Soekarno Terlibat dalam Peristiwa G30S/PKI, Mitos atau Fakta?

Tragedi berdarah menimpa bangsa Indonesia 59 tahun yang lalu, tepatnya pada 30 September 1965. Tragedi yang menyeret Partai Komunis Indonesia (PKI) sebab diduga berniat merebut kekuasaan. Peritiwa itu menelan ribuan nyawa. Bahkan, setelah itu banyak rakyat sipil juga menjadi korban konflik politik kekuasaan. Penangkapan, pembunuhan, dan pengasingan tak terhindarkan. Boleh dibilang sejarah itu menjadi September kelam bagi negeri ini.
Dampak peristiwa itu gak cuma dirasakan pada era tersebut, tapi juga masa kini. Misalnya tentang kepastian hukum yang belum terselesaikan bagi banyak orang yang dituduh terkait PKI. Lalu, sejauh mana keterlibatan Soekarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia saat itu dalam tragedi berdarah ini? Untuk menemukan jawabannya, yuk simak artikel ini sampai habis!
1. Soekarno setidaknya mengetahui persoalan G30S/PKI

Seperti yang diuraikan Hermawan Sulistiyo dalam bukunya Palu Arit di Ladang Tebu (2000), ada dua tokoh yang bisa dijadikan sumber informasi tentang peristiwa G30S/PKI, salah satunya adalah Soekarno.
Merangkum buku Mengapa G30S/PKI Gagal? (2014) karya Mayjen. Purn. Samsudin, Soekarno dicurigai karena kehadirannya di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma yang menjadi Sentral Komando (Senko) G30S/PKI.
Pembicaraan Soekarno dengan pelaku kudeta di Halim, perlindungannya kepada para pimpinan PKI, dan ketidakpeduliannya terhadap para jenderal yang dibunuh menjadi sinyal kuat bahwa dia diduga terlibat dalam aksi berdarah ini. Ia memang bukan penyusun skenario peristiwa G30S/PKI. Tapi, paling tidak ia tahu persoalan ini.
2. Soekarno keberatan untuk membubarkan PKI

Pada 11 Maret 1966, Soekarno memberikan wewenang kepada Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto, untuk mengambil tindakan apa pun yang dianggap perlu demi ketertiban dan stabilitas pemerintahan Indonesia pasca peristiwa G30S/PKI. Dokumen ini bernama Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Soeharto sebenarnya tahu, Supersemar sebenarnya tidak boleh dipakai untuk tindakan politik seperti membubarkan PKI. Tapi, Soeharto dihadapkan pada dilema. Menurutnya, tujuan pembubaran PKI adalah langkah antisipasi agar terhindar dari konflik yang menyebabkan perpecahan bangsa. Ia paham betul dengan konsekuensi atas tindakannya ini.
Benar saja, Soekarno marah besar atas tindakan Soeharto yang membubarkan PKI sekaligus melarang keberadaan organisasi itu di wilayah kekuasaan Republik Indonesia.
Meski demikian, Supersemar kemudian dikukuhkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan cara menerima dan memperkuat surat perintah itu sehingga menjadi sebuah TAP dengan nomor IX/MPRS/1966 tanggal 21 Juni 1966. Dengan begitu, kedudukan Supersemar menjadi sangat kuat dan mengikat semua pihak, sehingga Soekarno tidak bisa lagi mencabutnya.
3. Soekarno menunjukkan dukungannya terhadap sayap kiri

Soekarno menunjukkan dukungannya terhadap sayap kiri dengan mencetuskan ide besarnya yang disebut Nasakom. Istilah ini merupakan singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Konsep ini dipromosikan Soekarno pada tahun 1956.
Nasakom dibentuk sebagai upaya untuk menyatukan berbagai ideologi politik di Indonesia. Saat itu, ia memandang bahwa sistem Demokrasi Parlementer tidak cocok untuk Indonesia karena dianggap melindungi kepentingan kapitalis, sehingga tidak bisa menyejahterakan rakyat.
Kegigihannya dalam mempertahankan Nasakom tentu memiliki sangkut paut dengan eksisnya PKI. Tidak mungkin Nasakom dipertahankan tanpa kehadiran PKI. Namun, seberapa pun gigihnya perjuangan Soekarno dalam mengampanyekan Nasakom, konsep ini akhirnya redup bahkan hilang.
4. Soekarno terindikasi melindungi tokoh-tokoh yang terlibat dalam G30S/PKI

Merangkum buku Mengapa G30S/PKI Gagal? (2014) karya Mayjen. Purn. Samsudin, setidaknya ada empat tindakan Soekarno yang dianggap melindungi tokoh-tokoh G30S/PKI.
Pertama, membiarkan Omar Dhani selaku Menteri/Panglima Angkatan Udara menginap di Istana Bogor, bahkan memberikannya tugas ke luar negeri dalam rangka proyek Komando Pelaksana Pembangunan Industri Penerbangan (Kopelapip).
Kedua, Soekarno tidak mengambil tindakan hukum terhadap Brigadir Jenderal TNI Soepardjo yang secara nyata telah bertindak sebagai pimpinan pelaksana Gerakan 30 September.
Ketiga, Soekarno tidak jadi memberikan political solution terhadap masalah G30S/PKI. Ia malah membentuk Kabinet 100 Menteri yang di dalamnya banyak terdapat orang-orang pro-PKI.
Keempat, Soekarno pada 25 Februari 1966 membubarkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanpa alasan yang jelas. Padahal, KAMI merupakan organisasi yang hadir untuk mengganyang PKI.
Soekarno memang tidak pernah dinyatakan bersalah secara hukum terkait peristiwa G30S/PKI. Tapi, ia diasingkan secara total dan dibatasi dengan sangat ketat dari segala kegiatan. Nahasnya, pada 21 Juni 1970, Soekarno mengembuskan napas terakhirnya dengan status sebagai tahanan politik Orde Baru.
5. TAP MPRS 33 Resmi Dicabut, Tuduhan Bung Karno Dalangi G30S/PKI Gugur

Baru-baru ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI secara resmi mencabut Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967. Adapun TAP MPRS ini berisi bahwa Presiden Sukarno membuat keputusan yang menguntungkan gerakan G30S dan melindungi para tokoh PKI.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet menyerahkan langsung surat pencabutan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 kepada keluarga Presiden pertama RI Sukarno.
Surat itu diterima langsung oleh sejumlah anak Sukarno, antara lain Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Dilansir dari IDN Times, Bamsoet mengatakan MPR telah menerima Surat Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) perihal tindak lanjut tidak berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967.
Dengan begitu, sang Proklamator tak terbukti atas tuduhan tak setia terhadap NKRI dan bersekutu dengan PKI.
“TAP MPRS Nomor 33 Tahun 1967 telah dinyatakan tidak berlaku lagi,” kata Bamsoet, di Gedung MPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (9/9/2024).