Anak Indonesia, Sesak Napas Tercekik Polusi

Tiap detik ada 39 anak di dunia meninggal karena pneumonia

Surabaya, IDN Times - Maret 2023 lalu, Husna (2) balita dari pasangan Abidin (38) dan Ervina (39) mengalami batuk yang tak kunjung sembuh. Tiga kali Husna harus dibawa ke Puskesmas Sedati, Sidoarjo untuk pemeriksaan. Puncaknya pada akhir Maret, Husna mengalami panas tinggi yang tembus 40 derajat celcius. 

Selama tiga hari, suhu tubuh Husna tak kunjung mereda. Sang ayah pun berinisiatif melarikan Husna ke RSI Jalan Ahmad Yani Surabaya. “Karena panas tak kunjung turun lalu saya bawa Husna ke Rumah Sakit. Setelah mendapat penanganan, dilakukan foto rontgen dan tes darah, hasilnya Husna kena bronchopneumonia,” ujar Ervina, Sabtu (2/9/2023).

Bronchopneumonia adalah peradangan pada pipa saluran pernapasan (brongkus) dan kantung kecil di paru-paru. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah polusi udara. Ervina mengaku kalau Husna memang beberapa hari terakhir sebelum akhirnya mengalami batuk itu, sering diajak keluar naik motor untuk antar jemput kakaknya ke sekolah.

“Padahal selalu pakai masker, tapi ternyata masih saja tembus,” ujar Ervina yang tinggal di Sidoarjo. Selesai mengatasi Husna, Ervina ternyata harus dibuat repot lagi karena kakak Husna yang bernama Ahmad Fayyadh (Afa), juga mengalami batuk tak kunjung sembuh. Bahkan, bocah enam tahun itu mengalami batuk sebulan lebih. Sampai akhirnya, pada Juli 2023 Afa harus dilarikan ke Rumah Sakit. 

Anak Indonesia, Sesak Napas Tercekik Polusiilustrasi pneumonia (freepik.com/macrovector)

Hasil diagnosa dokter sama, Afa terkena bronchopneumonia. Setelah kejadian ini, Ervina mengaku anak-anak semakin sensitif pada polusi debu. Batuk dan flu tak luput menyertai keseharian anak-anak. “Mungkin karena kemarau terus polusi debu tak terhindarkan,” katanya.

Tidak hanya keluarga Ervina, hampir setiap hari antrean pasien anak-anak dan balita di Poli Infeksi Saluran Penapasan Atas (ISPA) Puskesmas Sedati, Sidoarjo tak sepi. Nomor antrean bahkan sampai lebih dari 50 orang setiap hari. “Di Puskesmas Sedati antreannya bahkan sudah dibedakan antara pasien umum dan pasien ISPA,” katanya.

Keresahan yang sama juga dirasakan oleh Ayu (41). Warga Pondok Cabe Tangerang Selatan ini sambat karena anak keduanya yang berusia 17 bulan terus-terusan batuk. Mulanya ia mengira apa yang dialami sang anak adalah gejala flu biasa. 

Belakangan, ia mulai sadar bahwa apa yang dialami anaknya disebabkan polusi. Dugaannya menguat karena kondisi awan di sekitar rumahnya memang kerap gelap, bahkan terlihat kotor. “Pas awal, masih mikir berani ajak anak main keluar rumah, cuma setengah jam pakai masker gitu, berani. Kalau sekarang, sudah sama sekali gak berani,” ujarnya. Ayu bahkan menduga bahwa polusi sudah terperangkap di dalam rumah. Ia pun kini memasang pembersih udara alias air purifier.

Namun, upaya itu tak banyak membantu. Apalagi, ia harus berhadapan orang-orang di sekitar rumahnya yang punya kegemaran membakar sampah. “Jadi setiap sore tuh, polusi di sekitar rumah tinggi.”

Wajar jika Ervina dan Ayu ketar ketir. Gangguan pernapasan seperti pneumonia pada anak memang tak bisa dianggap remeh. Badan dunia untuk anak, UNICEF menyebut pada 2018 ada 800.000 balita di dunia yang meninggal akibat penyakit ini. Jika dirata-rata, ada 39 anak meninggal setiap detik. Sebagian kematian itu terjadi pada anak yang berusia kurang dari dua tahun. 

Celakanya, banyak dari pneumonia pada anak disebabkan oleh polusi udara. Hal ini diakui  langsung Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin. Ia menyebut bahwa polusi udara berkontribusi besar terhadap enam besar penyakit gangguan pernapasan di Indonesia, yaitu pneumonia (infeksi paru), infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), asma, tuberkulosis, kanker paru, dan penyakit paru obstruksi kronis (PPOK). “Kita lihat salah satu penyebab penyakit gangguan pernapasan yang paling dominan adalah polusi udara. Itu antara 24-34 persen dari tiga penyakit utama tadi: pneumonia, kemudian ISPA, dan asma,” ujar Budi.

Bahkan, beban pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) disebabkan enam penyakit gangguan pernapasan tersebut, kata Menkes, mencapai Rp10 triliun pada tahun 2022 lalu dan menunjukkan tren meningkat di tahun 2023.

“Ini beban BPJS-nya tahun lalu Rp10 triliun dan kalau melihat trennya di 2023 naik, terutama ISPA dan pneumonia, ini kemungkinan juga akan naik. Memang perlu kita sampaikan di sini, yang top 3-nya itu adalah infeksi paru atau pneumonia, infeksi saluran pernapasan yang di atas, kemudian asma. Ini totalnya sekitar Rp8 triliun dari Rp10 triliun yang tadi yang enam,” ujarnya.

