Mainan Rasuah Dana ‘Kenakalan’ Hibah di Daerah

Surabaya, IDN Times - Tiga belas hari usai gegap gempita peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia digelar di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjaring Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simanjuntak, Rabu, 14 Desember 2022 malam.
Sahat ditangkap bersama tiga orang lainnya dalam kasus rasuah dana hibah APBD Provinsi Jatim. Modusnya, politisi kawakan Golkar Jatim itu menjadi pemulus jalan pemberian jatah dana hibah kepada kelompok masyarakat (Pokmas) untuk infrastruktur pedesaan, dengan mematok fee 20 persen dari setiap nilai proyek untuk Sahat dan 10 persen untuk penerima hibah.
Empat orang dikurung KPK dalam kasus ini. Selain Sahat, mereka adalah Rusdi (orang kepercayaan Sahat), Abdul Hamid (Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang), dan Ilham Wahyudi (IW, Koodinator Lapangan Kelompok Masyarakat).
Keterangan KPK menyebut kalau sahat sudah bermain rasuah dana hibah ini sejak tahun 2020. Sahat memainkan anggaran hibah APBD Provinsi Jatim tahun 2021/2022 dan berlanjut ke dana hibah tahun anggaran 2022/2023.
Modus rasuah Sahat mengambil fee dari alokasi hibah ini mengunakan sistem ijon. Pihak Pokmas memberi uang muka kepada Sahat layaknya ‘membeli’ jatah alokasi hibah yang dipastikan dimuluskan pencairannya.
“Besaran dana hibah Pokmas yang difasilitasi Sahat pada tahun 2021 dan 2022 adalah masing-masing sebesar Rp40 miliar,” ujar Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, sehari setelah Sahat ditangkap.
Dalam OTT KPK ini, Sahat diduga menerima uang pemulus Rp5 miliar. Proses pencairan suap lewat kurirnya yang tak lain adalah staf pribadi Sahat yang kemudian menukarkan uang rupiah ke dolar.
Taktik mengeruk dana 'kenakalan' hibah
Kasus Sahat Simanjuntak adalah bagian kecil dari lingkaran setan korupsi dana hibah maupun bansos di Jatim. Menurut pengakuan seorang sumber IDN Times, bancaan dana hibah, khususnya di daerah Madura sudah menjadi rahasia umum. Maka tak heran, kalau anggota dewan berbondong-bondong mengalihkan dana hibah tidak sesuai daerah pemilihannya, tapi dibelokkan ke dapil 14 yakni Madura.
“Sekitar 70 persen paket dana hibah dialihkan ke Madura,” ujarnya kepada IDN Times.
Menurut sumber, alasan wakil rakyat lebih demen mengalirkan alokasi hibah ke daerah Madura karena dirasa tarif fee (ijon) lebih besar dan prosesnya pasti lancar. Bahkan, dalam praktik ini, persentase fee-nya bisa mencapai 30 persen dari nilai proyek.
Contoh nyata ada pada permainan Sahat. Jatah hibah Sahat yang seharusnya disalurkan ke kelompok masyarakat (Pokmas) di daerah pemilihannya atau Dapil 9 (meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi), tapi malah dibelokkan ke dapil 14 kawasan Madura demi meraup untung fee besar.
“Di Madura ini tempat cuci uang dewan,” ucap sumber.
Masih dari cerita seorang sumber, saking tingginya harga pasaran ijon di Madura, sampai muncul juga istilah ‘pengepul paket dana hibah’. Seorang pengepul ini bisa membeli jatah hibah masing-masing anggota dewan untuk dijual kembali ke pasar gelap hibah.
“Pembelinya bisa anggota dewan bisa kepala desa atau Pokmas yang tentu berharap uang ‘kenakalan’ dari pencairan hibah,” katanya.
Maka tak heran, modus yang sudah berjalan bertahun-tahun ini lantas semakin menyuburkan kelompok-kelompok masyarakat abal-abal di desa-desa. Karena memang, Pokmas adalah kunci bagi pencairan hibah. “Satu desa bahkan sampai ada 17 Pokmas. Ini kan ngeri,” kata sumber, kemudian terkekeh.
Soal pencairan hibah lancar, ia menyebut bahwa proposal bisa dibuat dalam semalam saat sudah ada komando dari sang pelicin atau anggota dewan. Tapi, biasanya di awal cuma setor nama Pokmas saja, agar bisa masuk ke Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).
“Kalau sudah pasti ada komando cair, barulah buat proposalnya dibikin tanggal mundur di Kecamatan. Kalau diusut ini bisa sampai Kecamatan,” katanya.
Kalau sudah diinput di awal, biasanya ada dari Dinas tertentu melakukan survei ke Pokmas (sebatas struktur organisasi ada ketua sekretaris, bendahara), lalu dilakukan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), setelah itu pencairan.
“Pencairan itu utuh langsung masuk rekening Pokmas tanpa PPN. Setelah itu pokmas belanja sesuai NPHD. Setelah itu bikin LPJ,” katanya.
Cerita ini menunjukkan betapa mekanisme pencairan itu sangat membuka lebar peluang korupsi. Hal itu pun diamini nggota DPRD Jatim dari dapil Madura, Mathur Husyairi. Ia mengatakan, saat pengajuan hibah itu disetujui, 100 persen dana tersebut ditransfer ke rekening penerima yakni Pokmas. Dana tersebut juga dikelola sepenuhnya oleh penerima dana hibah. Di sinilah peluang sistem ijon diterapkan sangat besar.
"Misalnya ini ada anggaran sekian, kamu bayar di depan kayak yang terjadi (OTT Sahat) ini kan 20 persen, belum lagi penerimanya. Sisa berapa itu nanti yang dibangun, tentu ini yang akan mempengaruhi kualitas (bangunan),” kata Mathur kepada IDN Times, Sabtu (17/12/2022).
Matur membeberkan Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri, dana hibah maksimal 10 persen dari APBD. Karena PAD Jatim Rp18 Triliun dikali 10 persen ketemu Rp1,8 Triliun.
Besaran dana hibah ini pun berdasarkan hasil reses atau serap aspirasi anggota DPRD di daerah pemilihannya masing-masing. Pokok pikiran (pokir) hasil reses itu yang kemudian diajukan dalam pembahasan APBD.
“Tujuan dana hibah ini adalah untuk pengembangan suatu wilayah,” kata Mathur.
Menurut Mathur, besaran pagu dana hibah setiap anggota DPRD ini beragam. Mathur sendiri, mengajukan Rp8 miliar dana hibah untuk dapilnya di Madura di Tahun 2021 dan tahun 2022. Di dapil Madura sendiri ada 12 anggota dewan, itu artinya kalau di rata-rata normalnya Rp8 miliar x 12 ketemu nilai Rp96 miliar.
Tapi, ternyata dana hibah yang masuk ke dapil madura itu lebih dari puluhan miliar. Mathur menunjukkan dokumen di e-pokir yang nempel di aplikasi Kemendagri di Sistem Informasi Daerah. Di dalam e-pokir itu ada daftar 120 anggota dewan yang pengajuan pokmasnya lancar. Ada yang cuma dapat puluhan titik program. Tak sedikit juga yang dapat ratusan titik, seperti 200 sampai 300.
Ada yang di dapil Madura itu sampai 795 titik. Kalau nilai hibah per titik itu Rp100 juta tinggal dikalikan 795 ketemu Rp79 miliar. “Maka sangat jelas, dana hibah yang mengalir ke Madura harusnya ratusan miliar lebih. Informasi ini mestinya bisa diakses oleh masyarakat luas, bukan hanya orang tertentu saja,” kata Mathur.
Mathur melanjutkan, kalau dana hibah 1,8 Triliun bila dihitung rata-rata seluruh anggota DPRD Jatim jumlahnya 120 anggota x Rp8 Miliar, maka jumlah totalnya ketemu Rp960 Miliar.
“Terus 1,8 Triliun dikurangi Rp960 Miliar masih tersisa Rp840 miliar. Terus jatah siapa sisa angka itu. Mungkin ini ranahnya pimpinan dewan dan pimpinan fraksi (ada rapat setengah kamar),” kata Mathur.
Terlepas dari itu, kata Mathur, memang tidak ada transparansi dalam penyaluran dana hibah di Pemprov Jatim. Selain itu, monitoring dan evaluasi (monev) juga tidak ada. “Makanya saya selalu mendesak Pemprov Jatim, pertama harus dibuka data penerima hibah ini, diumumkan saja di website, masyarakat bisa akses, mereka bisa tahu desa saya dapat dari Pemprov Jatim untuk pembangunan ini, masyarakat bisa berpartisipasi,” kata dia.
“Saya sudah pernah menyampaikan ke Gubernur untuk memperbaiki tata kelola, eh WhatsApp saya diblokir, mungkin beliau tersinggung,” pungkas Mathur.
Mathur juga mengaku telah memberi masukan kepada Pemprov Jatim soal dokumen Surat Edaran Gubernur Jatim yang ditandatangani Sekda yang pointnya menyebut bahwa mulai tahun 2019 Pemprov Jatim melarang monitoring dan evaluasi (Monev) ke lokasi, maupun penerima hibah dan Bansos. Monev diperbolehkan hanya pada kelengkapan administrasi.
“Aturan ini belum dicabut, tapi saya sudah sampaikan ke Sekda yang sekarang untuk dicabut atau mengeluarkan edaran baru,” katanya.