Gunung Es Kasus COVID-19 di Kota Surabaya

Perjalanan mula Surabaya menjadi gunung es COVID-19

Surabaya, IDN Times - Siti Aminah ingat bagaimana rasanya hampir tiap hari ia dihantui kekhawatiran sekitar bulan April hingga Mei 2020. Berkali-kali ia menelepon pihak Rumah Sakit PHC, tempat mertuanya dirawat sebagai pasien terkonfirmasi positif COVID-19. Ia selalu memastikan bagaimana keadaan sang mertua. Kekhawatiran Siti bukannya tak beralasan. Sang mertua, Kamtin sudah berusia 100 tahun. Usia yang cukup rentan ketika terjangkit COVID-19. Beruntung, Kamtin dengan gigihnya bisa bertahan hingga dinyatakan sembuh dari COVID-19.

Hingga saat ini Siti tak yakin darimana Kamtin tertular virus corona. Di rumah yang ditinggali Kamtin tepatnya di Jalan Gresik PPI, belum ada yang mengeluh sakit apalagi terjaring rantai tracing COVID-19. Memang salah satu anak Kamtin adalah pedagang tahu di Pasar PPI, salah satu pasar yang menjadi klaster besar di Kota Surabaya. Namun Siti yakin, saat itu kakaknya tidak tergolong sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), apalagi terkonfirmasi positif COVID-19.

Kamtin termasuk salah satu orang yang beruntung lantaran bisa bertahan dari jeratan COVID-19 dibanding 338 pasien lainnya (data tanggal 18/6) harus meregang nyawa akibat virus corona. Tetap saja, Siti berharap jika saat itu tracing dilakukan lebih masif, mungkin nenek Kamtin tak perlu merasakan sakitnya dihinggapi COVID-19 hingga harus diisolasi selama hampir satu bulan, lama terpisah dari keluarga.

1. Lambatnya penggunaan rapid test dalam tracing di awal kasus

Gunung Es Kasus COVID-19 di Kota SurabayaKepala Dinas Kesehatan Kota Surabaya Febria Rachmanita saat ditemui di kampanye pencegahan anak stunting, Rabu (18/12). IDN Times/Fitria Madia

Kasus yang menimpa nenek Kamtin merupakan salah satu contoh bagaimana cepatnya rantai penularan virus corona hingga sampai kepada sosok nenek yang jarang beraktivitas di luar rumah. Mirisnya, setelah nenek Kamtin dinyatakan positif COVID-19, tidak ada tindak lanjut berupa pemeriksaan kondisi anggota keluarga di rumah sang nenek. Barulah dua minggu kemudian seluruh anggota keluarga mengikuti tes cepat massal dengan hasil 3 orang terkonfirmasi positif COVID-19 tanpa gejala.

“Setelah rapid test itu kan reaktif. Saat di-swab ternyata positif lalu diisolasi di Asrama Haji,” tutur Siti.

Yang jadi pertanyaan, dalam jangka waktu dua minggu setelah nenek Kamtin dinyatakan positif COVID-19, sudah berapa orang yang ditulari oleh tiga anggota keluarganya? Sayangnya, penanganan saat itu lambat hingga entah berapa orang yang terjangkit COVID-19 bahkan hingga meninggal akibat penularan yang tak diketahui itu.

Koordinator Bidang Pencegahan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Surabaya Febria Rachmanita mengaku bahwa lambatnya penanganan hasil tracing menyebabkan melebarnya jaring penularan. Saat itu, pihaknya kesulitan mendapatkan alat rapid test. Sedangkan belum banyak rumah sakit yang bisa melakukan tes swab PCR. Laboratorium yang mampu melakukan uji spesimen pun masih terbatas.

“Jika seandainya rapid dulu tidak susah, bisa tidak sampai seperti ini. Dulu kita gak punya alat rapid, swab susah. Dulu nunggu 2 minggu, 3 minggu. Akhirnya malah nular ke yang lain,” tutur Feny, sapaan akrab Febria.

