IDN Times/Mohamad Ulil Albab
Sementara itu, ditemui terpisah, pakar Ekologi, Jurusan Biologi F-MIPA Universitas Jember, Dra Hari Sulistyowati Msc, PhD menambahkan, kawasan Silo yang merupakan area perkebunan lebih menguntungkan dan sustainable dibandingkan tambang emas.
Sulistyo menilai, perkebunan lebih menguntungkan dibandingkan pertambangan, dilihat dari kebutuhan ekologis, dan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengembalikan ekologis bila ada pertambangan.
Idealnya, kata Sulistyo, di kawasan perkebunan ada 500 pohon tiap hektarnya yang bisa menyerap emisi karbon dan menyumbang oksigen perkotaan. Setiap hari, satu pohon besar mampu menyerap 20,8 Kg karbon.
"Andai ada 500 pohon dalam satu hektar, maka dalam sehari dihasilkan 10.200 kg oksigen per hari. Dan bisa menyerap emisi sebesar 14,1 ton Co2 per hari," katanya.
Bila, di Blok Silo luasan yang ditambang terdapat, 4.023 hektar, 50 persen dari luasan tersebut sudah setara dengan memenuhi kebutuhan oksigen penduduk se-Benua Australia atau 62 persen, penduduk Jawa Timur.
"Andai 50 persen, lahan tambang tetap dipertahankan sebagai wilayah perkebunan, maka dalam sehari bisa mensuplai oksigen 20,4 juta ton per hari. Jumlah itu, bisa memenuhi kebutuhan oksigen harian untuk 24 juta orang. Atau setara seluruh penduduk Benua Australia. Sedangkan emisi yang diturunkan, bisa mencapai, bisa mengurangi emisi hingga 20 juta ton Co2 per hari," katanya.
Dia menegaskan, kawasan produktif yang masih menguntungkan tidak tepat untuk menjadi kawasan tambang, sebab lebih banyak merugikan dibandingkan keuntungan jangka panjang.
"Dan tetap menguntungkan perkebunan, dibanding tambang karena ada sustainable. Dan kalaupun ada tambang, uangnya ngalir kemana, dan mereka hanya jadi pekerjanya saja. Dan biasa selesai di tambang ditinggal. Mengambil keputusan cabut izin menurut saya tepat," tambahnya.