Seutas Senyum dan Untaian Mimpi Guru Honorer dari Tanah Para Pahlawan

#SelamatHariGuru, hormat kami kepada pahlawan masa kini

Surabaya, IDN Times- “Hari Kamis nggeh, di rumah saja, habis magrib,” kata Melyani Dwi Astuti kepadaku melalui WhatsApp pada Rabu, (16/11), pukul 14.34 WIB.  Pesan singkat Mely, sapaan akrabnya, mengantarku kepada sebuah rumah yang berada di kawasan Simo Gunung, Surabaya, Kamis (17/11), keesokan harinya.

Jarum jam menunjukkan angka 18.41 WIB. Sudah lebih dari setengah jam aku mencari alamat yang Mely berikan. Maklum, sebagai generasi milenial, aku lebih suka menggantungkan pencarian jalan kepada Google Maps. Sekalipun itu tidak akurat.

Perjalanan malam itu berakhir pada gang sempit yang hanya bisa dilewati oleh dua motor. Ku tengok kanan dan kiri, mencari rumah bernomor 31. Di ujung jalan, terlihat seorang perempuan berkerudung pink yang memenggal kecanggunganku.

“Mas Rahman ya?” tanya perempuan yang kala itu sedang bersantai di beranda depan rumah.

Nggeh, bu,” sahutku sembari melepas helm. Ku perhatikan sekeliling rumah, sekilas aku melihat angka 31 yang ditulis dengan cat hitam. “Ibu Mely ya?” tanyaku balik.  

“Monggo mas, masuk!” tandas dia seraya melambaikan tangan. Mempersilakan masuk.

Sejumlah kucing menyambut kedatanganku. Sekilas ada lebih dari 10 kucing. Di halaman rumah itu, juga terlihat tumpukan mangkok makanan hewan.

“Kucing liar mas, cuma ya saya sisihkan gaji saya untuk beliin makanan. Jadi pada ngumpul di sini terus,” kata dia.

Memasuki ruang tamu, sudah tersaji dua botol minuman kemasan di atas seutas karpet berwarna biru. Kipas angin juga sudah menyala. Berputar mengembuskan angin semriwing. Sepertinya Mely sudah menantikan kedatanganku.

Dia pun duduk. Mempersiapkan diri untuk berbagi cerita. Hingga 50 menit ke depan, Mely menghanyutkanku ke dalam lautan pengabdian yang telah dia lewati selama lebih dari 23 tahun.

“Saya jadi guru honorer sejak 1993 sampai sekarang. Ya mungkin belum rezeki, makanya gagal terus tes CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil). Sampai sekarang usia sudah lebih dari 35, sudah gak bisa ikut tes lagi,” ungkap Mely.\

Antara mengeluh atau sudah mengikhlaskan, demikian terpapar dari raut wajahnya.

 

1. Niat dalam hati untuk mencerdaskan anak bangsa

Seutas Senyum dan Untaian Mimpi Guru Honorer dari Tanah Para PahlawanMely bersama koleksi buku-bukunya. IDN Times/Vanny El Rahman

Perempuan kelahiran 4 April 1970 ini dibesarkan oleh seorang ayah yang berprofesi sebagai guru. Perlahan, muncul dalam benaknya untuk meneruskan ikhtiar baik sang ayah. Bukan perkara mudah bagi perempuan berusia 49 tahun ini untuk mewujudkan cita-citanya.

Selepas menuntaskan Sekolah Menengah Atas (SMA), Mely langsung bekerja di sejumlah pabrik. Dia sadar, keterbatasan kualitas seorang Mely muda belum bisa menghantarkannya menjadi seorang guru. Alhasil, uang yang dihasilkan dari jerih payah seorang buruh, disisihkan untuk mengambil kursus sembari mempersiapkan uang kuliah.

“Saya lulus SMA tahun 1988, sejak itu langsung jadi buruh. Pulang dari pabrik jam 3 langsung ngajar TPA (Taman Pendidikan Alquran). Uangnya saya kumpulkan, nyambi kursus biar dapat ijazah,” kata Mely dengan tutur yang begitu lembut dan santun. Terlihat sangat begitu penyayang. Rasa-rasanya dia adalah guru yang disenangi oleh para muridnya.

Dari tabungan yang dia sisihkan, Mely berhasil menundukkan bangku kuliah. Belum puas mendapat gelar sarjana pendidikan bahasa Inggris dari Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Mely kemudian menamatkan studi magisternya di STIE Mahardika. Sebagai pelengkap syarat administrasi guru, ia bahkan berkuliah lagi di Universitas Terbuka.

Hingga pada 1993, untuk pertama kalinya, Mely bekerja sebagai guru agama di SDN Putat Jaya. “Waktu itu gajinya Rp65 ribu per bulan,” tambahnya.

Sesaat ia ingin bercerita, sesekali bicaranya terputus karena ada kucing yang lalu lalang di hadapannya. Mereka seolah mencari perhatian Mely.

“Terus nyabang di SD lain dan SMP Dewantara. Gajinya ya kecil tapi butuh uang. Karena gak boleh mengajar di dua tempat, akhirnya saya memilih di SDN Kupang Krajan karena jadi guru kelas. Sampai sekarang," ungkapnya.

Mely paham betul, guru bukan pekerjaan yang membuatnya kaya. Menapaki usia pengabdiannya yang ke-20, ia baru bisa merasakan gaji setara dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). Itu pun diiringi peluh setelah terlibat dalam sejumlah aksi.

Kendati sulit, tak pernah terbesit dalam benaknya untuk menjajal pekerjaan lain. “Niat ingsun (saya) mencerdaskan anak bangsa. Gak ada pikiran coba pekerjaan lain. Soalnya saya senang dengan keluguan dan kepolosan anak-anak,” jelas dia.

2. Tak kunjung ada kepastian soal pengangkatan PNS

Seutas Senyum dan Untaian Mimpi Guru Honorer dari Tanah Para PahlawanHonorer K2 menggelar aksi (Dok. IDN Times/Istimewa)

Selama 23 tahun mengabdi, bukan hanya sekali Mely mengikuti tes CPNS. Sebelum menginjak usia ke-35, hampir setiap tahun Mely mengikuti rekrutmen demi menjadi abdi negara. “Saya dulu pernah nyoba sampai tes ke Gresik. Sekarang sudah dimakan usia, gak bisa lagi ikut tes,” keluhnya.

Seiring kegagalan menghadapi tes CPNS, selama itu pula Mely diganjar dengan upah yang sangat jauh dari layak. Seingatnya, hampir 10 tahun ia hanya mendapat Rp600 ribu per bulan.

Satu-satunya harapan dia adalah pemerintah segera mengangkat pegawai honorer kategori 2 (K2) menjadi PNS. Untuk diketahui, K2 adalah sebutan bagi tenaga honorer yang diangkat per 1 Januri 2005. Artinya, terhitung hingga 2019, mereka telah bekerja sebagai tenaga honorer sekurangnya salama 14 tahun.

Namun, harapan itu pupus setelah Pemerintah Pusat memastikan bahwa jalur perekrutan PNS hanya melalui CPNS. Tenaga honorer K2 yang sudah berusia lebih dari 35 tahun dipersilakan menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K).

“Kami itu maunya PNS bukan P3K. Kalau PNS, kami berarti ada kejelasan. Kalau P3K nanti ada evaluasinya, kalau sudah gak dibutuhkan, kami bisa disingkirkan aja. Ya kami resah, kayak pemerintah gak ada komitmennya,” terang Mely.

Selain itu, guru honorer K2 di Surabaya yang diangkat menjadi P3K justru mengalami penurunan gaji. Mely mengakui, Kota Pahlawan di bawah kepemimpinan Tri Rismaharini sangat memperhatikan kesejahteraan guru. Dalam lima tahun terakhir, gaji guru honorer terus naik. Bahkan, gaji Mely saat ini sudah setara dengan UMK Surabaya atau sekitar Rp3,8 juta.

“Tahun depan malah dijanjiin naik lagi. Makanya kami maunya diangkat PNS. Kalau P3K, gak ada jenjang karirnya, terus malah turun gajinya. Kalau PNS, walaupun turun sedikit gajinya, tapi ada kenaikan tiap berapa tahunnya,” kali ini senyum harap terpancar dari raut wajahnya.

3. Pengabdian yang terabaikan

Seutas Senyum dan Untaian Mimpi Guru Honorer dari Tanah Para PahlawanEko Mardiono memberikan arahan kepada honorer K2 (Dok. IDN Times/Istimewa)

Bagi Koordinator Wilayah (Korwil) Perkumpulan Honorer K2 Jawa Timur Eko Mardiono, permasalahan K2 adalah cerminan negara dalam memperlakukan masyarakatnya. Selama ini negara lupa bahwa mereka telah memberikan satu-satunya harta yang paling berharga. Yaitu waktu untuk mencerdaskan anak bangsa.

“Pemerintah bilang pengangkatan PNS gak bisa bagi yang sudah berusia 35 tahun ke atas. Ini kan diskriminasi. Pemerintah gak melihat bagaimana pengabdian teman-teman selama ini,” terang Eko, sapaan hangatnya, melalui sambungan telepon kepada IDN Times.

Oleh sebab itu, menurut Eko, pengangkatan honorer K2 menjadi P3K bukan merupakan solusi. “P3K itu mestinya untuk teman-teman honorer yang gak punya pengabdian. Kalau yang K2 diangkat jadi P3K, pengabdian mereka selama ini hilang. Ingat, teman-teman itu dulu digaji sangat kecil. Kami (honorer K2) UMK itu baru 2012an,” beber dia lebih lanjut.

Memasuki masa rekrutmen PNS, menjadi detik-detik yang menegangkan bagi para guru honorer. Tahun ini, Surabaya membuka formasi PNS untuk guru sebanyak 428 orang. Tidak menutup kemungkinan guru honorer yang sudah mengabdi puluhan tahun terdepak oleh PNS yang baru diangkat.

“Karena situasinya seperti ini, kami berharap kalau ada CPNS jangan lah teman-teman yang honorer dipindahkan, digantikan dengan guru-guru baru. Masak tega sih negara sama rakyatnya sendiri disiksa begitu,” sambung Eko.

“Coba bayangkan, beban kerja teman-teman K2 ini gak ada bedanya sama PNS, tapi secara gaji masih kalah. Seandainya nanti ada guru baru masuk, mereka gak ada perbedaan tingkat, padahal sudah puluhan tahun kerja. Nanti akan muncul kecemburuan.”

Baca Juga: Kisah Guru Honorer di Pedalaman Kaltim, Upah Minim Hingga Bertemu Ular

4. Surabaya tergolong bagus dalam pengelolaan guru honorer

Seutas Senyum dan Untaian Mimpi Guru Honorer dari Tanah Para PahlawanWali Kota Surabaya Tri Rismaharini. IDN Times/Fitria MAdia

Terlepas dari bagaimana Pemerintah Pusat melihat permasalahan guru honorer, Eko dan Mely bersyukur menjadi warga Surabaya. Menurut mereka berdua, Risma adalah sosok kepala daerah yang berhasil memberi secercah harapan kepada para guru honorer.

“Wah Bu Risma sangat bagus. Beliau bahkan ingin guru honorer K2 diangkat PNS. Beliau juga sudah menyurati Kemenpan RB,” tutur Eko.

Hal itu juga diamini oleh Mely. “Insya Allah sama Bu Risma lebih baik. Kami dikasih JKN yang bayarnya setengah-setengah, kami sama pemkot,” sebutnya saat ditanya soal usaha Risma terhadap guru honorer.

Tidak hanya guru negeri yang merasakan manfaat dari kepemimpinan Risma, Pemkot Surabaya bahkan juga berjanji jika guru swasta untuk tingkat SD dan SMP akan digaji sesuai UMK. Bagi Eko, ini adalah sikap keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya.

“Surabaya memang kompleks masalah guru honorer, tapi kami masih optimistis dengan pemerintah kota. Kalau dibanding kabupaten/kota yang lain, Surabaya ini jauh lebih baik,” kata Eko.

Menurut Eko, keunggulan Surabaya dibanding dengan kota lain adalah pendapatan daerah yang besar. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2015 pendapatan daerah Surabaya mencapai Rp6,6 triliun, naik menjadi Rp6,8 triliun pada 2016, selanjutnya pada 2017 menjadi Rp8 triliun, hingga Rp8,1 triliun pada 2018.

Angka di atas dua kali lipat dari Bojonegoro yang menempati urutan kedua sebagai kabupaten dengan pendapatan daerah terbesar kedua di Jawa Timur senilai Rp4,7 triliun pada 2018. Disusul oleh Sidoarjo dengan angka Rp4,2 triliun. Adapun daerah dengan pendapatan terendah adalah Mojokerto dengan Rp872 miliar.

“Pendapatan Surabaya ini tinggi, kalau pemerintah gak menggaji guru honorer sesuai UMK, ya keterlaluan. Makanya, Bu Risma berani angkat honorer K2 jadi PNS karena secara anggaran Surabaya itu mampu. Tapi sayangnya gak ada regulasinya dari pusat,” kata Eko.

Kabar baik lainnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Surabaya 2020 senilai Rp10,3 triliun, anggaran prioritas sebesar 21 persen dialokasikan ke pendidikan. Penggunaannya bakal disesuaikan untuk urusan sarana dan prasarana pendidikan, infrastruktur, pendidikan gratis, hingga kesejahteraan guru.

Namun sayang, kesejahteraan itu hanya dirasakan oleh guru SD dan SMP yang pengelolaannya dinaungi oleh Pemkot Surabaya. Lain derita bagi guru SMA dan SMK yang dinaungi oleh Pemprov Jawa Timur.

“Nah itu yang jadi permasalahan lain. Sebetulnya ada kecemburuan antara guru SMA dengan SMP dan SD. Teman-teman yang mengajar di SMA gajinya masih Rp3 juta sampai Rp3,5 juta sekian. Mereka (guru SD, SMP, dan SMA) padahal kerja di kota yang sama, tapi gajinya berbeda,” terang Eko sembari mengingatkan janji Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang katanya ingin menyejahterakan guru SMA dan setingkat.

5. Pemangku kebijakan di Surabaya kompak mendukung kesejahteraan guru

Seutas Senyum dan Untaian Mimpi Guru Honorer dari Tanah Para PahlawanInfografis guru honorer K2 di Surabaya. IDN Times/Arief Rahmat

Lebih jauh, peningkatan kesejahteraan guru honorer adalah komitmen pemerintah kota bersama anggota dewan guna menjaga nama baik Surabaya sebagai barometer pendidikan di Indonesia. Dari 21 persen alokasi APBD untuk pendidikan, sekitar Rp96 miliar bakal diperuntukkan untuk kesejahteraan 6.273 guru SD dan SMP negeri, serta 60 pengawas sekolah di Surabaya.

“Kualitas pendidikan jadi perhatian semua pihak. Termasuk peningkatan kualitas sekolah swasta, makanya mereka ada pembinaan, karena mereka punya peran signifikan dalam peningkatan kualitas pendidikan di Surabaya,” terang Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya Khusnul Khotimah saat dihubungi IDN Times, Senin (18/11).

Anggota dewan yang akrab dengan dunia pendidikan ini sadar bahwa pemerintah kota belum bisa menuntaskan permasalahan guru honorer K2. Akar permasalahannya adalah ketiadaan regulasi yang memungkinkan pemerintah daerah mengangkat guru honorer K2 menjadi PNS.

“Aturan pusat berubah-berubah. Pernah diusulkan dengan P3K, sehingga mereka mendapat gaji sesuai UMK. Tapi guru di Surabaya sudah UMK sebelum diangkat P3K,” tambahnya.

Dia melanjutkan, dewan tidak pernah menutup mata terhadap persoalan tersebut.

"Ada guru yang mengajar sampai 30 jam, padahal aturannya hanya 24 jam (per minggu). Karena itu, sudah sepatutnya mereka diberikan reward. Kalau ditanya cukup atau tidak, itu kan subjektif, tapi kami berusaha yang terbaik sesuai kemampuan anggaran daerah," lanjutnya.

Politikus PDIP itu berharap, pemerintah pusat menerapkan pendekatan lokal guna menyelesaikan permasalahan honorer K2. Khusnul membayangkan, kegiatan pendidikan di Surabaya bermula dari siswa-siswi yang senang berangkat sekolah, serta guru yang lebih antusias dalam mengajar. Semua itu bisa terwujud hanya dengan kepastian hukum.

“Kebutuhan PNS di Surabaya ini paling banyak guru, dengan catatan yang pensiun setiap tahun 600-700 orang. Kalau gak ditopang oleh tenaga K2, banyak kegiatan di Surabaya tidak berjalan. Karenanya, pemerintah pusat harus menangkap fenomena itu. Harus ada kepastian hukum untuk mereka (guru K2),” tutup dia.

6. Guru adalah aset negara yang harus dijaga

Seutas Senyum dan Untaian Mimpi Guru Honorer dari Tanah Para PahlawanMely menunjukkan karya tulisnya (IDN Times/Vanny El Rahman)

Eko mengaku, banyak dari teman-temannya yang tidak menginginkan buah hatinya menjadi seorang guru. Betapa tidak, melihat bagaimana mereka kesulitan hidup hari ini, rasa-rasanya beban moral dan pengabdian yang dipikul tidak setara dengan apresiasi negara.

“Mereka itu gajinya pas-pasan, ada di daerah-daerah yang belum UMK, kalau minta surat keterangan miskin, ada beban moralnya, padahal benar-benar gak mampu. Hari ini ya, kalau misal suaminya yang bekerja sebagai guru honorer, istrinya tidak bekerja, gak akan bisa itu menguliahkan anaknya,” demikian Eko menyampaikan keluhan rekan seperjuangannya.

Dia menambahkan, “Apa iya kalau diniatkan untuk mengabdi, terus guru digaji kecil gitu? Wong presiden dan polisi juga mengabdi, katanya ikhlas, itu juga tetap digaji kok.”

Kembali ke kediaman Mely, di bawah bangunan seluas 4x22 meter, perempuan yang memiliki hobi menulis ini menyayangkan sikap pemerintah yang belum mengangkat K2 menjadi PNS. “Teman seperjuangan saya sudah ada yang meninggal. Mereka bahkan belum sempat merasakan nikmatnya.”

Istana tempat dia tinggal sangat sederhana. Sebagian dinding rumahnya masih ada yang berlatarkan bata merah. Namun, tiap senti dari bangunan tersebut adalah saksi perjuangan Mely sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.

“Ya ini rumah masih nyicil, pelan-pelan,” jawab Mely saat aku tanya tentang rumahnya.

Potret Mely mungkin gambaran guru idaman versi mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang kini menjabat sebagai Menko bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy. Dia pernah berkata, “Kalau sekarang guru gajinya sedikit, nikmati saja, nanti masuk surga.”

Sembari memamerkan sejumlah buku yang sudah ia terbitkan, Mely berharap kesejahteraan guru kian diperhatikan. Dia tidak menampik bila ada beberapa kasus kriminal yang melibatkan guru honorer. Tuntutan ekonomi kadang membuat hidup tidak punya pilihan.

Namun bagi Mely, guru adalah tauladan. Bekerja secara ikhas. Tanpa pamrih. Bila negara gagal menyajikan kesejahteraan, bukan hal yang mustahil seorang guru tidak bisa menunaikan tugasnya sebagai Ing Ngarsa Sung Tulada.

“Masa depan guru sangat tergantung kami sebagai guru. Kalau kami bisa merangkul mereka (murid) dan memberikan contoh baik, pasti akan banyak yang bercita-cita jadi guru. Tapi kalau tidak jadi tauladan, itu hanya memberikan coreng hitam terhadap guru,” tutup Mely. Sekaligus mengakhiri ruang dialog kami malam itu.

Baca Juga: Guru Honorer Berusia 35 Tahun Bisa Ikut Tes CPNS via Jalur Ini

Topik:

  • Vanny El Rahman
  • Dida Tenola

Berita Terkini Lainnya