Keterlambatan pencegahan melalui metode testing inilah yang akhirnya membuat kondisi yang disebut oleh salah satu pakar epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Dr. Windhu Purnomo sebagai fenomena gunung es di Kota Surabaya. Jumlah kasus yang dapat diketahui masih sedikit dibanding jumlah kasus sebenarnya akibat minimnya alat tes. Bahayanya, kasus-kasus yang tidak diketahui ini lah yang akhirnya menyebabkan pesatnya pertumbuhan COVID-19 di Surabaya.

“Memang itu salah satu penyebab utama terjadi fenomena gunung es pada kasus COVID-19 di Surabaya,” sebut Windhu.

2. Surabaya sebagai gunung es COVID-19

Gunung Es Kasus COVID-19 di Kota SurabayaData gunung es COVID-19 di Surabaya. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

Kenyataan bahwa ternyata kasus COVID-19 di Kota Surabaya sebenarnya merupakan gunung es mulai terungkap saat pertama kali terjadi lonjakan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 pada 12 April 2020. Saat itu jumlah kasus masih 97 lalu tiba-tiba meningkat menjadi 180 kasus. Ini merupakan kali pertama terjadi lonjakan yang signifikan di Kota Surabaya. Setelah itu, dalam sehari selalu ada penambahan sekitar 20-40 kasus terkonfirmasi COVID-19. Jumlah ini merupakan berkali-kali lipat penambahan kasus yang terjadi pada bulan Maret hingga pertengahan April. Di awal kasus, dalam sehari hanya sekitar 5 pasien saja yang bertambah. Bahkan pada 5 sampai 8 April sempat tidak terjadi penambahan kasus sama sekali.

Ternyata angka yang kecil di awal-awal kasus tidak benar-benar menunjukkan bahwa kasus COVID-19 di Kota Surabaya hanya sedikit. Saat bantuan rapid test dan tes swab PCR datang dari mobil Badan Intelijen Negara (BIN) serta Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) datang, lonjakan yang benar-benar tinggi barulah terjadi. Pada 21 Mei kasus bertambah dari 1.255 menjadi 1.566, 311 tambahan kasus dalam sehari. Keesokan harinya bertambah lagi menjadi 1.617 lalu 1.927. Bahkan, kondisi ini terjadi saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah berlangsung selama berminggu-minggu.

“Angka yang tinggi itu tidak semata-mata kondisi Surabaya buruk. Tapi itu menunjukkan testing yang semakin masif. Namun tetap saja itu tidak menunjukkan kondisi yang baik juga,” sebut Windhu.

Pasalnya, peningkatan kasus yang tiba-tiba menunjukkan bagaimana banyaknya kasus-kasus yang selama ini tidak diketahui. Tak heran, banyak kasus pasien berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang meninggal di Kota Surabaya sebelum hasil tes swab-nya keluar. Hal ini juga yang akhirnya membuat angka kematian Kota Surabaya tinggi bahkan menjadi kota dengan angka kematian tertinggi hingga saat ini di Indonesia yaitu 338 orang.

Selain itu, hingga saat ini fenomena gunung es tersebut diperkirakan masih terjadi. Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia sempat melakukan perkiraan perhitungan jumlah kasus sebenarnya yang ada di Kota Surabaya. Dari perhitungan mereka, diperkirakan masih ada 319.300-532.166 kasus COVID-19 yang belum terungkap di Kota Surabaya.

“Memang peningkatan itu karena ada sumbangan juga kemampuan testing. Tapi itu belum ideal. Jangan lihat dari peningkatan kasus yang absolute. Lihat kematian dan Rt kita. Kondisinya sungguh tidak baik,” ungkap Windhu.

3. Sulitnya mendapat alat rapid test

Gunung Es Kasus COVID-19 di Kota SurabayaGrafik kumulatif konfirmasi positif COVID-19 Kota Surabaya per tanggal 20 Juni. Dok situs Surabaya Tanggap COVID-19

Feny mengungkapkan bahwa pihaknya bukan berarti sengaja tidak melakukan tes secara masif sejak awal kasus sebagai bentuk pencegahan penularan. Yang terjadi saat itu adalah mereka kesulitan untuk mendapatkan pasokan alat rapid test. Ketika itu belum banyak bantuan rapid test datang. Pihak-pihak swasta dan masyarakat yang menyumbang ke Pemkot Surabaya didominasi bahan pangan dan Alat Pelindung Diri (APD).

Bahkan di akhir Maret, Pemkot baru mendapatkan bantuan rapid test dari Yayasan Tzu Chu Budha sebanyak 160 alat dan dari Kemenkes sebanyak 460 alat. Setelah itu tak banyak lagi bantuan rapid test yang datang. Bahkan hingga 20 April, baru 1.730 kali rapid test baru dilakukan dalam kurun waktu satu bulan virus corona bersarang di Surabaya. Tentu jumlah yang sangat kecil dibandingkan kapasitas rapid test saat ini yang bisa mencapai 2.000 kali per harinya.

Dengan jumlah rapid test yang terbatas, tracing dengan rapid test pun tak bisa berjalan maksimal. Ketika itu orang yang berhak mendapat rapid test hanyalah ODP bergejala dan tenaga kesehatan. Padahal kemungkinan masih banyak Orang Tanpa Gejala (OTG), saat itu disebut sebagai Orang Dengan Resiko (ODR), yang kemungkinan menjadi super spreader virus corona.

“Susah. Sangat susah. Saya pesan dari Januari gak datang-datang. Mungkin yang mau kasih sumbangan juga dapatnya juga susah,” tutur Feny.

4. Tak masifnya testing sejak di tingkat provinsi

Gunung Es Kasus COVID-19 di Kota SurabayaGrafik hasil tes massal oleh Gugus Tugas Penanganan COVID-19 Jatim tangfal 5-19 Juni 2020. Dok istimewa

Kesulitan mendapatkan alat rapid test ini sebenarnya bisa diatasi apabila terjadi tindakan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Pakar epidemiologi dari Universitas Indonesia, Dr. Pandu Riono mengatakan bahwa minimnya alat rapid test hingga berujung pada lambannya tracing memang terjadi di seluruh daerah di Indonesia. Namun beberapa daerah bisa segera bangkit dan memperbaiki keadaan. Salah satunya di Jawa Barat.

“Iya, terlambat jadinya penanganan di Jatim. Di daerah lain terjadi juga tapi cepat teratasi. Di Jawa Barat cepat sekali memperbaiki,” tutur Pandu.

Di akhir Maret, baik Jatim dan Jabar sama-sama mendapatkan bantuan rapid test sejumlah 10.000 alat dari pemerintah pusat. Jabar pun langung melakukan rapid test massal menggunakan sistem drive through pada 25 Maret dan di pusatkan di daerah-daerah zona merah. Testing secara masif terus dilakukan mengingat telah ada beberapa klaster COVID-19 yang terdeteksi di Jabar. Akhirnya pada 29 Maret, 10.459 rapid test telah digunakan dengan hasil 121 orang reaktif. Tes secara masif ini dilakukan terus menerus. Pada 3 April, sudah 15 ribu hasil rapid test dilaporkan dari 61 ribu alat yang disebar di seluruh Jabar. Hasilnya, 677 orang dinyatakan reaktif.

Jumlah ini sangat kontras jika dibandingkan dengan Jatim yang terkesan “pelit” dengan alat rapid test. Pada 31 Maret sebenarnya Jatim telah memiliki 9.580 alat rapid test. Namun hanya 1.316 alat saja yang baru digunakan dengan hasil 28 orang reaktif. Jumlah ini pun tak bertambah signifikan. Bahkan pada 10 April, baru 10.886 rapid test yang digunakan kepada 7.147 tenaga kesehatan, 934 PDP, 1.523 ODP, dan 1.218 OTG dengan hasil 264 orang reaktif.

“Jabar testingnya bagus. Langung testing dan dilakukan isolasi. Tanpa tes kita tidak tahu orang terinfeksi siapa. Ini yang banyak orang tidak sadar pentingnya testing,” imbuhnya.

Alhasil, Jabar pada masa-masa awal akumulasi kasus COVID-19 selalu berada di atas Jatim karena tes yang masif. Kapasitas laboratorium untuk menguji sampel swab PCR pun terus ditingkatkan hingga 5.838 spesimen perhari (data tanggal 23 Mei). Padahal Jatim hanya mampu menguji 1.564 spesimen per hari (data tanggal 14). Namun kini pencegahan yang dilakukan Jabar dirasa berhasil lantaran penambahan kasus kian menurun, hanya puluhan orang saja per harinya. Berbeda dengan Jatim yang saat ini kasusnya sudah 4 kali lipat dari Jabar dan terus bertambah ratusan kasus setiap hari.

Ketua Rumpun Tracing Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Jatim dr Kohar Hari Santoso mengatakan pada masa awal-awal penanganan COVID-19 memang pihaknya masih menemuni kendala dan belum mengerti bagaimana tracing dan testing yang baik. Namun kini pihaknya sudah memperbaiki dengan memperbanyak alat rapid tes dan melaksanakan tes massal tertarget.

"Saat awal-awal itu kan memang ada kendala koordinasi. Semacam itu kan. Tapi saat ini kan sudah banyak," tutur Kohar.

5. Bandelnya masyarakat dan kegagalan PSBB

Gunung Es Kasus COVID-19 di Kota SurabayaPosko PSBB di perbatasan Surabaya-Sidoarjo, tepatnya di daerah Pondok Candra. IDN Times/Faiz Nashrillah

Namun terlambatnya tes massal bukan menjadi satu-satunya faktor yang menyebabkan tingginya kasus COVID-19 di Kota Surabaya. Tentu saja, peran masyarakat memberikan sumbangsih pada menyebarnya virus corona. Bahkan, saat dilaksanakan PSBB sebagai salah satu upaya pengontrolan masyarakat di Kota Surabaya hingga tiga jilid, peran masyarakat masih dirasa kurang dalam penanganan pandemik COVID-19 ini.

PSBB jilid pertama di Kota Surabaya saja sudah terlambat. Banyak pihak mulai dari DPRD Kota Surabaya, Pemprov Jatim, Polda Jatim, pakar, hingga Kodam V/ Brawijaya yang sudah mendorong agar Pemkot segera mengajukan permintaan PSBB sejak 13 April 2020, tak lama setelah lonjakan kasus pertama kali terjadi. Namun PSBB ini baru dijalankan pada 28 April 2020. Alasannya, selama ini Pemkot Surabaya sudah menjalankan poin-poin PSBB.

Tak hanya terlambat, pelaksanaan PSBB jilid pertama juga dirasa tidak efektif. Pemkot Surabaya mengatakan banyak terjadi pelanggaran Perwali Kota Surabaya nomor 16 tahun 2020 di masyarakat seperti rumah makan yang tidak tertib jam malam dan masih menyediakan kursi untuk makan ditempat, warung-warung kopi yang masih buka, masjid yang masih menyelenggarakan beribadatan, dan lainnya.

“Jadi masih ada pelanggaran-pelanggaran dalam PSBB ini. Dan menjadi bagian dari evaluasi kita supaya masyarakat lebih patuh,” ujar Eddy Christijanto yang saat itu menjabat sebagai Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Surabaya, Selasa (5/5)

Windhu yang saat itu menjadi tim epidemiolog untuk menilai keberhasilan PSBB Surabaya juga merasa gagal. Menurutnya, Pemkot Surabaya tidak bisa memberikan sanksi tegas bagi para pelanggar PSBB. Sehingga masyarakat merasa tidak ada perbedaan signifikan antara sebelum dan sesudah PSBB. Oleh karenanya, masyarakat tetap berkeliaran bahkan berjubelan di pusat perbelanjaan hingga menjadi viral di media sosial.

“Surabaya ini kelemahannya saat memutuskan PSBB sampai transisi tidak sungguh-sungguh. Kontrol pemerintah itu lemah seakan-akan oleh masyarakat dianggap seperti tidak apa-apa,” tegas Windhu.

Hal senada juga dirasakan oleh Pandu. Meski bukan warga Surabaya, namun Pandu mengamati perkembangan kasus dan budaya orang Surabaya. Ia hanya bisa geleng-geleng kepala melihat bandelnya warga Surabaya meski telah diberi pengertian mengenai bahaya COVID-19.

“Jadi ini memang susah. Surabaya ternyata gak mungkin melakukan pembatasan sosial. Penduduknya bandel semua, pengen jalan semua,” ungkap Pandu.

6. Kasus semakin meningkat, PSBB dihentikan

Gunung Es Kasus COVID-19 di Kota SurabayaPosko PSBB di perbatasan Surabaya-Sidoarjo, tepatnya di daerah Pondok Candra. IDN Times/Faiz Nashrillah

Segala problematika yang terjadi di Kota Surabaya akhirnya berdampak pada kondisi epidemiologis COVID-19 saat ini. Akumulasi kasus terkonfirmasi COVID-19 di Kota Surabaya sudah mencapai 4.467 orang (data tanggal 20 Juni) yang terus bertambah sekitar 100 orang tiap harinya. Di tengah tinggi-tingginya kasus, PSBB yang sudah berjalan selama 3 jilid pun dihentikan dan memasuki masa new normal dengan transisi selama dua pekan sejak 9 Juni 2020.

Di masa new normal selama pandemik COVID-19 ini, Pemkot Surabaya melakukan pelonggaran terhadap poin-poin yang ada di PSBB. Namun protokol kesehatan juga harus tetap ditegakkan. Cara ini ditempuh berdasarkan faktor ekonomi karena bisa mengakhiri penderitaan masyarakat yang tidak bisa bekerja selama PSBB namun tetap berpatuh pada protokol kesehatan.

Pandu berpendapat bahwa pilihan yang cukup tepat. Menurutnya pelaksanaan PSBB dirasa percuma di Kota Surabaya dengan kondisi masyarakat yang membandel. Namun satu catatan Pandu, Pemkot Surabaya harus bisa memastikan peraturan protokol kesehatan yang tertuang dalam Perwali Kota Surabaya nomor 20 tahun 2020 tentang new normal bisa dijalankan dengan baik.

“Daripada dibikin susah, masyarakat yang patuh gak bisa makan, yang gak patuh juga banyak. Akhirnya ya sudah dibuka saja.

Tapi sekarang dalam situasi seperti ini Pemkot Surabaya harus lebih ketat dalam mempromosikan penggunaan masker,” tuturnya.

Namun Windhu memberikan catatan tersendiri pada keputusan new normal ini. Ia menilai bahwa Pemkot masih belum tegas dalam pemberian sanksi kepada pelanggar protokol kesehatan. Pasalnya di Kota Surabaya sanksi terberat untuk pelanggar protokol kesehatan adalah penyitaan KTP dan pencabutan perizinan jika pelanggaran yang dibuat dinilai berat.

“Namanya transisi tapi orang-orang lepas bebas seperti tidak ada apa-apa karena penegakan hukumnya kurang,” tegasnya.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini rupanya lebih memilih pendekatan secara persuasif daripada represif. Ia disebut lebih ingin merangkul daripada menekan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan. Yang bisa ia lakukan saat ini adalah mengharapkan kesadaran masyarakat agar bisa disiplin tanpa harus dihantui sanksi tegas berupa denda atau apapun.

“Ibu Wali Kota menaruh kepercayaan kepada masyarakat. Dengan begitu kesadaran masyarakat akan tumbuh. Ketika kesadaran sudah tumbuh, itu lah mitigasi yang sebenarnya,” jelas Wakil Sekretaris Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Kota Surabaya, Irvan Widyanto.

Baca Juga: Risma Persilakan Pemprov Gunakan RS Swasta untuk Pasien COVID-19

7. Solusi untuk kondisi pandemik Kota Surabaya

Gunung Es Kasus COVID-19 di Kota SurabayaKondisi Tunjungan Plaza saat hari pertama usainya PSBB, Selasa (9/6). IDN Times/Fitria Madia

Untuk mengatasi kasus COVID-19 di Kota Surabaya yang terlanjur tinggi ini, para pakar memberikan solusi. Pandu mengatakan ada tiga hal utama yang harus diperhatikan oleh Pemkot Surabaya dalam penanganan kasus. Yang pertama adalah terus melakukan tes secara masif. Meski kini mobil bantuan dari BIN dan BNPB sudah harus ditarik kembali di Jakarta, Pandu menyarankan agar Pemkot tetap mempertahankan kapasitas tes baik rapid test maupun tes swab PCR seperti saat dibantu dua mobil itu.

“Minta lagi pertahankan. Testing ini memang sudah seharusnya dimasif. Jangan yang sudah ada itu dikembalikan,” sebutnya.

Poin kedua yaitu penambahan kapasitas ruang isolasi bagi para OTG terkonfirmasi positif COVID-19. Pandu menilai budaya warga Surabaya kurang cocok untuk penerapan isolasi mandiri dengan kepadatan penduduk yang ada. Ia khawatir, saat diisolasi, OTG tersebut malah menularkan kepada anggota keluarga atau tetangga. Jika OTG langsung dipisahkan dan diisolasi di tempat yang disediakan, maka bisa menjadi pencegahan terhadap penularan berikutnya.

“Harus dicari tempat-tempat seperti Asrama Haji itu bagus tapi harus ditambah. Balai latihan itu dipinjam saja semua. Daripada pinjam hotel,” imbuhnya.

Yang ketiga, Pandu menyarankan ada pengawalan protokol COVID-19 di tingkat komunitas atau warga. Ia pun berharap penuh pada konsep Kampung Tangguh Wani Jogo Suroboyo yang hendak diterapkan di seluruh RW di Kota Surabaya. Menurutnya, cara ini merupakan satu-satunya solusi saat tidak adanya sanksi tegas yang diberikan.

Namun di sisi lain, Windhu tetap kekeuh berharap adanya penerapan sanksi tegas terhadap para pelanggar protokol COVID-19. Ia menitik beratkan pada kondisi pasien meninggal yang terus meningkat meski Rt Kota Surabaya saat ini sudah berada di angka 1. Angka kematian tersebut menurutnya disebabkan kapasitas rumah sakit yang tidak memadai untuk menampung tumpahan pasien COVID-19.

“Kita sia-sia menambah kapasitas kalau penularan terus terjadi. Sia-sia kita tambah kalau makin banyak kasusnya. Sebetulnya paling penting itu adalah menurunkan tingkat penularan,” ungkapnya.

Untuk itu ia menginginkan adanya perubahan regulasi pada peraturan new normal di Kota Surabaya agar sanksi lebih dipertegas. Jika sanksi dipertegas, maka masyarakat akan lebih menurut sehingga angka penularan bisa ditekan. Setidaknya cara itu yang dianggap cocok dengan kondisi warga Kota Surabaya.

“Sekarang kita tahu sendiri, arek-arek ini kan gini ini (bandel). Lalu lintas saja ada undang-undang dan sanksinya kalau melanggar. Apalagi pandemik seperti ini? Kalau terus dibiarkan maka otomatis kasus naik. Sampai semua tertular baru turun, tapi bawa korban karena yang meninggal banyak. Kita gak boleh membiarkan banyak orang yang meninggal,” pungkasnya.

Diharapkan dengan solusi-solusi yang disampaikan, tidak akan lagi terjadi penularan-penularan di Kota Surabaya. Tidak akan ada lagi kisah nenek Kamtin lain yang harus berjuang melawan COVID-19 di tengah usia senjanya.

"Yang penting kata Emak (Kamtin) jangan lupa jaga kesehatan, jaga kebersihan. Kalau sakit itu nurut, istirahat dan minum obat. Semoga kita dijauhi dari musibah ini," harap Siti Aminah.

Baca Juga: Ratusan Anak di Kota Surabaya Positif COVID-19, Tertular dari Keluarga

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya