TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Reklamasi Tak Hanya Merusak Mangrove, Tapi Seluruh Surabaya

Reklamasi menyebabkan amblasnya tanah bahkan banjir rob

Ilustrasi hutan mangrove. (freepik.com/Wiroj Sidhisoradej)

Surabaya, IDN Times - Hendrawan (54), seorang aktivis lingkungan sekaligus pendiri Komunitas Nol Sampah, mengaku prihatin dengan kondisi pantai timur Surabaya yang terus-menerus menjadi incaran proyek reklamasi

Dengan latar belakang pendidikan biologi yang berfokus pada lingkungan, ia sangat akrab dengan mangrove sejak tahun 1988, tepatnya saat ia menjalani perkuliahan di Universitas Airlangga. Karena ketertarikannya inilah, ia bahkan rela mendampingi para petani tambak dan nelayan di daerah Wonorejo, Surabaya.

Ketertarikannya terhadap lingkungan semakin kompleks. Ia mengaku gelisah dengan kondisi tanaman-tanaman mangrove yang mati terlilit sampah plastik. Kegelisahan ini sekaligus menjadi cikal bakal berdirinya Komunitas Nol Sampah.

Sebagai aktivis lingkungan, ia dan komunitasnya tidak tinggal diam ketika menghadapi isu reklamasi Mangrove Wonorejo. Selain berdampak bagi para nelayan, proyek itu tentu berdampak juga terhadap seluruh elemen Kota Surabaya.

Proyek prestisius itu masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan istilah Surabaya Waterfront Land (SWL) atau proyek pembangunan kawasan baru di pesisir Kota Surabaya.

Rencana proyek ini belakangan mendapat penolakan dari beberapa pihak, termasuk nelayan, aktivis lingkungan, mahasiswa, dan pelajar. Berikut komentar Hendrawan atau yang kerap disapa Wawan dari Komunitas Nol Sampah mengenai rencana proyek reklamasi yang juga berdampak pada kawasan Mangrove Wonorejo, Surabaya.

1. Mangrove menjadi barrier-nya Surabaya

Menurut Wawan, mangrove sangat berperan penting bagi Kota Surabaya dan sekitarnya. Mangrove bisa menjadi barrier yang melindungi daerah di belakangnya dari terpaan air laut. Dengan adanya mangrove, potensi terjadinya abrasi dan intrusi air laut dapat diminimalisasi. 

"Dulu mangrove Surabaya kan rusak, kemudian sekarang sudah mulai dibenahi dan bagus, tapi (kalau) sekarang mau dirusak lagi, kan jadi sesuatu yang mundur," tuturnya saat ditemui IDN Times pada Selasa (6/8/2024) di kawasan Jemur Andayani, Surabaya.   

Menurutnya, masyarakat perlu berpikir panjang, mengingat di depan mata ada ancaman-ancaman nyata seperti kenaikan permukaan air laut yang disebabkan pemanasan global, bahkan banjir rob.

"Keberadaan mangrove di pantai timur Surabaya berfungsi mencegah itu semua. Kalau ada mangrove, dia (mangrove) akan membuat sedimentasi alami di daerah pesisir," terangnya.

Keistimewaan pantai timur Surabaya terletak pada 22 jenis mangrove sejati yang tumbuh secara alami. Menurut pengakuan Wawan, mangrove pantai timur ini bahkan mengalahkan Mangrove Center Bali dan Mangrove Pantai Indah Kapuk, sebab mangrove di Surabaya adalah kawasan hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati.

"Kalau gak ada mangrove, mungkin Surabaya sudah amblas karena longsor," tuturnya. 

Gundulnya mangrove juga bisa mengancam keberlangsungan Jembatan Suramadu yang terletak di atas laut. Dalam proses pembangunan Suramadu, pihak-pihak terkait pasti sudah mempertimbangkan kekokohan jembatan dengan kekuatan arus saat itu. Jika ada perubahan struktur mangrove, ini bisa memengaruhi kekuatan jembatan tersebut.

"Dampak reklamasi tidak hanya dirasakan di daerah sekitar. Ada yang bilang reklamasi di Manado dan Makassar berhasil, tapi coba kita kaji, berdampak gak dengan daerah-daerah lain, karena sebetulnya dampak itu bisa bergeser," ujarnya. 

Peran terpenting pantai timur Surabaya adalah menjaga Surabaya dari kehancuran, utamanya dari intrusi air laut. Saat pasang, air laut akan masuk ke darat jika tidak ada tumbuhan mangrove. Air laut yang asin ini perlahan-lahan memengaruhi kondisi air di darat, misalnya mengubahnya menjadi air payau. Selain itu, ketika air laut surut, bagian kosong yang tidak ditanami mangrove ini juga berpotensi amblas.   

"Penelitian teman-teman di ITS (mengatakan) sudah terjadi penuruanan muka tanah di sekitar ITS dan Kertajaya (sebanyak) 1-2 cm per tahun. Kalau di Jakarta, bisa sampai 6-7 cm (per tahun). Nah, ini lho bahayanya," ungkapnya. 

Dengan adanya fakta itu, Wawan mengajak masyarakat Surabaya untuk menolak reklamasi dan kegiatan apapun yang berpotensi merusak mangrove.  

"Jadi sekali lagi, kami mengajak teman-teman untuk menolak reklamasi dan menolak pembangunan kota baru yang akan merusak mangrove, tujuannya bukan sekadar menyelamatkan petani tambak dan nelayan, tapi juga untuk Kota Surabaya dan mereka-mereka yang tinggal (di sini). Kita selamatkan pantai timur Surabaya," kata Wawan.

