Kekhawatiran Aktivis Lingkungan Soal Proyek Surabaya Waterfront Land

Khawatir banjir di Surabaya semakin parah

Surabaya, IDN Times - Proyek Strategi Nasional (PSN) reklamasi, Surabaya Waterfront Land (SWL) mendapat kekhawatiran sejumlah pihak, termasuk dari aktivis lingkungan. Ada berbagai aspek yang dikawatkan aktivis lingkungan, mulai dari proyek yang dikhawatirkan tak sesuai Sustainable Development Goals (SDG), resapan korban hingga sedimentasi yang bisa membuat daratan Surabaya semakin banjir. 

PSN berada di sisi timur Surabaya tersebut masuk dalam Rancangan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian tentang Perubahan Kelima Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

PSN yang terkait Kota Surabaya adalah pembangunan Fly Over dari dan menuju Terminal Teluk Lamong, Double Track Jawa Selatan, SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Umbulan, dan Kawasan Pesisir Terpadu Surabaya Waterfront Land (SWL). Untuk SWL, PT Granting Jaya merupakan operator dari proyek tersebut. Proyek ini mereklamasi lahan seluas 1.084 hektar di sisi timur Surabaya dengan nilai investasi Rp72 triliun.

Rencana reklamasi ini mencakup empat blok. Pertama yakni Blok A, blok A memiliki luas 84 hektar yang akan menjadi pusat pariwisata dan hunian. Di dalamny lengkap dengan perkantoran, hotel, ruko, dan kawasan rekreasi. Blok ini juga memiliki area konservasi mangrove.

Kedua Blok B, wilayah tersebut memiliki luas 120 hektar akan digunakan untuk zona perikanan, pelabuhan perikanan modern, pasar ikan segar, cold storage, pusat lelang perikanan, fasilitas pemeliharaan kapal, pusat perbelanjaan, industri olahan hasil laut, UMKM hasil laut, balai latihan perikanan, pusat pembibitan. Bahkan, di blok tersebut juga akan ada perumahan nelayan modern.

Ketiga Blok C, wilayah ini memiliki luas 260 hekta. Area tersebut akan menjadi zona kemaritiman, menampung kompleks marina, museum maritim nasional, convention center, hotel, dermaga, pusat pengembangan ilmu pengetahuan kemaritiman, perguruan tinggi aspek kemaritiman, ruko, area komersial, villa estate, apartemen, dan kompleks pendidikan umum.

Dan yang terakhir Blok D, wilayah tersebut memiliki luas 620 hektar akan menjadi pusat hiburan dan bisnis, dengan hall pertunjukan, hotel, apartemen,kompleks ruko, SWL Square, pasar produk ekonomi kreatif, dan industri zero emission yang ramah lingkungan.

Aktivis lingkungan dari Katulistiwa, Maulana Hidayat khawatir pembangunan ini tidak sejalan dengan yang diupayakan di dunia International yakni SDG. Kekhawatiran itu ia sampaikan saat melakukan pertemuan dengan PT Granting Jaya selaku operator proyek, Kamis (25/7/2024). 

"Hari ini kita dipaparin itu hanya satu pilar saja, padahal ngomongin SDG itu ngomongin lingkungan hidup, ada empat pilar, ini satu pilar (yang dipaparkan) dan para ahli semua itu (memaparkan) yang manis-manis saja, tapi apakah mereka bersinergi dengan pilar-pilar lain," ujarnya. 

Di samping itu, pengembang juga tidak melakukan perhitungan karbon. Pihak pengembang hanya melakukan perhitungan resapan karbon dari mangrove saja. 

"Saya baca tadi, oksigen atau resapan karbon yang bisa dilakukan hanya dari mangrove, padahal gak itu saja limbah, listrik mereka yang dihasilkan pasti dari PLN yang menggunakan batu bara. Harus dihitung, oleh mereka ternyata gak bisa dihitung atau belum dihitung," ungkap dia. 

"Mereka memandang bahwa mangrove itu pohon, bukan, mangrove itu hutan, itu ada ekosistem, kepiting dan sebagainya. Dan itu sangat berkoleksi dengan kehidupan masyarakatnya," tambahnya.

Tak hanya itu, ia juga khawatir sedimentasi dari proyek tersebut akan membuat banjir di Surabaya semakin parah. Apalagi, dalam perencanaan proyek, jarak antara daratan Surabaya dengan pulau buatan hanya 300 meter. 

"Para pakar tadi cuma menyebutkan sungai primer, sekunder debitnya bisa dihitung atau enggak. Tadi mereka hanya estimasi saja debit itu," terangnya. 

Seharusnya, para pakar membantu pemerintah dalam menyelesaikan masalah banjir di Surabaya. Bukan malah membantu industri untuk melanggengkan proyek ambisius ini. 

"Banjir itu permasalahan paling utama, lah yang lucunya mereka pakar mengapa mereka tidak membantu pemerintah hari ini yang menjadi masalah. Malah membantu peran industri yang omong kosong, yang nyata mereka gak mau bantu larinya air mereka gak ngomong," pungkasnya.

Setidaknya ada empat orang pakar yang hadir dalam pertemuan tersebut sebagai legitimasi penguat kelayakan proyek. Salah satu pakar yang merupakan Dosen Departemen Teknik Sipil ITS, Satria Damar Negara. mengatakan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah kajian dan perencanaan soal banjir.  

"Memang awal itu, kalau dari sisi banjir, karena reklamasi kan gak nempel (degan daratan), jadi catatan kami itu tidak boleh ada perubahan di hilir, dari semua badan air utama dan primer yang mengalir itu diakomodir sekitar 300 meter, istilahnya kanal," kata Damar. 

Ia yakin tak ada sedimentasi di proyek reklamasi tersebut. Dengan catatan di hilir sungai tidak boleh ada sedimentasi. 

"Kalau dari hasil hilirnya tidak tersedimentasi, secara otomatis tidak akan ada pengaruh dari performa yang ada tadi. Kecuali kalau hilirnya terganggu, nah itu pasti ada permasalahan. Makanya hasil kajian kemarin kita sangat bergantung pada hilir," ungkapnya. 

Menurutnya, sedimentasi saat ini sudah terjadi di pesisir Surabaya. Bila proyek tersebut jadi, ia mengklaim sedimentasi bisa berkurang.

"Sepertinya memang kondisi aslinya sudah terjadi sedimentasi. Bahkan nanti setelah direklamasi proses sedimentasinya berkurang,  asalkan hilirnya tidak terganggu otomatis area itu juga tidak terganggu," tambah Damar. 

Meski begitu, sedimentasi di sungai-sungai pesisir Surabaya sebenarnya tak terlalu besar. Sebab tidak ada sumber sedimentasi langsung seperti pasir, berbeda dengan sungai Brantas yang memiliki sedimentasi cukup besar. 

"Kalau sungai-sungau yang mengalir ke timur itu kan sebagian besar hulunya sebagian besar sudah hampir terbangun, jadi secara sumber sedimen masif itu tidak ada dan bahkan hasil sedimen yang ada di sana itu sumbernya dari laut semua," terang dia. 

Pihaknya menjamin, proyek ini tidak akan membuat banjir di Surabaya semakin parah, degan catatan kondisi hilir sungai di Suraabya tidak terganggu. Bila hilirnya saja sudah terganggunya maka akan ada pengaruh di hulu sungai yang mengakibatkan banjir.  

"Tapi kalau dari hasil kajian terakhir memang tidak pengaruh penambahan sedimentasi di hilir, maka potensi banjir akibat reklamasi itu tidak ada," tuturnya. 

Kemudian, soal jarak pulau reklamasi dengan daratan Surabaya yang hanya terpaut 300 meter, Damar menyebut itu tak ada masalah. Bila melihat pasang surut air laut di pesisir Surabaya, maka jarak 300 meter itu tak akan ada perubahan. 

"Karena pasang surut itu kan kecepatan gelombang naik turunnya kan pelan dan kita cek dengan debit yang mengalir ke sana itu tidak ada perubahan pasang surut. Nanti kajian detailnya ada seperti itu," pungkas dia. 

Topik:

  • Faiz Nashrillah
  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya