Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

10 Peribahasa Jawa Tentang Pemimpin yang Harus Diteladani

Ilustrasi pemimpin dalam pakaian adat Jawa (pinterest.com/@Merak Kayangan)
Ilustrasi pemimpin dalam pakaian adat Jawa (pinterest.com/@Merak Kayangan)

Dalam budaya Jawa, kepemimpinan tidak hanya sekadar mengandalkan kekuasaan dan wewenang, tetapi juga menuntut kebijaksanaan, kesabaran, dan tanggung jawab moral yang tinggi. Seorang pemimpin harus memiliki karakter yang kuat, berwibawa, serta mampu menjadi teladan bagi bawahannya.

Filosofi kepemimpinan dalam budaya Jawa sering kali dituangkan dalam bentuk peribahasa atau paribasan yang mengandung makna sangat dalam dan relevan dengan berbagai situasi kepemimpinan. Apa saja? Yuk simak 10 peribahasa Jawa tentang pemimpin yang harus diteladani maknanya!

1. Sabdo pandito ratu

Ilustrasi masyarakat berpakaian adat Jawa (pexels.com/@Ceng Ismail)
Ilustrasi masyarakat berpakaian adat Jawa (pexels.com/@Ceng Ismail)

Peribahasa ini berarti bahwa ucapan seorang pemimpin setara dengan perkataan seorang pandita (bijaksana) dan raja (berkuasa). Artinya, setiap kata yang keluar dari seorang pemimpin harus mengandung kebijaksanaan dan tidak boleh berubah-ubah.

Dalam konteks kepemimpinan, peribahasa ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus konsisten dalam setiap perkataan dan keputusannya. Keputusan yang dibuat harus didasarkan pada pertimbangan yang matang karena akan menjadi pedoman bagi banyak orang.

2. Obah ngarep kobet mburi

Ilustrasi laki-laki berpakaian adat Jawa dengan keris (unsplash.com/@agto)
Ilustrasi laki-laki berpakaian adat Jawa dengan keris (unsplash.com/@agto)

Secara harfiah, peribahasa ini berarti bahwa setiap gerakan pemimpin di depan akan berpengaruh pada bawahan di belakangnya. Dalam kepemimpinan, setiap tindakan dan kebijakan yang diambil oleh pemimpin akan memberikan dampak bagi orang-orang yang dipimpinnya.

Seorang pemimpin yang bijak harus menyadari bahwa keputusannya tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tetapi juga pada banyak orang. Jika seorang pemimpin bertindak sembarangan, tidak amanah, atau tidak bertanggung jawab, maka rakyat atau bawahannya yang akan menanggung akibatnya.

3. Ojo adigang, adigung, adiguna

Ilustrasi masyarakat melangsungkan ritual adat (unsplash.com/@adriannetwork)
Ilustrasi masyarakat melangsungkan ritual adat (unsplash.com/@adriannetwork)

Peribahasa ini mengajarkan agar seseorang tidak sombong dengan kekuatan (adigang), kekuasaan (adigung), dan kecerdasan (adiguna) yang dimilikinya. Dalam kepemimpinan, kelebihan dalam hal kekuasaan, harta, atau kecerdasan bukanlah sesuatu yang perlu disombongkan. Justru, seorang pemimpin harus tetap rendah hati dan menggunakan kelebihannya untuk kepentingan bersama.

4. Mikul dhuwur mendem jero

Ilustrasi laki-laki tersenyum menggunakan pakaian adat Jawa (unsplash.com/@fadhelife)
Ilustrasi laki-laki tersenyum menggunakan pakaian adat Jawa (unsplash.com/@fadhelife)

Peribahasa ini mengajarkan pentingnya menghormati pemimpin dengan cara mengangkat derajatnya dan tidak menyebarkan aibnya. Dalam dunia kerja atau pemerintahan, bawahan harus bisa menjaga kehormatan pemimpin, bukan dengan membenarkan kesalahannya, tetapi dengan tidak mempermalukannya di depan umum.

5. Ajining diri saka pucuke lathi, ajining raga saka busana

Ilustrasi wanita menggunakan busana pengantin adat Jawa (pixabay.com/@deddy_sunarto)
Ilustrasi wanita menggunakan busana pengantin adat Jawa (pixabay.com/@deddy_sunarto)

Peribahasa ini memiliki arti harga diri seseorang tergantung pada ucapannya (lathi) dan bagaimana ia menempatkan dirinya dalam situasi tertentu (busana). Seorang pemimpin harus mampu berbicara dengan baik, menjaga ucapannya, serta bersikap profesional dalam berbagai situasi.

6. Aja gumunan, aja kagetan, lan aja dumeh

Ilustrasi penari Jawa (pexels.com/@Jeffry S.S.)
Ilustrasi penari Jawa (pexels.com/@Jeffry S.S.)

Peribahasa ini menekankan pentingnya sikap tenang dan tidak mudah terkejut dalam menghadapi berbagai situasi. Seorang pemimpin tidak boleh terlalu mudah terheran-heran (aja gumunan), tidak boleh kaget atau panik menghadapi sesuatu yang tidak terduga (aja kagetan), dan tidak boleh arogan atau merasa lebih tinggi dari orang lain (aja dumeh).

7. Kacang mangsa ninggal lanjaran

Ilustrasi pemimpin Jawa dengan perempuan di bawahnya (unsplash.com/@fatalish11)
Ilustrasi pemimpin Jawa dengan perempuan di bawahnya (unsplash.com/@fatalish11)

Peribahasa ini mirip dengan ungkapan "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," yang berarti bahwa masyarakat sering kali mencerminkan pemimpinnya. Jika seorang pemimpin memiliki karakter yang jujur dan bekerja keras, maka bawahannya pun akan mengikuti jejak tersebut. Sebaliknya, jika seorang pemimpin korup dan tidak bertanggung jawab, maka budaya negatif ini bisa menyebar ke masyarakat yang dipimpinnya.

8. Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karsa, tut wuri handayani

Ilustrasi wanita menari Jawa (pexels.com/@CandraAlipratama)
Ilustrasi wanita menari Jawa (pexels.com/@CandraAlipratama)

Peribahasa ini menggambarkan tiga peran utama seorang pemimpin, yakni seorang pemimpin harus bersikap ”ing ngarso sung tulodho”, yaitu seorang pemimpin di depan harus menjadi teladan. Seorang pemimpin juga harus dapat ”ing madyo mangun karsa”, Di tengah-tengah bawahannya, ia harus membangun semangat dan motivasi. Terakhir, ”tut wuri handayani”, dari belakang, ia harus memberikan dorongan dan dukungan agar bawahannya bisa berkembang.

9. Bener ketenger, becik ketitik, ala ketara

Ilustrasi laki-laki menari Jawa (unsplash.com/@muhammad_adin_samudro)
Ilustrasi laki-laki menari Jawa (unsplash.com/@muhammad_adin_samudro)

Peribahasa ini menekankan bahwa segala sesuatu pada akhirnya akan mendapatkan balasan yang setimpal. Bagi seorang pemimpin, ini adalah pengingat bahwa tindakan dan keputusan yang dibuat akan mendapatkan konsekuensinya masing-masing. Seorang pemimpin yang jujur dan adil akan dikenang dengan baik, sementara pemimpin yang korup dan tidak bertanggung jawab akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat.

10. Aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa

Ilustrasi pria Jawa bermain gamelan (pixabay.com/@nico_boersen)
Ilustrasi pria Jawa bermain gamelan (pixabay.com/@nico_boersen)

Peribahasa ini mengajarkan bahwa seseorang tidak boleh merasa paling bisa (aja rumangsa bisa), tetapi harus memiliki kepekaan dan kesadaran terhadap sekitarnya (bisa rumangsa). Dalam kepemimpinan, merasa paling bisa atau paling tahu segalanya adalah sebuah kesombongan. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mendengarkan, belajar dari orang lain, dan memiliki kepekaan terhadap kondisi di sekitarnya.

 

Itu tadi 10 peribahasa Jawa tentang pemimpin dengan makna mendalam yang harus diteladani. Peribahasa Jawa tentang pemimpin tadi tentunya mengandung nilai luhur yang masih terus relevan sampai sekarang.

Seorang pemimpin harus memiliki integritas, kebijaksanaan, dan tanggung jawab dalam setiap keputusan yang diambilnya. Dalam era sekarang, filosofi kepemimpinan Jawa ini tetap dapat diterapkan dalam berbagai bidang, baik dalam organisasi, pemerintahan, maupun kehidupan sehari-hari.

Jadi, peribahasa Jawa mana yang paling nempel di benakmu?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Erza Angelia Putri
EditorErza Angelia Putri
Follow Us