Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kenapa Kekerasan Seksual Terjadi di Sekolah Surabaya? Ada 3 Celahnya

Ilustrasi kekerasan seksual terhadap perempuan (IDN Times/Arief Rahmat)

Surabaya, IDN Times - Berulang. Satu kata yang menggambarkan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Terutama di Kota Surabaya yang menyandang predikat kota layak anak. Tapi, kasus kekerasan seksual tidak dapat dicegah. Kasusnya terus bermunculan tiap tahunnya.

Baru-baru ini, ada tujuh siswa Madrasah Ibitidaiyah (MI) di Surabaya menjadi korban kekerasan seksual berupa pencabulan. Pelakunya ialah gurunya sendiri, berinisial AR (31). Kini AR sudah ditangkap sekaligus dijadikan tersangka oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polrestabes Surabaya.

Kendati sudah ditangani, Surabaya Children Crisis Center (SCCC) menyoroti sejumlah hal yang menjadi celah sehingga kekerasan seksual masih marak di lingkungan pendidikan. Khususnya Surabaya.

1. Kurangnya edukasi seks di sekolah

ilustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Aditya Pratama)

Kekerasan seksual di MI ini bukan kali pertama. SCCC menangani dua kasus serupa pada tahun lalu. Pertama, pelakunya seorang pembina pramuka. Kedua, pelakunya oknum guru olahraga. Nah, selama ini kasus kekerasan seksual pencegahannya hanya pada pelaku saja. Tapi korbannya tidak dipersenjatai.

"Anak juga harus diberikan penguatan informasi dan edukasi," ujarnya Ketua SCCC, Sulkhan Alif Fauzi kepada IDN Times, Senin (27/2/2023).

Sehingga, ketika ada guru yang akan melakukan kekerasan seksual, maka anak-anak bisa melakukan perlindungan diri. Karena sudah mendapatkan informasi. Sebab tak dimungkiri masih banyak anak yang tidak tahu kalau dirinya sudah menjadi korban kekerasan seksual.

"Tapi di Indonesia ini seks edukasi masih dianggap tabuh. Jadi anak tidak tahu benar dan salah. Gurunya bahkan ada yang tidak tahu, kalau hal seperti ini (pencabulan) ada pasalnya," kata Alif.

2. Satgas Kekerasan Seksual amanah Permendikbud diduga belum dibentuk

Ilustrasi Kekerasan Seksual pada Anak (Dok.Pribadi/Kristina Jessica)

Selain pendidikan atau edukasi seksual, Alif melihat dinas pendidikan kurang berperan dalam pencegahan kekerasan seksual di lingkungan sekolah. Padahal, Kementerian Pendidikan sudah menerbitkan Permendikbud tentang penghapusan kekerasan seksual di lingkup sekolah.

"Ada Satgas Kekerasan Seksual yang dibentuk sekolah dan kampus. Ketika ada Permendikbud dikeluarkan tapi tetap ada kejadian, berarti kurang seriusnya dinas pendidikan dan sekolah terkait ini," kata dia.

"Saya juga mempertanyakan apakah sekolah tahu terkait hal ini (Permendikbud)?," tanya Alif. Dia mencurigai kalau dinas pendidikan tidak sosialisasi ke sekolah. Bahkan Satgas Kekerasan Seksual di sekolah tidak pernah ada.

3. Ancaman hukuman kekerasan seksual anak belum tersosialisasi dengan baik.

Ilustrasi kekerasan seksual di kos-kosan. (IDN Times/Aditya Pratama

Lebih lanjut, Alif menyoroti dari sisi pelaku. Dia melihat hukuman yang sudah diputus atau divoniskan ke pelaku kekerasan seksual seolah tak membuat pelaku lain jera. Contohnya, oknum pembina pramuka yang melakukan kekerasan seksual diputus hukuman kebiri. Tap nyatanya, kekerasan seksual masih marak terjadi.

Nah, Alif pun mendorong agar meningkatkan perhatian terhadap kesehatan mental dan reproduksi anak. Kemudian mengajak masyarakat untuk lebih terbuka dengan melek hukum. Sehingga ketika ada niatan kekerasan seksual, maka takut dengan bayang-bayang hukuman yang mengancam.

"Kebanyakan selama ini belum tersosialisasi ancaman hukuman ini. Pelaku tak tahu kalau hukuman kekerasan seksual apalagi terhadap anak ini berat. Jadi tidak ada rasa takut karena tidak tahu itu," pungkas dia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ardiansyah Fajar
EditorArdiansyah Fajar
Follow Us