Belajar Merawat Kebhinnekaan dari 'Desa Atas Awan' Ngadas

Potret toleransi dari lereng Bromo-Semeru

Malang, IDN Times - Hawa dingin menusuk tubuh ketika tiba di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang. Beberapa warga nampak bersantai di depan rumah. Mereka memakai pakaian serba panjang yang dilapisi sarung dengan kombinasi kupluk rajut di kepala. Mereka adalah Suku Tengger yang tinggal di lereng Bromo-Semeru.

Sebagian pria dewasa terlihat menghisap rokoknya dalam-dalam, seakan ingin mengusir dinginnya hawa yang merasuki tubuh. Kepulan asapnya pun dihempaskan kemudian menyatu dengan kabut tipis yang menyelimuti desa. Tak banyak sapaan yang dilontarkan para warga di sini. Mereka hanya melempar senyum sembari menganggukan kepala. Itu pertanda sapaan. Ramah.

1. Ngadas, desa di atas awan

Belajar Merawat Kebhinnekaan dari 'Desa Atas Awan' NgadasSeorang pengunjung melihat masjid di Desa Atas Awan (IDN Times/Ardiansyah Fajar)

Desa Ngadas memang terkenal dengan hawanya yang dingin. Maklum, letaknya berada di ketinggian 2.150 meter di atas permukaan laut (mdpl).  Karena kondisi geografisnya tersebut, Ngadas kerap disebut sebagai "Desa Atas Awan".

Kesejukan tak cuma soal cuaca, toleransi di sana juga terpancar jelas. Ngadas, punya tiga tempat ibadah bagi warganya, yaitu masjid, pura dan vihara.

"Di sini ada tiga agama, masyarakat guyub rukun," ujar Kepala Desa (Kades), Ngadas, Mujianto saat ditemui, Minggu (15/9).

Menurut Mujianto, dari 526 jiwa penduduk, 50 persen memeluk agama Budha, 40 persen muslim, sementara 10 persen sisanya penganut Hindu. Meski begitu, perbedaan kepercayaan tak membentuk jurang di antara mereka.

Kerukunan yang disebut Mujianto bukan omong kosong belaka. IDN Times membuktikannya langsung. Kebetulan, waktu itu sedang digelar acara adat. Yaitu Upacara Karo. Berbagai prosesi dilakukan secara khidmat oleh masyarakat Tengger di Desa Ngadas.

2. Upacara Karo, bentuk toleransi di Desa Ngadas

Belajar Merawat Kebhinnekaan dari 'Desa Atas Awan' NgadasSeorang dukun bernama Sutomo membaca mantra kepada leluhur Suku Tengger dalam Upacara Karo (IDN Times/Ardiansyah Fajar)

Menariknya, mereka tidak memandang dari segi agama ketika melaksanakan Upacara Karo. Pada Sabtu (14/9) malam, para masyarakat Tengger di sini berbondong-bondong ke balai desa. Mereka melakukan ritual mepek. Yakni membawa hasil bumi untuk disajikan dalam rangkaian acara adat.

"Acara Karo merukunkan seluruh umat di Desa Ngadas. Prosesi karo ini mulai dari tenaga biaya semuanya dari masyarakat," kata Mujianto.

Mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu hingga anak-anak terlihat semangat memberikan apa yang dimilikinya untuk upacara adat Sementara di luar gedung balai desa, para pemuda bergotong royong mendirikan panggung acara. Mereka bergantian menata gamelan di atas panggung.

Ketika azan asar terdengar, beberapa yang beragama Islam segera izin melakukan ibadah salat ke masjid. Tak ada rasa kesal yang ditunjukkan masyarakat Tengger lainnya yang memeluk agama Budha maupun Hindu. Mereka mempersilahkan dengan ramah. Sungguh indah.

"Sik yo, langgar (bentar ya ke musala)," teriak salah seorang masyarakat seraya meninggalkan balai desa.

Setelah waktu Salat Asar, pimpinan desa yang terdiri dari kades, ketua adat dan dukun melanjutkan Upacara Karo. Mereka sudah berganti pakaian serba hitam dan kombinasi sarung yang dililitkan ke tubuh. Ditambah lagi, ada udeng khas Tengger. Kali ini masyarakat melakukan prosesi kajad semeningah. Acara ini merupakan awal dimulainya hajadan.

Baca Juga: Gedung Setan Surabaya, Miniatur Indonesia yang Tersembunyi

3. Sederet acara adat dilaksanakan pada malam hari

Belajar Merawat Kebhinnekaan dari 'Desa Atas Awan' NgadasPimpinan Desa Ngadas dan tokoh masyarakat Suku Tengger saat Upacara Karo (IDN Times/Ardiansyah Fajar)

Seorang dukun bernama Sutomo ambil bagian di sini. Di depan sesaji ia komat-kamit membacakan mantra-mantra untuk para leluhurnya. Hanya perwakilan saja yang ada di dalam balai desa. Sementara masyarakat Tengger lainnya menunggu di luar gedung balai desa.

Kemudian prosesi dilanjutkan ke punden, makam leluhur dan sumber mata air. Acara adat ini dinamakan ngaturake, yang artinya memberitahu atau meminta izin leluhur desa. Dipimpin Sutomo, masyarakat berjalan bersama diiringi gamelan serta dua orang sinden.

Tak hanya orang dewasa, pemuda dan anak-anak sangat antusias dalam prosesi ini. Mereka khidmat melihat sang dukun membaca mantra. Beberapa pemuda turut bernyanyi saat sindeng mulai melantunkan tembang. Usai prosesi, minuman alkohol dibagikan kepada rombongan. Tak ada pemaksaan sebab mereka tahu ada agama lain yang tidak memperbolehkannya.

Batasan-batasan antara adat istiadat dan agama ini dijaga erat oleh masyarakat Suku Tengger di Desa Ngadas. Bahkan, prosesi Upacara Karo harus dijeda saat ibadah salat Maghrib tiba. Maka sebelum Maghrib, pimpinan desa menuntaskannya dengan acara makan bersama, mereka menyebutnya prepekan.

"Kita selalu menghormati dan menghargai kepercayaan masing-masing. Menyangkut agama masing-masing. Kita ada acara khusus (adat) kita proses agama dulu, kemudian prosesi adat kita laksanakan," kata Mujianto.

Malam harinya, keramaian dan keguyuban masyarakat Suku Tengger di sini semakin nampak. Di panggung acara digelar tandakan. Acara ini berupa hiburan rakyat diiringi gamelan. Para pengunjung yang akan ke Gunung Bromo maupun Gunung Semeru dipersilakan mampir ke sini. Karena desa ini sudah dilabeli Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang sebagai 'Desa Wisata Adat'.

Tak lupa, Kades Mujianto menitipkan pesan kepada para millennials agar tidak lupa melestarikan budaya. Ia berharap adat istiadat tidak terkikis budaya luar. Ia meminta millennials tidak tertutup tapi punya kontrol diri atas budaya yang masuk. Menurutnya belajar budaya boleh, tapi tidak serta merta meninggalkan budaya yang telah diwariskan leluhur.

"Ngadas salah satu desa wisata di Kabupaten Malang, banyak tamu pengunjung bawa budaya masing-masing, bagaimana cara membentengi diri kita. Sehingga tamu yang membawa budaya dikenalkan budaya kita," pungkas Mujianto.

4. Ngadas layaknya miniatur Indonesia

Belajar Merawat Kebhinnekaan dari 'Desa Atas Awan' NgadasSemangat anak Tengger ikut iring-iringan gamelan Upacara Karo (IDN Times/Ardiansyah Fajar)

Salah seorang pengunjung, Muqorobin Filosofi Sulton (24) mengaku kagum dengan keakraban yang dijalin masyarakat Suku Tengger. Dia melihat Desa Ngadas lebih Indonesia dari pada Indonesia yang ada saat ini. Pria yang mengenyam pendidikan di Surabaya itu tak ragu menyebut desa ini sebagai miniatur Indonesia.

"Ya ini Indonesia, beda agama saling menghormati. Tetap ingat budaya dan mau merawat adat istiadat," katanya.

Ia pun mengajak semua elemen menengok kehidupan di Desa Wisata Adat ini. Menurutnya perbedaan di Suku Tengger diolah menjadi keindahan yang tak bisa diungkapkan kata-kata. Sebagai generasi muda, ia ingat tentang Bhineka Tunggal Ika. Ketika berbeda agama tapi ada acara adat bisa menyatu dalam satu identitas yakni Suku Tengger.

"Ini berbeda-beda tapi tetap satu jua, inilah Indonesia. Dulu ada jong java, jong ambon dan lain-lain, tapi ketika identitas Indonesia semua bisa bersatu," ungkapnya.

Sementara itu, mahasiswa sosiologi Univeristas Airlangga (UNAIR), Amanda Chaerunissa memandang masyarakat di desa memang mempunyai solidaritas yang tinggi. Perempuan 22 tahun yang pernah melakukan studi di desa itu mengaku menemukan adanya nilai tak tertulis yang disepakati bersama.

"Masyarakat di Desa Ngadas mempunyai kesadaran kolektif aturan sosial yang dibentuk dari kesepakatan bersama," kata Amanda. "Tanpa disuruh pun mereka secara otomatis akan tergerak ikut, tanpa diperintah karena sudah menjadi kesadaran kolektif," tutp Amanda.

Memperingati HUT ke-75 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, IDN Times meluncurkan kampanye #MenjagaIndonesia. Kampanye ini didasarkan atas pengalamanan unik dan bersejarah bahwa sebagai bangsa, kita merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam situasi pandemik COVID-19, di mana kita bersama-sama harus membentengi diri dari serangan virus berbahaya. Di saat yang sama, banyak hal yang perlu kita jaga sebagai warga bangsa, agar tujuan proklamasi kemerdekaan RI, bisa dicapai.

Baca Juga: Berkunjung ke Royal Residence Wiyung, Perumahan dengan 6 Tempat Ibadah

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya