Penuh dengan Hujatan, Apa Kabar Media Sosial Hari Ini?

Kenapa akhir-akhir ini suka resah melihat sosmed?

Surabaya, IDN Times- Akhir-akhir ini media sosial kerap meresahkankanku. Umpatan dan kata-kata kasar berseliweran di lini masa. Padahal, menjelang Pilpres 2019, media sosial seharusnya menjadi wadah bagiku dan millennials lain untuk mengenal dua calon pemimpin Indonesia lebih dekat. 

Tentu saja tak sekadar mengumpat. Para politikus mengumbar keburukan lawan demi menggaet suara. Walhasil, bukannya kian mantap, aku justru semakin ragu menentukan pilihan.

Selain membuat para pemilih muda menjauh, adu umpatan di media sosial juga memunculkan polarisasi politik. Para loyalis Prabowo-Sandi atau siapapun yang mengkritisi kebijakan pemerintah akan langsung dicap sebagai “Kampret”. Sebaliknya, pemuji capaian Jokowi akan otomatis mendapat gelar “Cebong”. Dalam sekejap, media sosial menjelma bak kebun binatang.

Penuh dengan Hujatan, Apa Kabar Media Sosial Hari Ini?IDN Times/Sukma Shakti

Parahnya, sebutan-sebutan aneh bagi lawan politik tak hanya muncul dari akar rumput. Tokoh yang mereka idolakan, yaitu calon presiden dan wakilnya juga seakan-akan berlomba menciptakan istilah satir bagi rival. Sebut saja seperti “Sontoloyo”, “Genderuwo”, “Wajah Boyolali”, “Dungu”, serta “Buta dan Budeg”. Para pendukung pun menduplikasi istilah itu di dunia maya untuk menyerang kubu yang tak sepihak dengan mereka. Apakah harus seperti ini tampilan media sosial jelang Pilpres?

1. Timses Jokowi tuduh Prabowo-Sandi penyebab keresahan di sosial media

Penuh dengan Hujatan, Apa Kabar Media Sosial Hari Ini?IDN Times/Margith Juita Damanik

Aku menceritakan keresahanku kepada Raja Juli Antoni. Dia merupakan Wakil Sekretaris Tim Kampenye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf. Aku bertanya kepadanya, apakah memang tim sukses petahana menginstruksikan kepada relawannya untuk menyerang sisi personel pesaingnya?

Bukannya menjawab, pria yang karib disapa Juli ini malah menuding kampanye negatif adalah cara Prabowo-Sandi guna mendulang suara. “Itu semua (keresahan di sosial media) bisa diselesaikan bila Prabowo-Sandi berbicara hal yang substansial. Jangan hanya membohongi data. Pak Jokowi sudah melakukan hal yang kongkret, apa yang sudah dia kerjakan,” kata Juli kepadaku.

Lebih lanjut, Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini juga menyebut kampanye Prabowo-Sandi jauh tidak lebih baik dari kampanye Jokowi-Ma’ruf. Menurutnya, segala pernyataan Prabowo di media sosial adalah bualan belaka.

Juli memaparkan, “Dia bilang pengangguran semakin banyak, kemiskinan tambah luas, iya saya tanya, apa solusimu? Bisa gak lebih keren dari Pak Jokowi programnya. Kalau beliau bicara pada level itu, saya yakin hasilnya akan lebih baik (di media sosial)."

2. Tim Prabowo-Sandi lancarkan tudingan balik

Penuh dengan Hujatan, Apa Kabar Media Sosial Hari Ini?IDN Times/Panji Galih Aksoro

Pertanyaan serupa aku sampaikan kepada Faldo Maldini, anggota Juru Bicara Pasangan Calon Prabowo-Sandi. Menurut Faldo, kubu petahana tidak kreatif dalam berkampanye. Ia pun menuding balik timses Jokowi-Ma'ruf sebagai biang keresahan di media sosial.

“Petahana terguncang dengan orkestrasi pikiran yang tim kampanye rancang. Kami sangat fokus ke konten kampanye, mereka yang selalu menyebar hoaks. Saya duga mereka menginginkan lawannya menggunakan isu hoaks. Kalau isu hoaks naik, nanti framing mereka ke kami sebagai penyebar hoaks dimainkan,” jawabnya menanggapi pernyataan Juli.

Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) ini menyampaikan bahwa Prabowo-Sandi sebenarnya tidak ingin media sosial dipenuhi umpatan kasar. Terkait kegaduhan pernyataan Ma’ruf Amin mengenai “buta” dan “budek”, Faldo menyampaikan bila Tim Prabowo-Sandi tidak ingin memperkeruh suasana.

“Ada protes dari forum tunanetra, kami tidak malah ikut berkoar-koar, karena kami yakin Pak Kiai tidak menghina saudara-saudara kita,” sambungnya. “Kami selalu lihat kepada substansinya, pendukung Prabowo-Sandi sudah ke sana, tetapi petahana masih di permukaan. Ya mau diapain lagi, mungkin mereka hanya sanggup di situ,” sindirnya.

3. Saling umpat bisa memunculkan pemilih yang tak rasional

Penuh dengan Hujatan, Apa Kabar Media Sosial Hari Ini?pexels/fancycrave.com

Sejujurnya, jawaban dari kedua tim sukses belum memuaskanku. Mereka cenderung membela jagoannya. Aku pun beralih bertanya pada Hendri Satrio, pengamat komunikasi politik. Ia juga mengaku turut resah dengan diskursus politik di media sosial hari ini. Bila tren seperti ini terus dilakukan, pemilih akan menentukan preferensi politiknya berdasarkan landasan emosional bukan rasional.

“Kondisi seperti ini diawali dari Pilpres 2014 yang dipertajam dengan Pilkada DKI dan Pilpres 2019. Polarisasi politik saat ini tidak lagi berdasarkan ideologi, tapi berdasarkan identitas sosial yang menyebabkan tribalisme,” ungkap Hendri.

Ia mencontohkan bagaimana kosa kata “Cebong” dan “Kampret” seolah diterima oleh warganet. “Julukan itu muncul untuk atribusi identitas dua kelompok politik yang berbasis identitas sosial dan emosional. Kampanye ini sangat tidak efektif,” tambah founder Lembaga Survei KedaiKOPI itu.

Secara kasat mata, Hendri tidak bisa memastikan apakah hujatan di media sosial dimobilisasi oleh tim sukses atau sekadar partisan yang memberikan dukungannya secara “membuta”. Satu hal yang ia khawatirkan adalah tim sukses terbawa arus kampanye negatif di dunia maya.

4. Kampanye negatif menyebabkan millennial enggan terlibat politik

Penuh dengan Hujatan, Apa Kabar Media Sosial Hari Ini?IDN Times/Abraham Herdyanto

Lebih jauh, kampanye negatif bisa menyebabkan generasi muda kehilangan hasrat untuk berpolitik. Itu berbahaya! Pasalnya, mau tidak mau, mereka adalah masa depan bangsa Indonesia. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya bila millennial buta politik. 

“Saya khawatir masyarakat nanti akan merasa lelah dan kehilangan gairah menghadapi Pemilu bila debat dan saling serang ini terus berlangsung,” ia mengutarakan keresahannya. “Bukannya adu gagasan, tetapi malah saling serang. Lama-lama masyarakat menjadi bosan dan capek dengan proses demokrasi semacam ini." 

Bila aku melihat Laporan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), hampir 50 persen dari 143 juta jiwa pengguna internet adalah generasi milenial yang berusia 19-34 tahun. Melalui laporan untuk tahun 2017 itu, sekitar 87,13 persennya memanfaatkan internet untuk sosial media. Dalam satu hari, sekitar hampir 30 persen menggunakan internet selama 4-7 jam. Lantas, Apa jadinya bila setengah dari 50 persen generasi millennial sudah muak dengan politik?

Satu lagi yang patut diperhatikan, menurut Hendri adalah kegagalan petahana untuk memberikan tauladan dalam berkampanye di sosial media. Ia turut risau dengan pernyataan Jokowi yang akhir-akhir ini seolah menggambarkan keresahannya.

“Cukup mengejutkan istilah yang muncul dari Jokowi. Gaya komunikasinya berubah, mungkin terpancing juga dengan gaya saling serang. Citra Jokowi yang terbangun selama ini pekerja, bukan politisi yang mengkomentari hal remeh-temeh,” tambah dia.

Baca Juga: Siapa Sebenarnya Politisi Genderuwo? Ini Jawaban Ma’ruf Amin

5. Apakah umpatan kasar di sosmed mempengaruhi kejiwaan kita?

Penuh dengan Hujatan, Apa Kabar Media Sosial Hari Ini?Ilustrasi/Pexels/Tracy Le Blanc

Saat menulis artikel ini, aku sesekali berselancar di sosial media. Tak perlu waktu lama bagiku untuk menemukan umpatan kepada Jokowi. Aku melihat cuitan dari pemilik akun @Astu***4, dia menulis “Buat cebong coba loe benturin dikit pala loe ke dinding biar encer tuh otak. Masak lihat junjungannya kek gini kok masih di puja2. Buat kamvret ayuh kita rapatkan barisan untuk #2019GantiPresiden. Biarkan para setan bisu golput melihat negerinya tergadai

Kemudian, aku melihat foto Sandiaga yang diedit bak anjing rabies galak. Di mulutnya diberikan semacam penutup moncong. Gambar tersebut diunggah oleh pemilik akun @Hes**ku**a dengan tulisan “Awas hoaksnya galak galak! #Kampret”. Apakah seperti harus seperti ini tampilan sosial mediaku?

Aku kemudian bertanya kepada Yunita Faela Nisa. Ia merupakan pakar psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang meneliti tentang relasi media sosial dengan kejiwaan. Menurut Yunita, media sosial bisa mempengaruhi kondisi jiwa, mental, dan perilaku kita sehari-hari.

“Pasti berpengaruh ya,” katanya. “Tapi tergantung kepribadiannya. Kalau kepribadiannya kuat, pengaruhnya kecil. Kalau lemah, akan sangat mudah terbawa lingkungan. Dalam psikologi ada istilah mental influence, yaitu kondisi seseorang yang menjadi mental pengikut. Hal itu bisa didapat hanya dari kebiasaan scrolling media sosial dan membanding-bandingkan, jadi dia akan merasa kurang terus dan selalu kalah.”

Teknik media sosial bekerja, menurut Ketua Jurusan S2 Psikologi UIN Jakarta ini, kerap menyuburkan stigma atau persepsi yang sudah melekat kepada penggunanya. Ia menyebutnya dengan sifat binari media sosial.

“Platform media sosial itu terbagi dua yang pro dan kontra. Nah itu akan membuat polarisasi dan keresahan semakin runcing, karena kalau dia suka A, maka di medsosnya akan ditampilkan A semua. Ini bahaya karena bisa menjadikan kata-kata kasar sebagai budaya."

6. Bagaimana pengaruhnya terhadap perilaku sehari-hari?

Penuh dengan Hujatan, Apa Kabar Media Sosial Hari Ini?pixabay.com

Baca Juga: JK Sebut 'Sontoloyo' dan 'Genderuwo' Bagian dari Kampanye Negatif

Kendati mempengaruhi kejiwaan dan membuat kondisi hati semakin resah, Yunita enggan menyebut kampanye negatif mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Terlebih dahulu, ia membedakan antara kehidupan online dengan offline.

Yunita menjelaskan, “Terpengaruh iya, tapi belum tentu mengubah perilaku offline-nya. Ada banyak penelitian yang membuktikan perilaku offline dengan online berbeda. Bisa saja di medsos introvert, penyimak pasif, tapi sehari-harinya ekstrovert. Yang jelas media sosial bisa menjadi amunisi argumennya dan membentuk prinsipnya,”

“Ketika konten beritanya mampu menstimulasi emosi orang, apalagi yang negatif, akan cenderung di-share. Kalau tidak mendapat respons konsultannya akan menyajikan konten baru lagi, begitu terus,” tutur Yunita.

Peristiwa Sandiaga Uno melangkahi makam Pendiri NU menjadi contoh bahwa media sosial digunakan untuk mempengaruhi emosi dalam urusan politik. “Yang paling marah pasti warga NU kan, yang paling banyak share atau komen pasti mereka. Kalau mempengaruhi pilihan politik itu ranah yang berbeda, tapi konten itu akan membuat orang yang tidak sependepat enggan melirik Sandiaga lagi. Jadi kan terpengaruh emosinya.”

7. Bagaimana seharusnya menyikapi media sosial jelang Pilpres?

Penuh dengan Hujatan, Apa Kabar Media Sosial Hari Ini?IDN Times/Gregorius Aryodamar

Tidak ada kata terlambat untuk menjadi lebih baik. Menurut Yunita, penting agar pemerintah menyiapkan kurikulum terkait dampak positif dan negatif media sosial sejak dini.

“Di Belanda itu ada edukasi tentang media sosial sejak SD. Jadi, sebelum orang menggunakannya harus sudah dijelaskan dampaknya. Indonesia saya lihat belum ada tanda-tanda ke sana,” saran dia.

Adapun Hendri Satrio turut mengingatkan bahwa esensi dari Pilpres adalah menjadikan Indonesia lebih baik lagi. Lantas, buat apa berebut kekuasaan bila akhirnya bangsa ini terpecah belah?

“Fokus pada promosi calon masing-masing, sampaikan yang baik. Jangan sampai kita tergabung dengan kelompok yang menginginkan Indonesia tidak damai. Jangan sampai gara-gara jempol kita, Indonesia pecah,” imbuh dia.

Kembali kepada Faldo dan Juli, mereka menegaskan bahwa tim sukses sudah memberikan imbauan dan arahan terkait kampanye di media sosial. Mereka mengaku siap mengambil tindakan bila ada partisan atau tim sukses yang menggunakan kampanye negatif untuk mendulang suara.

Kalau aku sih sederhana, semoga komitmen mereka mengatasnamakan jagoannya masing-masing bukan sekadar bualan belaka. Kasian dong bang kalau generasi millennial apatis terhadap politik.

Baca Juga: Ini Reaksi Kubu Jokowi soal Sindiran Politisi Sontoloyo dari Prabowo

Topik:

  • Faiz Nashrillah

Berita Terkini Lainnya