Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Potret Pernikahan Anak di Madiun, Dari Perjodohan hingga Kehamilan

Riyanto
Ilustrasi pernikaha anak. IDN Times/Riyanto.
Intinya sih...
  • 37 permohonan dispensasi pernikahan anak di Madiun dari Januari-Juli 2025, 16 di antaranya diajukan oleh calon pengantin yang sudah hamil.
  • Penyebabnya beragam: kehamilan di luar nikah, perjodohan, tekanan ekonomi, hingga rendahnya pendidikan. Daerah pinggiran seperti Saradan dan Gemarang paling sering menjadi titik kasus.
  • DP2KBP3A bersama Pengadilan Agama Madiun berupaya menahan laju pernikahan dini lewat konseling dan pemeriksaan medis di puskesmas. Pemerintah daerah telah berusaha memutus lingkaran ini lewat forum anak, kunjungan ke sekolah, sosialisasi ke organisasi perempuan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Madiun, IDN Times – Di ruang tamu sederhana sebuah rumah di Kecamatan Saradan, kursi plastik berjajar rapi, tamu keluar masuk membawa doa dan bingkisan. Di sudut ruangan, seorang gadis bersanggul duduk diam. Usianya baru 16 tahun, tapi hari itu ia resmi menjadi istri.

Namanya R (bukan nama sebenarnya). Ia menikah bukan karena sudah siap, melainkan karena dua garis merah di test pack. Kondisi itu mengubah seluruh rencana hidupnya. “Awalnya malu, takut dimarahi orangtua. Tapi akhirnya orangtua bilang, menikah saja biar tidak malu sama tetangga,” cerita R dengan suara nyaris tak terdengar.

Cerita seperti R bukanlah satu atau dua. Data Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Madiun mencatat, dari Januari–Juli 2025 sudah ada 37 permohonan dispensasi pernikahan. Sebanyak 16 di antaranya diajukan calon pengantin yang sudah hamil.

“Tahun lalu ada 63 permohonan, tahun sebelumnya malah 81. Penurunan ini memang ada, tapi bukan berarti masalahnya selesai,” kata Yeni Mayawati, Kabid Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak DP2KBP3A, Senin (11/8/2025).

Yeni menyebut, penyebabnya beragam: kehamilan di luar nikah, perjodohan, tekanan ekonomi, hingga rendahnya pendidikan. Daerah pinggiran seperti Saradan dan Gemarang paling sering menjadi titik kasus. “Sebagian orang tua menganggap menikahkan anak itu solusi agar anak tidak jadi beban. Padahal ini masalah kompleks, yang harus ditangani dengan pendekatan khusus,” jelasnya.

DP2KBP3A bersama Pengadilan Agama Madiun berupaya menahan laju pernikahan dini lewat konseling dan pemeriksaan medis di puskesmas. Bagi yang hamil, ditekankan pentingnya menjaga kandungan. Bagi yang belum, diimbau menunda hingga usia matang. “Kalau permohonan ditolak, kami minta jangan menikah siri karena risikonya besar bagi perempuan,” tegas Yeni.

Namun, fakta di lapangan sering kali berjalan berbeda. Banyak pasangan muda yang masuk pernikahan tanpa persiapan mental maupun ekekonomi

"Saya sebenarnya ingin sekolah lagi, tapi sekarang fokus urus rumah dan sebentar lagi punya anak,” kata R, sambil memegang perutnya yang mulai membuncit.

Pemerintah daerah mengaku telah berusaha memutus lingkaran ini lewat forum anak, kunjungan ke sekolah, sosialisasi ke organisasi perempuan, hingga webinar tentang peran orang tua di era digital. Tapi di tengah adat, stigma, dan tekanan sosial, jalan masih panjang.

Di Madiun, setiap pernikahan anak adalah cerita tentang masa depan yang dipercepat, mimpi yang harus disimpan di laci, dan tanggung jawab yang datang terlalu cepat. Dan di balik setiap senyum pengantin belia, ada hati yang diam-diam bertanya: apakah aku siap?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Faiz Nashrillah
EditorFaiz Nashrillah
Follow Us