Hanya 15 Persen Warga Surabaya yang Sadar Tentang Penularan COVID-19

Angka kasus justru naik 100 persen pasca-PSBB

Surabaya, IDN Times - Jumlah kasus COVID-19 di Kota Surabaya masih menjadi yang tertinggi di Jawa Timur (Jatim). Data Dinas Kominfo Jatim menyebut, per Rabu (15/7/2020), dari 17.370 kasus di Jatim sebanyak 7.392 disumbang Surabaya. Ternyata, hal ini dipengaruhi tingkat persepsi risiko masyarakat yang masih rendah.

Berdasarkan survei 19 Juni - 10 Juli 2020 yang dilakukan LaporCovid-19 dan Social Resilience Nanyang Technological University (NTU) Singapura hanya 15 persen dari 2.895 responden di Surabaya menyadari bisa tertular COVID-19. Rinciannya, 5 persen menjawab sangat besar, 10 persen besar, 25 persen sedang, 23 persen kecil dan 36 persen sangat kecil.

Tingkat kesadaran responden di kelurahan-kelurahan Surabaya mengenai kesadaran risiko penularan di lingkungan sekitarnya juga rendah. Hanya 5 persen sangat besar kemungkinan orang terdekatnya bisa tertular COVID-19, 10 persen besar, 24 persen sedang, 26 persen kecil dan 34 persen sangat kecil atau tidak meyakini ada penularan di sekitarnya.

1. Angka kasus naik 100 persen pasca-PSBB karena persepsi risiko rendah

Hanya 15 Persen Warga Surabaya yang Sadar Tentang Penularan COVID-19Seorang pengendara masuk ke dalam bilik disinfektasn di posko PSBB di MERR Surabaya, Selasa (28/4). IDN Times/Faiz Nashrillah

Apabila melihat data Tim Gugus Tugas Percepatanan Penanganan COVID-19 Surabaya, praktis angka kasusnya naik 100 persen lebih pasca-Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Satu hari setelah PSBB, yakni 9 Juni 2020, terdapat 3.439 kasus terkonfirmasi positif dengan kasus aktifnya 2.216 pasien.

Kemudian data 14 Juli 2020 mencatat, ada 7.331 kasus positif COVID-19, dengan 2.988 pasien masih dalam perawatan alias kasus aktif. Nah, survei LaporCovid-19 dan Social Resiliance NTU Singapura mencatat bahwa dari skor 1-5, indeks persepsi risiko responden di Surabaya sebesar 3,42 yang artinya agak rendah.

"Kondisi persepsi risiko warga Surabaya masih jauh dari siap untuk memasuki masa pelonggaran pembatasan sosial. Setidaknya sampai tingkat persepsi risiko mencapai di atas 4,0. Sehingga risiko laju penularan dapat terkendali," ujar Associate Profesor Sosiologi Bencana NTU, Sulfikar Amir pada konferensi pers LaporCovid-19, Kamis (16/7/2020).

2. Rendahnya persepsi risiko dipengaruhi kondisi sosial dan ekonomi

Hanya 15 Persen Warga Surabaya yang Sadar Tentang Penularan COVID-19Ilustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Indikator rendahnya tingkat persepsi risiko ternyata juga dipengaruhi kondisi sosial, seperti saling kenal antara pasien terpapar COVID-19 dengan responden. Sebanyak 70 persen responden menjawab tidak mengenal, 14 persen kenal 1 pasien, 6 persen kenal 2 pasien, 2 persen kenal 3 pasien dan 8 persen kenal lebih dari 2 pasien.

"Banyak tidak kenal, ini cukup signifikan mempengaruhi persepsi risiko," kata Sulfikar.

Kondisi ini diperparah dengan ekonomi. Sebanyak 14 persen responden menjawab ekonomi lebih penting daripada kesehatan. Sedangkan 7 persen atau separuhnya menjawab kesehatan lebih penting. Sementara sisanya 78 persen menyebut ekonomi dan kesehatan sama-sama penting.

"Kondisi sosial dan ekonomi memiliki dampak signifikan terhadap rendahnya persepsi risiko secara umum," beber dia.

Bahkan ditemukan 16 persen rela terjangkit infeksi virus SARS CoV-2, agar ekonominya tidak terganggu. Padahal dari survei itu, 84 persen mengaku ekonominya terganggu selama pandemik. Tapi mayoritas dari mereka tegas tidak mau jika harus terpapar corona. Menariknya masih ada 14 persen tidak terganggu ekonominya selama pandemik.

"14 persen ini mungkin tabungannya gede. Crazy Rich Surabayan mungkin ya," ucap Sulfikar sembari menduga-duga lantas tertawa.

Baca Juga: Wacana Surabaya PSBB Lagi, Ini Jawaban Pemprov

3. Pembatasan masih perlu dilakukan meski perliku hidup sehat sudah meningkat

Hanya 15 Persen Warga Surabaya yang Sadar Tentang Penularan COVID-19Posko PSBB di perbatasan Surabaya-Sidoarjo, tepatnya di daerah Pondok Candra. IDN Times/Faiz Nashrillah

Maka, lanjut Sulfikar, seharusnya pembatasan sosial masih terus digalakkan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya apabila ingin menurunkan angka kasus COVID-19 di Kota Pahlawan. Pembatasan ini tidak harus bersifat seperti PSBB. Tapi bisa dilakukan di tempat dan kondisi tertentu saja. "Di beberapa sektor publik yang rentan penularan," tegasnya.

Sebab dalam survei menunjukkan masih ada saja responden yang menganggap penularan virus di tempat publik kecil bahkan sangat kecil terjadi. Di pasar dan pusat perbelanjaan 27 persen, kantor, sekolah dan kampus 33 persen, hajatan 23 persen, transportasi umum 21 persen dan tempat ibadah 40 persen.

Namun secara keseluruhan, pola hidup sehat dan bersih (PHBS) responden di Surabaya tinggi. Sebesar 50 persen mengaku sering dan 43 persen selalu cuci tangan, 83 persen selalu dan 15 persen memakai masker. Serta 60 persen selalu dan 31 persen sering memakai masker.

"Penggunaan masker lebih tinggi daripada cuci. Jaga jarak juga tinggi. Pengakuan responden perilaku hidup sehat sangat baik," kata Sulfikar.

Baca Juga: Menkes Terawan Menilai Surabaya Tidak Perlu PSBB Lagi

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya