Mainan Rasuah Dana ‘Kenakalan’ Hibah di Daerah

Di bulan anti korupsi mereka mencuri...

Surabaya, IDN Times - Tiga belas hari usai gegap gempita peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia digelar di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjaring Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simanjuntak, Rabu, 14 Desember 2022 malam.

Sahat ditangkap bersama tiga orang lainnya dalam kasus rasuah dana hibah APBD Provinsi Jatim. Modusnya, politisi kawakan Golkar Jatim itu menjadi pemulus jalan pemberian jatah dana hibah kepada kelompok masyarakat (Pokmas) untuk infrastruktur pedesaan, dengan mematok fee 20 persen dari setiap nilai proyek untuk Sahat dan 10 persen untuk penerima hibah.

Empat orang dikurung KPK dalam kasus ini. Selain Sahat, mereka adalah Rusdi (orang kepercayaan Sahat), Abdul Hamid (Kepala Desa Jelgung, Kecamatan Robatal, Kabupaten Sampang), dan Ilham Wahyudi (IW, Koodinator Lapangan Kelompok Masyarakat).

Keterangan KPK menyebut kalau sahat sudah bermain rasuah dana hibah ini sejak tahun 2020. Sahat memainkan anggaran hibah APBD Provinsi Jatim tahun 2021/2022 dan berlanjut ke dana hibah tahun anggaran 2022/2023.

Modus rasuah Sahat mengambil fee dari alokasi hibah ini mengunakan sistem ijon. Pihak Pokmas memberi uang muka kepada Sahat layaknya ‘membeli’ jatah alokasi hibah yang dipastikan dimuluskan pencairannya.

“Besaran dana hibah Pokmas yang difasilitasi Sahat pada tahun 2021 dan 2022 adalah masing-masing sebesar Rp40 miliar,” ujar Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, sehari setelah Sahat ditangkap.

Dalam OTT KPK ini, Sahat diduga menerima uang pemulus Rp5 miliar. Proses pencairan suap lewat kurirnya yang tak lain adalah staf pribadi Sahat yang kemudian menukarkan uang rupiah ke dolar.

Baca Juga: Profil Sahat Tua Simandjuntak, Wakil Ketua DPRD Jatim yang Kena OTT

Taktik mengeruk dana ‘kenakalan’ hibah

Mainan Rasuah Dana ‘Kenakalan’ Hibah di DaerahDokumen SK Gubernur tentang peniadaan monev untuk dana hibah dan bansos. (Dok. IDN Times/Istimewa)

Kasus Sahat Simanjuntak adalah bagian kecil dari lingkaran setan korupsi dana hibah maupun bansos di Jatim. Menurut pengakuan seorang sumber IDN Times, bancaan dana hibah, khususnya di daerah Madura sudah menjadi rahasia umum. Maka tak heran, kalau anggota dewan berbondong-bondong mengalihkan dana hibah tidak sesuai daerah pemilihannya, tapi dibelokkan ke dapil 14 yakni Madura.

“Sekitar 70 persen paket dana hibah dialihkan ke Madura,” ujarnya kepada IDN Times.

Menurut sumber, alasan wakil rakyat lebih demen mengalirkan alokasi hibah ke daerah Madura karena dirasa tarif fee (ijon) lebih besar dan prosesnya pasti lancar. Bahkan, dalam praktik ini, persentase fee-nya bisa mencapai 30 persen dari nilai proyek.

Contoh nyata ada pada permainan Sahat. Jatah hibah Sahat yang seharusnya disalurkan ke kelompok masyarakat (Pokmas) di daerah pemilihannya atau Dapil 9 (meliputi Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Magetan, dan Ngawi), tapi malah dibelokkan ke dapil 14 kawasan Madura demi meraup untung fee besar.

“Di Madura ini tempat cuci uang dewan,” ucap sumber.

Masih dari cerita seorang sumber, saking tingginya harga pasaran ijon di Madura, sampai muncul juga istilah ‘pengepul paket dana hibah’. Seorang pengepul ini bisa membeli jatah hibah masing-masing anggota dewan untuk dijual kembali ke pasar gelap hibah.

“Pembelinya bisa anggota dewan bisa kepala desa atau Pokmas yang tentu berharap uang ‘kenakalan’ dari pencairan hibah,” katanya.

Maka tak heran, modus yang sudah berjalan bertahun-tahun ini lantas semakin menyuburkan kelompok-kelompok masyarakat abal-abal di desa-desa. Karena memang, Pokmas adalah kunci bagi pencairan hibah. “Satu desa bahkan sampai ada 17 Pokmas. Ini kan ngeri,” kata sumber, kemudian terkekeh.

Soal pencairan hibah lancar, ia menyebut bahwa proposal bisa dibuat dalam semalam saat sudah ada komando dari sang pelicin atau anggota dewan. Tapi, biasanya di awal cuma setor nama Pokmas saja, agar bisa masuk ke Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA).

“Kalau sudah pasti ada komando cair, barulah buat proposalnya dibikin tanggal mundur di Kecamatan. Kalau diusut ini bisa sampai Kecamatan,” katanya.

Kalau sudah diinput di awal, biasanya ada dari Dinas tertentu melakukan survei ke Pokmas (sebatas struktur organisasi ada ketua sekretaris, bendahara), lalu dilakukan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), setelah itu pencairan.

“Pencairan itu utuh langsung masuk rekening Pokmas tanpa PPN. Setelah itu pokmas belanja sesuai NPHD. Setelah itu bikin LPJ,” katanya.

Cerita ini menunjukkan betapa mekanisme pencairan itu sangat membuka lebar peluang korupsi. Hal itu pun diamini nggota DPRD Jatim dari dapil Madura, Mathur Husyairi. Ia mengatakan, saat pengajuan hibah itu disetujui, 100 persen dana tersebut ditransfer ke rekening penerima yakni Pokmas. Dana tersebut juga dikelola sepenuhnya oleh penerima dana hibah. Di sinilah peluang sistem ijon diterapkan sangat besar. 

"Misalnya ini ada anggaran sekian, kamu bayar di depan kayak yang terjadi (OTT Sahat) ini kan 20 persen, belum lagi penerimanya. Sisa berapa itu nanti yang dibangun, tentu ini yang akan mempengaruhi kualitas (bangunan),” kata Mathur kepada IDN Times, Sabtu (17/12/2022).

Matur membeberkan Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri, dana hibah maksimal 10 persen dari APBD. Karena PAD Jatim Rp18 Triliun dikali 10 persen ketemu Rp1,8 Triliun.

Besaran dana hibah ini pun berdasarkan hasil reses atau serap aspirasi anggota DPRD di daerah pemilihannya masing-masing. Pokok pikiran (pokir) hasil reses itu yang kemudian diajukan dalam pembahasan APBD.

“Tujuan dana hibah ini adalah untuk pengembangan suatu wilayah,” kata Mathur. 

Menurut Mathur, besaran pagu dana hibah setiap anggota DPRD ini beragam. Mathur sendiri, mengajukan Rp8 miliar dana hibah untuk dapilnya di Madura di Tahun 2021 dan tahun 2022. Di dapil Madura sendiri ada 12 anggota dewan, itu artinya kalau di rata-rata normalnya Rp8 miliar x 12 ketemu nilai Rp96 miliar.

Tapi, ternyata dana hibah yang masuk ke dapil madura itu lebih dari puluhan miliar. Mathur menunjukkan dokumen di e-pokir yang nempel di aplikasi Kemendagri di Sistem Informasi Daerah. Di dalam e-pokir itu ada daftar 120 anggota dewan yang pengajuan pokmasnya lancar. Ada yang cuma dapat puluhan titik program. Tak sedikit juga yang dapat ratusan titik, seperti 200 sampai 300.

Ada yang di dapil Madura itu sampai 795 titik. Kalau nilai hibah per titik itu Rp100 juta tinggal dikalikan 795 ketemu Rp79 miliar. “Maka sangat jelas, dana hibah yang mengalir ke Madura harusnya ratusan miliar lebih. Informasi ini mestinya bisa diakses oleh masyarakat luas, bukan hanya orang tertentu saja,” kata Mathur.

Mathur melanjutkan, kalau dana hibah 1,8 Triliun bila dihitung rata-rata seluruh anggota DPRD Jatim jumlahnya 120 anggota x Rp8 Miliar, maka jumlah totalnya ketemu Rp960 Miliar.

“Terus 1,8 Triliun dikurangi Rp960 Miliar masih tersisa Rp840 miliar. Terus jatah siapa sisa angka itu. Mungkin ini ranahnya pimpinan dewan dan pimpinan fraksi (ada rapat setengah kamar),” kata Mathur.

Terlepas dari itu, kata Mathur, memang tidak ada transparansi dalam penyaluran dana hibah di Pemprov Jatim. Selain itu, monitoring dan evaluasi (monev) juga tidak ada. “Makanya saya selalu mendesak Pemprov Jatim, pertama harus dibuka data penerima hibah ini, diumumkan saja di website, masyarakat bisa akses, mereka bisa tahu desa saya dapat dari Pemprov Jatim untuk pembangunan ini, masyarakat bisa berpartisipasi,” kata dia. 

“Saya sudah pernah menyampaikan ke Gubernur untuk memperbaiki tata kelola, eh WhatsApp saya diblokir, mungkin beliau tersinggung,” pungkas Mathur.

Mathur juga mengaku telah memberi masukan kepada Pemprov Jatim soal dokumen Surat Edaran Gubernur Jatim yang ditandatangani Sekda yang pointnya menyebut bahwa mulai tahun 2019 Pemprov Jatim melarang monitoring dan evaluasi (Monev) ke lokasi, maupun penerima hibah dan Bansos. Monev diperbolehkan hanya pada kelengkapan administrasi.

“Aturan ini belum dicabut, tapi saya sudah sampaikan ke Sekda yang sekarang untuk dicabut atau mengeluarkan edaran baru,” katanya.

Baca Juga: FITRA Sebut Modus Korupsi Lewat Dana Hibah Sudah Jadi Rahasia Umum 

Tiga syarat yang dijerat si penerima dana hibah

Mainan Rasuah Dana ‘Kenakalan’ Hibah di DaerahIDN Times/Fitria Madia

Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa juga ikut angkat bicara perihal heboh korupsi hibah di tubuh dewan perwakilan rakyat ini. Menurutnya, sejatinya pencairan dana hibah sendiri ada syaratnya.

Sebelum ditentukan besaran hibah yang dicairkan, kata Khofifah terlebih dahulu ada jaring aspirasi. Nantinya, jaring aspirasi ini akan menjadi pokok-pokok pikiran (pokir). Dengan pokir inilah ada program-program yang muncul untuk bisa jadi hibah.

"Setiap Pokir atau hibah dari pokok-pokok pikiran hasil dari jaring aspirasi kemudian jadilah pokir, ada breakdownnya program-program jadi hibah," ujar Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa saat di Grahadi, Kamis (22/12/2022).

Tapi, untuk mencairkan dana hibah ada syaratnya. Harus ada Surat Keputusan (SK) Gubernur Jatim. Nah, untuk menerbitkan SK, gubernur harus berpatokan pada hasil verifikasi yang didapat dari inspektorat yang sebelumnya sudah menerjunkan tim verifikator untuk memastikan keabsahan lembaga calon penerima dana hibah. 

"Lembaga itu harus dapat legalitas dari camat, SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) kan camat," kata Khofifah.

Setelah SK turun, setiap lembaga penerima hibah harus menandatangani tiga hal. Pertama adalah pakta integritas. Isi pakta integritas ini antara lain siap disanksi, siap dipidana apabila tidak sesuai dengan program yang diusulkan.

Kedua, menandatangani surat pernyataan tanggung jawab mutlak. Penerima hibah memiliki tanggung jawab melaksanakan sesuai dengan pengajuan sampai kemudian membuat pelaporan. 

Ketiga, adalah menandatangani Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

"Jadi, tiga ini sebetulnya menjadi tanggung jawab penerima hibah. Penerima lho ya, saya membedakan penerima hibah dengan aspirator. Ini sesuatu yang berbeda. Sehingga tanggung jawab mutlak ada di penerima hibah," terang Khofifah. Ketiga syarat ditandatangani penerima.

Sementara untuk monitoring dan evaluasi pelaksanaan hibah, Khofifah mengatakan berdasarkan tiga perjanjian, yakni Pakta Integritas, Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak dan NPHD. "Jadi, pada posisi seperti ini menjadi sangat tergantung kepada si penerima hibah," kata dia.

"Aspirator menjadi penting, karena ini kan ada jembatannya, sampai kepada keputusan ini masuk di dalam perencanaan penganggaran hibah tahun berapa tahun berapa," tambah Khofifah.

Pengusutan dana hibah Provinsi Jatim ini masih berlanjut. KPK telah mengobrak-abrik berangkas di DPRD, Kantor Pemprov Jatim, hingga ruang kerja Gubernur dan Wakilnya. Beberapa bukti laporan keuangan dan bukti elektronik telah mereka bawa ke Jakarta. Lalu, akankah ada tersagka lain selain Sahat? Ditunggu saja ada konferensi pers apa di Gedung Merah Putih berikutnya.

Baca Juga: Sahat Simanjuntak Minta Jatah 20 Persen untuk Pelicin Dana Hibah

Cerita hibah berulang korupsi

Mainan Rasuah Dana ‘Kenakalan’ Hibah di DaerahIlustrasi KPK (IDN Times/Mardya Shakti)

Dana hibah rentan diselewengkan menjadi rahasia umum hamper menyeluruh di tanah air. Kasus korupsi hibah pernah terjadi di Kabupaten Klungkung, Bali. Bahkan beberapa di antaranya sempat heboh karena menyeret nama anggota dewan.

Pada tahun 2017 silam, Klungkung sempat dihebohkan dengan terkuaknya kasus korupsi dana hibah dan proposal fiktif pembangunan pura senilai Rp200 juta yang dilakukan oknum anggota DPRD Klungkung, I Wayan Kicen Adnyana. Kasus tersebut bahkan sampai mendapat sorotan langsung Gubernur Bali saat itu, Made Mangku Pastika. 

Dalam kasus ini, Wayan Kicen Adnyana juga menyeret nama sang menantu dan putranya. Wayan Kicen disidang di Pengadilan Tipikor Denpasar dan divonis penjara selama 16 bulan penjara. Sementara anak dan putranya divonis penjara selama 12 bulan.

Lalu pada tahun 2018 lalu, oknum PNS dan mantan pengurus partai di Klungkung juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi dana hibah pembangunan sebuah pura di Desa Gunaksa, Klungkung.

Warga di Klungkung yang pernah menerima hibah mengaku bahwa tidak sulit mendapatkan hibah, terutama jika difasilitasi oleh anggota dewan. Bahkan seorang warga mengaku sangat mudah mendapatkan hibah karena semua pengurusan, mulai dari proposal hingga pertanggungjawaban diurus oleh sang anggota dewan.

Masyarakat yang tidak begitu paham proses pengusulan hingga pencairan dana hibah, membuat dana hibah rentan diselewengkan. Masyarakat yang awam biasanya mengira dana hibah itu merupakan bantuan dari anggota dewan.

Seperti yang diungkapkan seorang warga di Klungkung, Ketut S. Ia sempat mendapatkan bantuan hibah seperangat gamelan pada tahun 2019.

“Disampaikan hibah tersebut dari anggota dewan. Saya diminta mencarikan beliau (oknum dewan) suara. Imbalannya saya diberikan bantuan hibah untuk membeli perangkat gamelan,” ungkapnya.

Ia mengaku tidak pernah secara rinci membuat proposal pengusulan hibah. Ia hanya diminta membuat kelompok, membuat daftar gamelan yang dibeli dan perkiraan harganya, lalu meminta menandatangani proposal. Termasuk meminta tanda tangan pihak desa hingga camat.

“Saya diminta menyetor nama kelompok dan nama-nama anggota kelompok. Lalu proposal sudah jadi, saya diminta mencari tanda tangan saja sampai membuat rekening bank daerah,” ujar Ketut S.

Menunggu sekitar 8 bulan, barulah ada transfer dana hibah ke rekeningnya.

“Kami sempat diminta sekitar Rp1 juta setelah hibah itu cair, katanya untuk staf yang bertugas untuk menyusun proposal. Tapi kami tidak masalah karena sangat dipermudah untuk mendapatkan hibah,” jelas Ketut S.

Penyalahgunaan dana hibah di Provinsi Lampung yang menjadi sorotan adalah kasus di korupsi dana yang masuk di KONI Lampung. Bahkan Kejati Lampung telah meningkatkan status perkara korupsi dana hibah tahun anggaran 2020 sebesar Rp60 miliar tersebut ke tahap penyidikan sejak Januari 2022 lalu.

Selain itu, Bidang Pidsus Kejaksaan juga sudah mengeluarkan hasil audit kerugian keuangan negara pada kasus tersebut sebesar Rp2.570.532.500, Senin (21/11/2022) lalu. Malang, kasus sempat marathon memeriksa para pejabat KONI Lampung, Pemprov Lampung, pengurus cabang olahraga, wartawan, hingga pihak ketiga itu tak kunjung ditetapkan status tersangka hingga kini.

Teranyar, Kejati Lampung menginformasikan, KONI Lampung secara instansi tanpa paksaan telah mengembalikan seluruh nilai kerugian keuangan negara ditimbulkan akibat penyelahgunaan dana hibah tersebut ke rekening kas daerah melalui transfer di Bank Lampung.

Meski demikian, Kejati Lampung mengklaim, proses penanganan kasus korupsi dana hibah tersebut tetap bergulir dan belum menemukan jalan buntu. Terlebih urusan penetapan status tersangka, bagi pihak perlu bertanggungjawab dalam perkara ini.

Korupsi serupa juga pernah mengheborkan Bima, Nusa Tenggara Barat. Yakni, korupsi dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) PKBM Karoko Mas.

Kasus ini menyeret nama anggota DPRD Kabupaten Bima, Boymin yang diduga merugikan negara sebesar Rp867 juta. Jumlah itu dari total alokasi anggaran yang bersumber dari APBN sebesar Rp1,44 miliar. 

"Berkasnya sudah dinyatakan lengkap dan telah di P-21 oleh jaksa," jelas Kasi Intel Kejari Bima, Andi Sudirman, Selasa (11/10/2022).

Catatan korupsi hibah maupun bansos juga terjadi di Banten. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Banten misalnya telah menetapkan satu orang tersangka berinisial ES dalam kasus dugaan korupsi penyaluran dana hibah pondok pesantren tahun anggaran 2020 senilai Rp117 miliar.

Tersangka diduga terlibat dalam pemotongan dan penyaluran hibah terhadap pesantren yang terindikasi fiktif. Kini tersangka sudah ditahan di Rutan Klas IIB Serang untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

"Sore kemarin kami sudah menetapkan tersangka dan menahan ES dalam dugaan tindak pidana korupsi penyaluran dana hibah ke ponpes di Banten," kata Kepala Kejati Banten Asep Nana Mulyanan saat pers rilis di kantornya, Jumat (16/4/2021).

Di Banjarmasih Kalimantan Timur, meskipun diklaim tidak ada kasus korupsi mencolok. Anggota Komisi 3 DPRD Banjarmasin Kalimantan Selatan (Kalsel) Hendra masih mempertanyakan transparansi soal pemanfaatan dana hibah di masyarakat. Karena, hal tersebut membuat penggunaannya rawan penyalahgunaan oknum aparat maupun masyarakat. 

"Kita tidak tahu jelas, hanya kelihatan depannya saja. Sementara penggunaan detail masih kabur, namun saya harap ini benar-benar digunakan sesuai peruntukan dan Banjarmasin tidak ada terjadi penyelewengan dana hibah seperti yang terjadi di daerah lain," katanya.

Baca Juga: KPK Juga Periksa Mobil Sahat dan Stafnya 

Tahun politik saatnya awasi hibah

Mainan Rasuah Dana ‘Kenakalan’ Hibah di DaerahIlustrasi anggaran (ladypinem.com)

Dari kasus hibah yang modusnya hampir sama dari tahun ke tahun, Koordinator Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Jawa Tengah, Mayadina Rohma Musfiroh menyebut praktik modus suap dana hibah dan dana bantuan sosial (bansos) sudah bukan sesuatu yang rahasia. Bahkan, setiap daerah memiliki pola sendiri dalam menjalankan praktik tersebut.

“Kasusnya ada nggak di Jateng, ya ada di pembicaraan privat. Polanya macam-macam, ada yang pakai pola sistem ijon atau kasih uang di depan. Ada juga pola kesepakatan, setelah uang cair ada pembagian uang antara penerima dan yang mengusahakan sesuai kesepakatan,’’ ungkapnya kepada IDN Times.

Berdasarkan pengamatan Fitra Jateng, kasus korupsi dana hibah senilai Rp3,5 miliar pernah terjadi di Kota Semarang pada tahun 2013 yang melibatkan Ketua KONI Jateng. Kemudian, ada kasus dugaan korupsi hibah tanah di Kota Semarang dengan nilai Rp3 miliar yang mana salah satu saksinya meninggal belum lama ini.

‘’Dulu juga ada kasus dana hibah temuan BPK. Modelnya ada pemberian bansos kepada penerima A, ternyata setelah ditelusuri itu alamatnya SPBU. Jadi, penerimanya fiktif. Ada juga pola yang diselewengkan oleh penerima, ini artinya tidak sesuai peruntukannya,’’ kata Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Jepara itu.

Sementara itu, Koordinator Fitra Sumatra Selatan, Nuniek Handayani telah mencatat bahwa korupsi dana hibah pernah terang-terangan dilakukan pada 2013 silam. Menurutnya, mantan Gubernur Sumsel Alex Noerdin kala itu menaikan anggaran dana hibah di tahun politik hingga Rp2,1 triliun, dengan realisasi dana hibah mencapai Rp1,62 triliun atau 76,70 persen.

"Penggunaan dana hibah di tahun politik adalah sebuah tren. Setiap mau pilkada selalu naik, dan itu sudah menjadi rahasia umum," ujar dia.

Kurangnya kontrol dana hibah membuat celah bagi pemerintah melakukan korupsi. Nuniek melihat tren penggunaan dana hibah masih tetap sama, mau siapa pun Kepala Daerah terpilih, mereka memiliki kewenangan tak terpantau sehingga sama-sama menggunakan hibah untuk kepentingan politik.

"Makin ke sini juga sama, hanya saja penggunaan dana hibah ini agak sedikit disamarkan. Pemerintah jika berbicara transparansi agaknya masih kurang," ungkap dia.

Menurut Nuniek tren dana hibah meningkat jelang tahun politik kerap jadi pembenaran untuk kepentingan politik. Penggunaan dana hibah yang dianggarkan tanpa pos terawasi, menjadikan dana hibah sebagai dana abadi korupsi pemerintah.

Tren penggunaan dana hibah untuk kepentingan politik di 2023 dan 2024, diyakini akan semakin masif terjadi. Terlebih penggunaan dana hibah menjadi salah satu cara untuk menarik simpati. Kepala Daerah juga sering menganggarkan dana hibah untuk memberikan bantuan kepada masyarakat.

"Dana hibah bersifat ad hoc atau charity, terkadang digunakan untuk dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pemberian dana hibah terkadang rancu, yang seharusnya tak boleh dilakukan lebih dari dua kali tahun anggaran, namun kenyataan di lapangan jadi sarana kepala daerah," jelas dia.

Tim Penulis:

Khusnul Hasana dan Ardiansyah Fajar (Jatim), Khaerul Anwar (Banten), Rangga Erfizal (Sumsel), Wayan Antara (Bali), Sri Wibisono (Kaltim), Juliadin JD (NTB) Tama Wiguna, (Lampung), Anggun Puspitoningrum (Jateng).

Baca Juga: Sahat Simanjuntak Minta Jatah 20 Persen untuk Pelicin Dana Hibah

Topik:

  • Faiz Nashrillah
  • Zumrotul Abidin

Berita Terkini Lainnya