rumah. Tak lama ada kabar kalau kasusnya sudah P21 (dilimpahkan ke pengadilan) totalnya ada sembilan tersangka,” jelas dia. Jarwo lalu pulang dengan membawa kedelai seberat 3 kilogram.

Memulai usaha tempe dengan pelbagai lika-likunya

Jatuh Bangun Mengeruk Nafkah di Eks Distrik Lampu Merah SurabayaWali Kota Surabaya, Tri Rismaharini saat mengunjungi eks lokalisasi Dolly. Dok. Humas Pemkot Surabaya

Sesampainya di rumah, Jarwo langsung mengajak istrinya untuk membuat tempe. Kali ini tidak ada pilihan lain agar dapur tetap mengepul. Mulanya, kedelai 3 kilogram yang dibawa dipakai untuk uji coba membuat tempe. Ternyata berhasil dan segeralah dia bagi ke tetangga sekitar.

Sisa uang yang dimiliki Jarwo hanya Rp180 ribu. Dia berniat membelanjakan bahan baku tempe ke Pasar Pabean. Sayangnya, saat di pasar uang yang dibawanya kurang. Kedelai yang dibandrol seharga Rp300 ribu satu karungnya, Jarwo mencoba menegonya agar boleh membawa setengah karung. Tapi tetap saja ditolak.

Lalu dia memutuskan pulang. Di tengah jalan, ban sepeda motor yang dikendarainya justru bocor. Jarwo pun menambalkannya dengan harga Rp20 ribu. Kini uang yang dipegangnya tersisa Rp160 ribu. Uang itu berkurang lagi karena harus membeli bensin Rp10 ribu.

“Terus akhirnya ke Sidoarjo, diantar mas beli kedelai di Sepanjang. Bawa uang Rp150 ribu. Eh perjalanan, bocor lagi. Harus ganti ban. Sekarang cuma bawa Rp100 ribu. Ya saya bilang mas ada uang segini, saya kasihkan Rp80 ribu, karena Rp20 ribu buat bekal pulang,” katanya.

Jarwo tak menyangka, dia malah dibawakan kedelai seberat 30 kilogram ditambah dengan raginya. Secerca harapan untuk melanjutkan hidup kini mulai ada lagi dalam diri Jarwo. Dia segera mengolahnya menjadi tempe. Produknya pun diberi nama “Tempe Dolly”. Mulanya dia hanya produksi 3 kilogram dan meningkat 5 kilogram.

Seiring berjalannya waktu, dia mendapat informasi kalau pemkot menggelontorkan sejumlah pelatihan dan bantuan bagi warga eks Dolly. Jarwo meminta istrinya ikut program itu sambil mengajukan permintaan mesin pemecah kedelai.

“Ternyata prosesnya cepat, langsung usaha saya disurvei kelurahan, kecamatan, dan pemkot. Seminggu itu sudah datang mesinnya, tapi yang ngambil istri saya sama mas saya. Saya belum berani muncul, masih takut kalau ketahuan yang nolak-nolak dulu,” ungkapnya.

Hadirnya mesin tersebut secara otomatis meningkatkan produktivitas usaha Jarwo. Namun, pemerintah meminta Jarwo mengubah nama produknya. Digantilah dengan “Tempe Mandiri Jaya”. Nama baru ini tidak bertahan lama. Hanya satu bulan. Jarwo merasa penjualannya anjlok dengan nama usulan tersebut.

Bulan berikutnya, Jarwo menggantinya dengan “Tempe Bang Jarwo”. Nama ini terinspirasi dari serial kartun “Adit, Sopo, Jarwo” yang tengah ramai di televisi. Dampak positif pun menaungi nama baru. Ketika pameran,di balai kota, dia mengaku mendapatkan penjualan yang banyak.

“Terus ada anak mahasiswa mau dampingi usaha saya, ngajari pembukuan, pemasaran lewat online sama ngasih ide biar beda Tempe Bang Jarwo ini menjual story-nya, story of Dolly,” tuturnya.

Sejak 2017, kata Jarwo, dirinya bersama sang istri memproduksi 20 kilogram tempe. Pemkot juga sempat menggelontorkan bantuan 520 kilogram kedelai kepadanya. Hingga 2019 dia sudah memproduksi 25 kilogram tempe tiap harinya. Omzetnya saat ini pun terbilang bagus. Tiap bulannya bisa meraup lebih dari Rp13 juta.

Nah, memasuki pandemik COVID-19 kegiatan Jarwo tidak sekadar berjualan tempe saja. Dia juga aktif memberikan workshop atau pelatihan daring. Selain itu, dia juga menjadi tour guide alias pemandu wisata lokal di kawasan bekas distrik lampu merah. Mengantarkan tamu-tamu dari luar Surabaya dan luar negeri menilik langsung wajah Dolly saat ini.

“Saya ceritakan dulu Dolly kampung maksiat sekarang penuh manfaat,” katanya bersemengat.

Wajah Dolly yang baru tidak hanya terlukis dari kisah Jarwo saja. Dia menuturkan banyak sekali yang berubah. Kini anak-anak di sana tidak lagi harus takut saat keluar malam hari. Sebab, tak ada lagi temaram jambon maupun kerat-kerat bir yang menumpuk.

“Sekarang sama Bu Risma sudah dibuatkan taman-taman. Ada lapangan futsal juga,” tukas dia.

Baca Juga: 5 Tahun Lokalisasi Dolly Tutup, Warga Tuntut Kebangkitan Ekonomi

Berjamur UMKM dan UKM di Dolly

Jatuh Bangun Mengeruk Nafkah di Eks Distrik Lampu Merah SurabayaWali Kota Surabaya, Tri Rismaharini saat mengunjungi eks lokalisasi Dolly. Dok. Humas Pemkot Surabaya

Roda usaha baru tidak hanya dijalankan oleh Jarwo seorang. Para warga di sekitaran bekas distrik lampu merah kini juga berlomba-lomba membuat UMKM maupun UKM. Camat Sawahan, M. Yunus menyebutkan, ada 100 lebih usaha di Dolly yang sudah terdaftar izinnya.

Semua ini, kata Yunus, tak lepas dari peran wali kota Surabaya. Dia meyampaikan Dolly hari ini adalah wujud asli sebenarnya. Dia tidak setuju dengan istilah kalau Dolly ditutup. Menurutnya, Dolly sekarang ini dikembalikan alias direvitalisasi.

“Karena kalau ditutup, berarti ada yang dibuka. Sejak enam tahun lalu, Dolly dikembalikan ke fungsinya yaitu permukiman. Kemudian dikembangkan ke sentra-sentra UMKM dan UKM,” katanya saat dihubungi via telepon, Minggu (8/11/2020).

UMKM yang lahir di Dolly pun berkembang pesat. Pelakunya mulai mahir mengelola usahanya sendiri-sendiri. Ada yang membuka usaha pembuatan batik, alas kaki, seprai, tempe, olahan makanan, hingga sablon.

“Bahkan yang sandal itu sekarang sudah bisa kirim ke hotel-hotel. Begitu juga batik itu mulai dikenal secara nasional dan internasional dengan membawa nama Batik Dolly,” terang Yunus.

Omzet yang dihasilkan tiap usaha juga berbeda-beda. Jika Tempe Bang Jarwo dapat meraup Rp13 juta lebih tiap bulannya, maka berbeda dengan usaha alas kaki yang bisa tembus Rp30-40 juta tiap bulan. Sedangkan usaha batik bisa menembus Rp17 juta omzet per bulannya.

“Nah, itu sekarang yang bisa menikmati warga kami sendiri. Dulu coba lihat yang nikmatin uangnya ya warga pendatang. Yang punya wisma, punya usaha kebanyakan orang luar Surabaya. Orang sekitar ya cuma segelintir saja,” ungkap Yunus.

Tak melulu soal UMKM, warga di Dolly yang tidak mau membuka usaha juga mendapatkan tawaran pekerjaan dari pemkot. Ada yang diangkat sebagai petugas Badan Penanggulangan Bencana (BPB) dan Perlindungan Masyarakat (Linmas). Ada pula yang menjadi anggota Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).

“Terus ada yang ditarik di DKRTH (Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau). Macam-macam, kami juga gak mau sampai ada yang menganggur. Kalau mau usaha ya kami buatkan pelatihan dulu, pembinaan terus bisa jalan usahanya, harapannya semua bisa berkembang terus,” jelasnya.

Dolly sudah saatnya mandiri dan berkembang dengan wajah barunya

Jatuh Bangun Mengeruk Nafkah di Eks Distrik Lampu Merah SurabayaSalah satu UMKM yang dikelola warga eks lokalisasi Dolly. Dok. Pemkot Surabaya

Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Airlangga (Unair), Gancar Candra Premananto melihat Dolly sudah benar-benar berubah setelah direvitalisasi enam tahun lalu. Menurut dia, sekarang ini masyarakat luas tidak lagi mengenal Dolly sebagai distrik lampu merah.

“Perubahan yang terjadi itu berdampak luar biasa terhadap perekomonian warga,” katanya tertulis, Minggu (8/11/2020).

Secara sudut pandang ekonomi, Gancar mengakui bahwa perputaran uang di eks lokalisasi itu anjlok. Tapi, perlahan pulih setelah banyaknya UMKM dan UKM yang berdiri. Dia melihat usaha-usaha yang berjalan telah berada jalurnya.

“UMKM dan UKM yang ada sangat efektif. Beberapa yang sudah sukses seperti Bang Jarwo bahkan mengajak tetangganya untuk ikut memasarkan produknya,” ucap dia.

Namun, Gancar tetap memberikan catatan kecil. Dia menilai masih ada yang harus dikuatkan dari sektor UMKM dan UKM yang ada. Seperti pendampingan manajemen fungsional, baik keuangan maupun pemasaran yang modern dan syariah. Hal itu bisa dicapai dengan cara berkolaborasi.

“Wirausaha yang baik adalah tidak sekadar menunggu bantuan pemerintah, bisa jadi kolaborasi dengan sesama pengusaha dengan akademisi. Pemkot sudah memberikan support dalam hal perizinan usaha, pendaftaran merek, bahkan juga pelatihan,” tukas Gancar.

Dolly hari ini bisa menjadi salah satu kampung wisata murah di Surabaya. Selain menyediakan produk-produk khasnya, juga menawarkan cerita-ceritanya yang melegenda. Dolly bukan lagi suaka bagi hati yang terluka seperti lagu “Si Pelanggan" milik Silampukau, melainkan destinasi bagi semua yang ingin bersuka cita.

Baca Juga: Risma Resmikan Pasar Burung dan Gantangan Permintaan Warga Eks Dolly

Topik:

  • Dida Tenola

Berita Terkini Lainnya