Baca Juga: Nelayan Kenjeran Sedekah Laut Sambil Suarakan Tolak Reklamasi

2. Berkaca dari proyek reklamasi di Surabaya Utara

Wawan mencontohkan dampak buruk reklamasi, yakni di daerah Surabaya Utara, yang pernah dilakukan reklamasi untuk pembuatan pelabuhan Teluk Lamong. Dengan adanya proyek itu, dampak negatif dirasakan langsung oleh masyarakat Greges. Tidak seperti dulu, kini nelayan harus mencari ikan jauh dari bibir pantai, padahal perahu-perahu mereka tidak layak digunakan untuk berlayar ke tengah laut. 

"Kalau di tengah (laut), mereka akan berhadapan dengan kapal-kapal besar yang mengancam mereka. Ini salah satu dampak reklamasi di Surabaya," jelasnya. 

3. Mangrove sudah lekat dengan keseharian masyarakat

Menurut pengakuan Wawan, ada seorang petani tambak bernama Suratno yang sekaligus menjadi penerima Kalpataru tingkat provinsi. Ia sukses mengajak masyarakat untuk memiliki kesadaran akan pentingnya mangrove bagi tambak. Mangrove yang bagus pasti berdampak pula terhadap kualitas tambak. 

"Yang paling terasa itu adalah nelayan kepiting. Kami mengajak mereka menangkap kepiting yang besar, tapi jangan yang betina. Nah, (setelah itu) mereka jual. Kalau kita masuk Wonorejo, itu biasanya kan ada penjual kepiting," ceritanya.          

Tak hanya itu, mangrove juga memiliki manfaat lain, misalnya melalui olahan sirup mangrove, teh mangrove, dan dawet mangrove yang berkhasiat bagi tubuh. Beberapa kelompok masyarakat sudah terbisa mengolah mangrove, salah satunya Pak Soni.   

"Ternyata, (mangrove) punya nilai ekonomi. Kalau istilahnya Pak Soni "jangan tebang, tapi petik buah atau daunnya". Sebenarnya, dari penelitian beberapa teman di Unair, mangrove termasuk tanaman obat. Cuma kita belum maksimal memanfaatkannya," ujarnya. 

Mangrove juga menjadi simbol kearifan lokal masyarakat setempat. Untuk menyembuhkan diare, masyarakat lokal biasanya mengonsumsi daun mangrove jenis jeruju dengan cara merebusnya terlebih dahulu. Selain itu, sirup mangrove juga bagus untuk kesehatan karena mengandung vitamin C dan yodium. Dalam 100 gr sirup mangrove, kandungan vitaminnya mencapai 65 mg.

"Saya sendiri, kalau radang tenggorokan susah sekali sembuh, apalagi saat dulu masih merokok. Kalau saya rutin minum sirup mangrove bisa sembuh. Nah, orang Madura kalau sakit flu atau batuk, mereka juga makan buah bogem, biasanya dibuat rujak," tuturnya.

Sudah banyak manfaat mangrove dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Semua yang telah dilakukan secara turun-temurun ini hendaknya dilestarikan.   

4. Perlunya belajar dari kejadian di kota-kota lain

Wawan juga memaparkan fakta dari daerah Demak dan Semarang. Selain hilangnya mangrove, keadaan dua daerah ini semakin diperparah dengan adanya reklamasi untuk pembangunan bandara dan kawasan pelabuhan. Reklamasi ini menyebabkan perubahan arus laut. Dengan demikian, amblasnya tanah dan banjir rob tidak bisa dihindari lagi.  

Bergeser ke Bali, Wawan mengatakan, reklamasi Pulau Serangan di Bali juga menimbulkan dampak negatif, misalnya perubahan arus laut yang menyebabkan abrasi di daerah Sanur dan Benoa. Bahkan, abrasi ini juga terjadi di Pantai Lebih, Gianyar, Bali, yang letaknya jauh dari Pulau Serangan. Semua ini berawal dari proyek reklamasi yang menyebabkan pembelokan arus laut. 

Peristiwa lain terjadi di Pekalongan. Pembabatan mangrove menyebabkan Kabupaten Pekalongan harus merogoh kocek milyaran rupiah untuk memasang bedeng. Ini bertujuan untuk mencegah terjadinya abrasi.

5. Nasib nelayan yang terombang-ambing

Menurut Wawan, tidak menutup kemungkinan para nelayan dijanjikan kompensasi tertentu agar proyek reklamasi tetap berjalan. 

"Nelayan itu ketika pekerjaannya berubah, (mereka) tidak mudah beradaptasi. Pola pelaut pasti beda," ucapnya.

Tak hanya itu, Wawan juga khawatir jika para nelayan harus tersingkir dari pekerjaan yang semula dijanjikan karena adanya kompetisi dengan orang-orang lain.  

"Awal-awal mereka setuju dengan fasilitas dari pemiliknya, seperti bisa kerja dan bisa terima gaji. Tapi, lama-lama mereka harus berkompetisi ketika orang lain datang dengan kemampuan yang lebih oke. Ya, lama-lama mereka tersingkir juga. Akhirnya, mereka akan menjadi penonton di daerahnya sendiri," ungkapnya.

Verified Writer

Talita Hariyanto

Manusia hina sebagai makhluk mulia

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Berita Terkini Lainnya