Tren kenaikan jumlah anak yang mengalami gangguan napas yang disampaikan Menteri Budi tergambar jelas di Jawa Tengah. Tak kurang 20.511 balita di sana mengalami penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA dalam kurung Januari sampai Juni 2023.

Baca Juga: Harap-harap Cemas Penyintas TBC Anak di Tengah Polusi Surabaya 

Anak Indonesia, Sesak Napas Tercekik Polusiilustrasi ISPA pada anak (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Sub Kordinator Penyakit Tak Menular dan Menular, Dinkes Jateng, Arfian Nevi mengaku ada lonjakan kasus ISPA yang dialami para balita yang disebabkan berbagai faktor lingkungan, termasuk polusi. "Untuk kasusnya selama Januari-Juni fluktuatif. Antara tiga ribu sampai empat ribuan. Memang ada sedikit kenaikan dari tahun sebelumnya," tuturnya, Selasa (11/7/2023). 

Tak cuma di Pulau Jawa, kondisi serupa juga terjadi di Kalimantan. Direktur RSUD Sultan Suriansyah Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dr M Syaukani menjelaskan, pasien ISPA yang masuk ke rumah sakit rata-rata pasien yang sudah terbilang parah. Seperti terjadinya radang paru-paru (pneumonia), di mana salah satunya disebabkan karena asap. Bila dihitung, pasien ISPA yang menjalani rawat inap hingga sejak Juli hingga 22 Agustus ini sudah ada 35 pasien. Hampir semuanya merupakan balita.

"Usia rentan seperti bayi hingga anak-anak yang mudah terserang ISPA. Makanya pasien ISPA di RS Sultan Suriansyah hampir semunya bayi dan anak-anak," katanya.

Puskesmas di Kota Banjarmasin misalnya mencatat per Juni 2023,  kasus ISPA ada 3.769. Bila dirinci penderita ISPA pada bayi sampai balita terbanyak, yakni 1.064 kasus. Sisanya mulai anak-anak hingga dewasa usia 60 tahun ke atas.

Baca Juga: Polusi Udara Mataram Kategori Sedang, Warga Rentan Perlu Pakai Masker

Anak Indonesia, Sesak Napas Tercekik Polusiilustrasi polusi udara pekat (IDN Times/Gregorius Aryodamar P)

Kemudian penderita ISPA di bulan Juli mengalami kenaikan seribu lebih yakni 4.351 kasus. Dan penderita bayi dan balita tercatat ada 1.208. Kemudian untuk bulan Agustus 2023, jumlah penderita ISPA diperkirakan meningkat. Terlebih, kebakaran dan pembakaran hutan di sana sedang tinggi-tingginya. 

Tingginya angka gangguan napas terhadap anak belakangan pun bikin pemerintah lebih gencar melakukan upaya pencegahan. Menurut Menkes Budi, Badan Kesehatan Dunia (WHO),meminta agar lima komponen di udara dipantau ketat, Komponen-komponen itu antara lain, nitrogen, karbon, dan sulfur serta dua komponen partikulat atau particulate matter yaitu PM 10 dan PM2,5. 

Anak Indonesia, Sesak Napas Tercekik PolusiKondisi udara di Jakarta berdasarkan pemantauan IQ Air. Tangkapan layar IQ Air

Dua komponen terakhir menunjukkan kadar polutan dalam udara dalam setiap . Sebagai gambaran, di Jakarta misalnya, pada tanggal 31 Agustus 2023, kadar PM2.5 mencapai 82,4  µg/m3. Angka tersebut melebihi ambang batas PM2.5 yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 15 µg/m3 untuk rata-rata harian dan 5 µg/m3 untuk rata-rata tahunan.

Selain itu, kata Budi, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga mendorong penggunaan masker sebagai pencegahan. “Maskernya mesti yang KF 94 atau KN 95 minimum, yang memiliki kerengketan untuk menahan particulate matters 2,5,” ujar Budi.

Anak Indonesia, Sesak Napas Tercekik PolusiPapan ISPU yang dipasang di Kota Surabaya. (IDN Times/Khusnul Hasana).

Pemerintah daerah juga mulai ambil langkah seribu. Di Surabaya, Dinas Lingkungan Hidup setempat langsung berkoordinasi dengan Dinas Perhubungan untuk melakukan uji emisi. Mereka juga berjanji akan menanam pohon sebanyak mungkin. Bahkan, dalam sehari, DLH menargetkan 1000 pohon. "Pokoknya 1000 itu setiap hari. Entah itu pohon, perdu, jadi ada semak, ada perdu, ada pohon itu di seluruh Surabaya setiap hari," ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro.

Sementara Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) berencana menyulap bus Trans Anggrek menjadi bus antar jemput anak sekolah. "Trans Anggrek bakal berubah menjadi bus sekolah gratis nantinya. Jadi kita kaji titik mana yang dibutuhkan," kata Wakil Wali Kota Tangerang Selatan, Pilar Saga Ichsan.

Langkah simultan memang perlu dilakukan pemerintah untuk menekan polusi. Jangan sampai anak-anak Indonesia kehabisan napas di tengah jelaga polusi.

 

Baca Juga: Luhut Sebut Penanganan Polusi Udara Bisa Butuh Waktu 1 Tahun

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya