Membasuh Luka Anak Penyintas Kekerasan Seksual di Jatim

Ayo bersama hentikan kekerasan seksual!

Surabaya, IDN Times – Kepalanya tertunduk. Wajahnya murung. Sesekali, ia mencuri-curi pandang. Tapi, ketika dipandang balik, bola mata itu langsung menyorot ke arah lantai. Sementara bibirnya tertutup rapat. Tak ada sepatah kata yang keluar. Bak dikunci ganda. Memendam rahasia peristiwa keji yang menimpanya. Dia trauma.

Shiren—bukan nama sebenarnya—masih takut ketika bertemu laki-laki dewasa. Anak perempuan berusia 14 tahun itu tak merespons sama sekali saat diajak bicara oleh pendamping dari Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Sulkhan Alif Fauzi. Pelajar yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) itu tak berani melihat wajah Sulkhan, bahkan melangkah mundur saat pendampingnya itu mulai mendekat.

Gelagat yang sama juga ditunjukkan Shiren kepada ayahnya sendiri. Dia masih enggan beririsan dengan laki-laki, usai perbuatan bejat pamannya berinisial SG yang tega memperkosanya di kamar kosan di kawasan Kelurahan Kedurus, Kecamatan Karangpilang, Kota Surabaya. Dari sinilah, Sulkhan sudah cukup paham bahwa penyintas yang didampinginya trauma berat.

Baca Juga: Jejak Video Call Jadi Bukti Dugaan Pelecehan Seksual Dosen Unesa

Mendampingi proses hukum dan memulihkan korban

Membasuh Luka Anak Penyintas Kekerasan Seksual di JatimPendamping penyintas kekerasan seksual dari SCCC, Sulkhan Alif Fauzi saat wawancara dengan IDN Times. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Sulkhan mulai memutar otak. Dia mencari resep supaya Shiren tetap mau memberikan keterangan ke polisi. Kasus ini sendiri telah ditangani oleh Polrestabes Surabaya. SG ditetapkan sebagai tersangka. Tapi, kasus tak hanya sampai di situ. Masih ada rangkaian penyidikan dan persidangan. Maka, sangat perlu pendampingan bagi penyintas dan keluarganya.

"Kami libatkan psikolog dari DP3AK (Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindugan Anak dan Kependudukan) Jatim (Jawa Timur) untuk pemulihan secara psikologi, psikososialnya, mempersiapkan nanti ketika dia (korban) mau sidang," ujarnya saat ditemui di markas SCCC, Babatan Indah, Kecamatan Wiyung, Kota Surabaya, Senin (17/1/2022).

Pelibatan psikolog anak ini ternyata berbuah hasil. Shiren mau bercerita kepada psikolog mengenai pemerkosaan yang menimpanya. Bahkan, ada fakta-fakta baru yang terungkap kalau perbuatan bejat pamannya, SG, dibantu oleh bibinya. Tersangka SG tak hanya satu kali memperkosa korban. Namun sampai tiga kali.

"Psikolog juga menyarankan kalau keluarga korban pindah ke tempat kos baru," kata Sulkhan. "Tapi untuk rumah aman, dirasa belum perlu bagi korban. Nanti, korban merasa dijauhkan dari keluarganya," dia menambahkan.

Sementara untuk pendampingan, Sulkhan memantau dari jauh. Sebab, ketika ia mendampingi penyintas untuk pemeriksaan di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes Surabaya, Shiren tak mau bicara sama sekali. "Padahal penyidiknya perempuan, yang bertanya penyidik, dia tetap tidak mau jawab. Ya, karena ada saya di situ," katanya.

"Ketika tetangganya (perempuan) yang mendampingi, dia sudah mau bercerita ke penyidik. Karena sudah nyaman, sudah percaya dengan tetangganya tadi. Jadi traumanya menurutku sangat besar, sampai sama ayahnya sendiri saja tidak berani," Sulkhan mengungkapkan.

Melihat kondisi ini, Sulkhan menaksir pemulihan Shiren tidak bisa singkat satu sampai dua bulan. Dia menyebut bahwa penyintas kekerasan seksual ini butuh waktu paling cepat ialah enam bulan. "Tantangannya bagi kami, menyiapkan anak ini berani ngomong di persidangan. Ini cukup susah, karena ngomong dengan kami saja masih tidak mau," ucap laki-laki asli Lamongan ini.

Kendati begitu, Sulkhan sudah memikirkan langkah-langkah ke depan untuk penanganan terhadap Shiren. Yang jelas, dia akan membawa ke psikolog lebih sering. SCCC sendiri berusaha agar pertemuan atau konsultasi antara penyintas kekerasan seksual dengan psikolog dapat dijadwalkan seminggu sekali. "Kami usahakan seminggu sekali," katanya. "Biar dia terbiasa dengan psikolognya serta sama kami pendampingnya juga," dia melanjutkan.

Sulkhan berharap kasus ini dikembangkan oleh polisi. Sebab, istri SG yang juga bibi korban, sangat layak ditetapkan sebagai tersangka. Karena terlibat dalam kasus ini. Dia juga ingin, kasus ini segera disidangkan, serta tersangka diberi hukuman seberat-beratnya. Pasalnya, kasus ini bak fenomena gunung es. Masih banyak kekerasan seksual lainnya yang dialami anak-anak di Jatim.

Kekerasan seksual di Jatim naik selama pandemik COVID-19, perlunya edukasi seksual

Membasuh Luka Anak Penyintas Kekerasan Seksual di JatimSekretaris SCCC, Ancha dan Ketua SCCC, Tis'at saat ditemui di Markas SCCC. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Berdasarkan data Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jatim, kasus kekerasan terhadap anak naik tajam sepanjang 2021 jika dibandingkan tahun 2020 lalu. Tercatat ada 196 kekerasan anak selama 2020, sedangkan pada 2021 ada 368 kekerasan anak di Jatim. Jika dirinci lagi, kekerasan seksual terhadap anak selama 2020 sebanyak 80 kasus, lalu sepanjang 2021 sebanyak 101 kasus.

Banyaknya kekerasan seksual selama pandemik COVID-19 ini diakui oleh Sekretaris SCCC, Ancha Maulana. Pihaknya mendampingi 20 lebih anak, penyintas kekerasan seksual. Nah, dari yang didampinginya memang rata-rata menjadi korban dari orang terdekatnya. Seperti halnya kasus Shiren, pelakunya ialah pamannya sendiri.

"Memang orang dekat ini yang paling banyak menjadi pelakunya. Bisa dari tetangga, saudara bahkan orangtuanya sendiri. Bisa juga gurunya, ini saya rasa yang ngeri," kata dia.

Ancha tak menampik jika rumah bukan jaminan tempat yang aman. Hal ini juga berlaku di lingkungan pendidikan, yang mana masih kerap dijumpai kasus-kasus kekerasan seksual terjadi di sini. "Sebenarnya semua tempat berpotensi, tapi sekarang ini memang banyak dijumpai kasus itu malah terjadi di rumahnya dan tempat pendidikan. Maka dari itu, kami mengintervensi orangtua supaya melakukan perlindungan yang baik dan benar. Seperti mengasuh dan menanamkan nilai-nilai kebaikan," katanya. Karena mayoritas korban usia sekolah, rentan SD-SMP.

Senada dengan Ancha, Ketua SCCC, Tis’at Afriandi menyebut bahwa benteng paling utama untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual terhadap anak ialah keluarga. Orangtua wajib memberikan edukasi tentang seksual kepada anaknya. "Kalau dulu kita ngomong seksual tabuh, justru sekarang dalam perkembangannya, anak dengan mudah mengakses konten belum cukup umur via ponsel," katanya.

"Harusnya, anak dapat informasi itu lebih dulu dari orangtua. Daripada mendapatkan informasi dari luar. Makanya edukasi seksual sejak dini ini penting. Mungkin bahasanya, dan bentuknya saja yang disesuaikan dengan umur anak," dia melanjutkan.

Tak hanya dari orangtua atau keluarga saja, Tis’at mendorong agar edukasi seksual ini juga diberikan kepada anak-anak sejak duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA). Menurut dia, pembelajaran tentang seksual di Indonesia masih sangat kurang apalagi di lingkup sekolah.

"Harusnya semua jenjang pendidikan diberikan edukasi seksual di usia dini. Pendidikan ini juga perlu diberikan kepada orangtuanya, sehingga ketika anak di rumah, nantinya orangtua bisa memberikan pemahaman yang sama seperti di sekolah," Tis’at menyarankan

Bahu membahu lakukan pencegahan, penanganan dan pemulihan anak penyintas

Membasuh Luka Anak Penyintas Kekerasan Seksual di JatimIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Mia Amalia)

Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak di Jatim ini menjadi Pekerjaan Rumah (PR) tersendiri bagi pemerintah provinsi (pemprov). Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Jatim yang menaungi anak-anak, menyiapkan strategi khusus untuk menekan kasus kekerasan seksual. Berupa pencegahan, penanganan serta pemulihan bagi para penyintas.

Nah, dalam pencegahan kekerasan seksual anak ini, DP3AK melibatkan instansi lain di pemerintah kota/ kabupaten. Kemudian, ada juga pelibatan jejaring anak. Saat ini tersebar 21 jejaring anak yang kerja sama dengan DP3AK Jatim. Hasil kerja sama ini berbuah laporan, selama pandemik COVID-19 diakuinya banyak kejadian kekerasan seksual anak ini terjadi di rumah.

"Banyak kejadian di rumah, sehingga titik awal sosialisasi kami di rumah tangga," kata Kepala DP3AK Jatim, Restu Novi Windiani saat dihubungi via telepon, Kamis (20/1/2022). Selain pemerintah kota/ kabupaten, sosialiasi yang dilakukan menggandeng pemerintah desa/ kelurahan. "Karena kepanjangan tangan kami memang sampai desa," Novi menambahkan.

Selanjutnya untuk penanganan, DP3AK bekerja sama dengan kepolisian. Termasuk dengan lembaga legislatif dalam hal ini DPRD untuk mendorong pembuatan Unit Pelayanan Teknis (UPT) khusus melayani kekerasan terhadap perempuan dan anak. UPT ini rencananya mulai beroperasi pada Februari 2022. "Nanti bulan depan kami akan operasi maksimal UPT ini," ucap Novi.

UPT ini, sambung Novi, juga akan jemput bola menangani kasus kekerasan seksual. Pasalnya, masih banyak penyintas yang kesulitan melapor. "Nanti di Februari, kami akan ada rapat penguatan peran pusat pelayanan terpadu, kami harap tidak tunggu korban datang. Penjangkauannya, baik viral maupun nonviral. Kami tidak bisa duduk menunggu korban datang melapor," dia menegaskan.

Tak kalah pentingnya, sambung Novi, ialah pemulihan. Ketika kasus ini sudah diputus dalam persidangan alias inkrah, anak-anak penyintas kekerasan seksual harus dipastikan kelanjutan pendidikan dan kesehatannya. Salah satu yang sudah dilakukan DP3AK baru-baru ini memberikan pendampingan orangtua anak penyintas kekerasan seksual.

"Anak ini harus pindah dari kota kejadiannya, kami berikan pendampingan ke orangtuanya, kami sampaikan anak ini harus melanjutkan sekolah, tidak terputus, sehingga rumah aman yang bisa menjaga dia, kami titikan di UPT Dinas Sosial, ini sudah berjalan dua kasus. Ini contoh yang bisa dilakukan pemerintah kabupaten/ kota juga," Novi menerangkan.

Khusus untuk pemulihan kesehatan, DP3AK menyiapkan sejumlah psikolog. Termasuk psikolog di luar DP3AK jika kasus yang ditangani banyak. Seperti psikolog dari Rumah Sakit Bhayangkara, Polda Jatim, psikolog dari sejumlah perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. "Ketersediaan psikolog sekarang ini cukup, teknisnya kalau di kabupaten/ kota kurang, kami langsung bantu," kata Novi.

Justru, lanjut dia, psikolog banyak dibutuhkan di kota-kota besar seperti Surabaya. Sebab, tak dimungkiri oleh DP3AK dan SCCC bahwa kasus kekerasan seksual dengan korban anak-anak ini masih rentan di perkotaan. Maka dari itu, penanganan lebih serius harus dilakukan oleh kepolisian yang berada di wilayah perkotaan.

Pangkas birokrasi untuk kasus kekerasan seksual

Membasuh Luka Anak Penyintas Kekerasan Seksual di JatimSalah satu coretan di tembok Markas SCCC. IDN Times/Ardiansyah Fajar

Data Unit PPA Satreskrim Polrestabes Surabaya, selama tiga tahun terakhir mencatat, kasus kekerasan seksual terhadap anak terbilang cukup tinggi. Sebanyak 29 kasus pencabulan anak, 43 kasus persetubuhan anak dan 22 kasus kekerasan fisik anak sepanjang 2019. Kemudian, 27 kasus pencabulan anak, 53 kasus persetubuhan anak dan 16 kasus kekerasan fisik anak selama 2020. Selanjutnya, ada 30 kasus pencabulan anak, 24 kasus persetubuhan anak dan 20 kasus kekerasan fisik anak sepanjang 2021 lalu.

Melihat data tersebut, Kepala Satreskrim Polrestabes Surabaya, AKBP Mirzal Maluana menegaskan, dalam penanganan pihaknya tak hanya fokus pada perkara hukum semata. Kepolisian Kota Pahlawan juga menitik beratkan perlindungan pada para penyintas. Tujuannya, supaya mereka dapat cepat pulih seperti sedia kala.

"Kami lebih kepada perlindungan korban. Makanya dengan program pangkas presisi, kami sinergi dengan instansi terkait untuk melindungi korban," Mirzal menegaskan.

Pembuatan aplikasi program pangkas presisi ini disiapkan nomor khusus penerimaan pengaduan Unit PPA Satresrim Polrestabes Surabaya yang terhubung dengan Command Center 110 dan nomor WhatsApp Lapor Pak Kapolrestabes Surabaya. Upaya ini dilakukan guna membuka akses dan kecepatan dalam merespons laporan atau pengaduan masyarakat terkait kasus tindak pidana kekerasan seksual di Surabaya.

Namun, seberat-beratnya hukuman pidana yang divoniskan kepada predator seksual, tetap tak sebanding dengan kerugian yang dialami penyintasnya. Tentu, perlu kesadaran bersama agar kasus kekerasan seksual dapat diberangus. Seperti tulisan di tembok markas SCCC yang menyiratkan pesan bahwa yang paling berharga bagi bangsa dan negara Indonesia ialah anak-anak.

"Bisa jadi jumlah anak-anak hanya 30 persen dari penduduk Indonesia, namun mereka adalah 100 persen dari masa depan bangsa dan negara".

Baca Juga: 4 Lembaga Dorong Penyelesaian Kasus Kekerasan Seksual Santri Jombang

Topik:

  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya