Harap-harap Cemas Penyintas TBC Anak di Tengah Polusi Surabaya

Surabaya, IDN Times - Kayla In'ami Nashira (16) baru pulang dari sekolah. Ia mampir di sebuah pusat perbelanjaan untuk makan. Sesekali ia mengibaskan tangannya, mengusir debu dan asap yang membuat sesak dadanya. Masker yang menempel di wajah nyatanya tak bisa benar-benar melindunginya dari polusi. Terkadang, pekatnya polusi Kota Surabaya membuat dia harus merangkap maskernya.
Wajar jika Kayla punya antisipasi lebih. Ia adalah penyintas Tuberkulosis atau TBC. Kayla pernah menderita penyakit itu saat berusia setahun. Meski bakteri Mycobacterium tuberculosis sudah lama minggat lama dari paru-parunya, Kayla khawatir penyakit itu kembali kambuh. "Kadang di sekolah tiba-tiba sesak, aku gak tahu, apa karena TBC apa karena polusi," kata Kayla, Rabu, (31/8/22023).
Tapi susah rasanya bagi Kayla menjauh dari polusi. Jarak sekolahnya yang terpaut belasan kilometer membuatnya terpaksa bergelut dengan jelaga kota tiap hari. "Padahal setiap berangkat sekolah aku pakai masker, aku diantar pakai motor," kata dia.
Dia pun berharap banyak pemerintah bisa menurunkan polusi udara. "Mungkin (pemerintah harus) mengampanyekan mencegah polusi udara, terus taat protokol. Karena banyak yang gak pakai masker apalagi di jalan raya."
Harapan Kayla tampaknya harus benar-benar didengarkan Pemerintah Kota Surabaya. Pengamatan IQ Air beberapa kali menunjukkan kualitas udara di Kota Pahlawan tak sehat. Pada Rabu (30/8/2023) pagi pukul 08.00 WIB misalnya, kandungan polutan atau Particulate Matter (PM)2.5 di Surabaya berada di angka 67,3 mikrogram per meter kubik (µg/m3) atau kategori tidak sehat. Angka tersebut melebihi ambang batas PM2.5 yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yakni 15 µg/m3 untuk rata-rata harian dan 5 µg/m3 untuk rata-rata tahunan.
Di sisi lain, data Dinas Kesehatan Kota Surabaya menyebut bahwa angka kasus TBC pada anak di Surabaya terus mengalami mengalami peningkatan, apalagi setalah pandemik COVID1-19. Di tahun 2019 angka TBC berada di 801 kasus, tahun 2020 250 kasus. Tahun 2021 283 kasus. Tahun 2022 naik 898 kasus dan 2023 dari Januari hingga 27 Agustus 2023 adalah 672 kasus.
Baca Juga: Luhut Pimpin Operasi Penanganan Polusi Udara Jakarta
Jika permasalahan polusi di Surabaya tak benar-benar ditangani, bukan tak mungkin peningkatan kasus TBC anak akan bertambah, bahkan berlipat. Apalagi, Badan Dunia untuk Anak, UNICEF dalam laporan yang berjudul Data dan Informasi Perubahan Iklim Kesehatan Berbasis Bukti di Indonesia menyebut bahwa PM2,5 dan NO2 secara signifikan bisa meningkatkan risiko kunjungan rawat jalan penyakit TBC.
Laporan yang dirilis Mei 2023 itu menyebut partikel aerodinamis yang terkandung dalam PM2.5 dapat membawa kotoran eksternal seperti ion logam dan mineral ke dalam dua bagian paru-paru, yaitu bronkiolus dan alveoli. Hasilnya adalah peradangan dan rusaknya fungsi imun seluler.
Tingginya tingkat PM2.5 yang terdiri dari logam transisi juga disebut meningkatkan kandungan besi. Kondisi ini akan menciptakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan dan reproduksi bakteri M. tuberculosis. Intinya, laporan itu menyatakan bahwa paparan PM2,5 dapat mengurangi kekebalan paru-paru dan mempercepat perkembangan TBC aktif.
Pada laporan lain, UNICEF melalui Direktur Regional UNICEF Asia Timur dan Pasific mereka, Debora Comini mengatakan, di kawasan Asia Timur dan Pasifik, 460 juta anak sangat terpapar polusi udara karena dampak perubahan iklim. Sementara di Indonesia 74 juta anak sangat terpapar polusi udara.
"Gelombang panas lebih banyak menyerang anak-anak dibandingkan orang dewasa karena mereka kurang mampu mengatur suhu tubuh, dan anak-anak mempunyai risiko terbesar terhadap kematian dan kesakitan akibat panas, termasuk penyakit pernapasan kronis, asma, dan penyakit kardiovaskular. Bencana terkait iklim juga dapat mengganggu pendidikan," ujar Debora dalam laporannya berjudul Over The Tipping Point.
Menurut dia, anak-anak harus mendapat perhatian lebih di tengah perubahan iklim dan polusi. "Hak-hak anak harus menjadi inti dari respons. Suara mereka harus didengar agar ditindak lanjuti oleh pemegang kebijakan," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Surabaya, Agus Hebi Djuniantoro mengatakan, kualitas udara di Surabaya mulai Januari sampai Juli 2023 adalah 26,48 persen berkualitas baik. Sedangkan 73,52 persen berkualitas sedang.
"Dan untuk kondisi tidak baik itu nol persen," ujar Hebi kepada IDN Times.
Dia menyebut kondisi udara di Kota Pahlawan masih layak hirup. Sebab, dari data yang ada, kualitas udara yang ada mayoritas sedang. "Artinya layak hirup itu, jadi, masih 100 persen. Jadi sebenarnya baik-baik saja di Surabaya ini," ungkap dia.
Hebi menyebut, daerah di Surabaya dengan kualitas udara paling buruk berada di wilayah dengan titik kemacetan tinggi. Seperti di daerah Tandes dan Margomulyo. Sementara, penyumbang polutan terbanyak adalah kendaraan bermotor.
"Pencemar utama, adalah kendaraan bermotor. Kalau misal udara ambien paling banyak itu kendaraan bermotor itu penyumbang terbesar, kedua itu pabrik. Baru ketiga yang lain-lain," terangnya.
Untuk mengurangi polisi udara di Surabaya, DLH Surabaya akan berkordinasi dengan Dinas Perhubungan (Dishub) untuk melakukan uji emisi. Mereka juga berjanji akan menanam banyak pohon sebanyak mungkin. Bahkan, dalam sehari, DLH menargetkan 1000 pohon. "Pokoknya 1000 itu setiap hari. Entah itu pohon, perdu, jadi ada semak, ada perdu, ada pohon itu di seluruh Surabaya setiap hari," ujarnya.
Kayla kini berharap-harap cemas apa yang dilakukan Pemkot Surabaya benar-benar terealisasi dan membawa hasil. Jika tidak, ia bingung mau ke mana lagi akan mengeluh.
Baca Juga: Waduh, Jakarta Juara Polusi Udara Terburuk di Dunia Jelang KTT ASEAN